Ekonom AS Steve Hanke Bicara Pelemahan Rupiah & Deja Vu 1998

Herdaru Purnomo & Alfado Agustio, CNBC Indonesia
18 September 2018 13:07
Pelemahan rupiah akhir-akhir mulai menimbulkan kekhawatiran.
Foto: Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan rupiah akhir-akhir mulai menimbulkan kekhawatiran. Terlebih posisi rupiah saat ini mendekati posisi terlemah saat krisis yang terjadi di tahun 1998.  

Pada Selasa (19/9/2018) pukul 12:00 WIB, posisi rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada di Rp 14.925/US$. Bahkan 2 jam sebelumnya, rupiah sempat berada di Rp 14.930/US$ atau terlemah pada tahun ini.  

Saat krisis tahun 1998, posisi rupiah sempat menyentuh posisi terlemah di Rp 15.250/US$. Sebagian pihak pun menilai posisi Indonesia saat ini seperti de javu di 1998, salah satunya Profesor Steve Hanke dari John Hopkins University, AS Dalam tulisan yang dimuat di Majalah Forbes tanggal 17 September 2018. Ekonom AS ini mengemukakan pelemahan yang terjadi saat ini, berbeda dengan 1998 terutama dari faktor penyebabnya.

Ekonom AS Steve Hanke Bicara Pelemahan Rupiah & Deja Vu 1998Foto: Steve Hanke (Ist BGNES)
  

Hanke menggunakan pendekatan teori jumlah uang beredar milik Milton Friedman. Teori tersebut mengemukakan, semakin tinggi peredaran uang akan mempengaruhi pergerakan terhadap mata uang luar negeri.

Pada konteks ini, semakin tinggi peredaran rupiah dalam negeri akan berdampak kepada pergerakan kurs rupiah terhadap mata uang global, khususnya dolar AS.
 Di tahun 1998, jumlah rupiah yang beredar/money supply (M2) tumbuh hingga 25,35%. Sementara saat ini, pertumbuhan jumlah uang beredar hanya 6,4%. Jika dibandingkan, depresiasi rupiah saat ini belum separah di saat krisis ekonomi.

Pelemahan rupiah saat ini lebih kepada kebijakan moneter agresif  yang ditujukan oleh Federal Reserve serta memanasnya perang dagang. Selain itu, anjloknya mata uang negara-negara emerging market juga ikut mempengaruhinya.
 Lantas mengalami masyarakat masih khawatir dengan pelemahan saat ini? Menurutnya ada tiga faktor yang menyebabkannya.

Pertama, kekhawatiran akan kembali terulangnya krisis di 1998. Ketika volatilitas rupiah begitu tinggi, masyarakat akan berasumsi jika hal ini pertanda krisis akan terjadi. Akibatnya, ketakutan terulangnya kondisi tersebut pun menyeruak.
 

Kedua, Masyarakat masih meragukan kemampuan Presiden Joko Widodo dalam melakukan pembangunan di dalam negeri. Meskipun saat ini, pembangunan infrastruktur cukup masif dilakukan, namun hal tersebut masih berjalan lambat. Keraguan terhadap proses pembangunan menimbulkan persepsi jika ekonomi masih akan melambat kedepannya, sehingga pelemahan yang ada semakin memperbesar peluang terjadinya krisis ekonomi. 

Ketiga, Ketenangan yang berusaha ditujukan pemerintah saat ini, justru bisa menjadi bom waktu. Pelemahan rupiah yang terus terjadi, seharusnya disikapi secara serius. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai cara, termasuk rapat penyelamatan rupiah, namun yang terjadi, kondisi rupiah saat ini belum tertolong. Instrumen kenaikan suku bunga acuan hanyalah obat jangka pendek, perlu ada tindak lanjut lebih besar lagi untuk menyelamatkan posisi rupiah saat ini.





(alf/dru) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular