Rupiah Lesu di Kurs Acuan, Terlemah Kedua Asia di Pasar Spot

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 September 2018 10:40
Rupiah Lesu di Kurs Acuan, Terlemah Kedua Asia di Pasar Spot
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs acuan. Untuk kali pertama sejak 5 September, dolar AS kembali menyentuh level Rp 14.900. 

Pada Selasa (18/9/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.908. Rupiah melemah 0,33% dibandingkan posisi hari sebelumnya. P

elemahan rupiah di kurs acuan hari ini menjadi yang ketiga secara beruntun. Dolar AS yang sejak awal September tidak merasakan level Rp 14.900 akhirnya kembali ke level tersebut.
 

Sejak awal tahun, rupiah melemah 10,09%. Sedangkan selama setahun terakhir, depresiasi rupiah mencapai 12,61%. 

 

Di pasar spot, rupiah pun bernasib sama. Pada pukul 10:10 WIB, US$ 1 ditransaksikan Rp 14.925, di mana rupiah melemah 0,37%. 

Kala pembukaan pasar spot, rupiah melemah 0,1%. Depresiasi rupiah semakin menjadi seiring perjalanan pasar. 

Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun sulit berbicara banyak di hadapan dolar AS. Hanya won Korea Selatan, dolar Taiwan, dan dolar Singapura yang mampu menguat, itupun dalam rentang sangat terbatas. Dengan pelemahan 0,37%, rupiah jadi mata uang dengan depresiasi terdalam kedua di Asia, hanya lebih baik dari rupee India.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 10:13 WIB: 

 

Laju dolar AS masih belum terhenti. Pada pukul 10:16 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat tipis 0,01%. Padahal dini hari tadi indeks ini terkoreksi hingga ke kisaran 0,4%. 

Dolar AS mampu membalikkan kedudukan setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan bea masuk baru untuk produk-produk China. Bea masuk sebesar 10% itu akan berlaku untuk ribuan produk China dengan nilai impor US$ 200 miliar. 

Kebijakan ini mulai berlaku pada 24 September, dan pada akhir tahun tarifnya naik menjadi 25%. Tidak berhenti sampai di situ, Trump juga mengancam untuk memberlakukan bea masuk bagi importasi produk China dengan nilai yang lebih besar. 

"Jika China membalas dengan menargetkan petani atau industri AS, maka kami akan menerapkan kebijakan tahap ketiga. Akan ada bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 267 miliar," tegas Trump, dikutip dari Reuters. 

Sejauh ini, Beijing masih kalem menghadapi 'provokasi' Washington. Zhong Shan, Menteri Perdagangan China, masih berharap AS dan China bisa duduk bersama dan mencapai kesepakatan. 

"Tidak ada pemenang dalam perang dagang. Proteksionisme AS akan melukai seluruh dunia, tidak ada yang mendapat manfaat. Oleh karena itu, kerja sama AS-China adalah satu-satunya pilihan yang tepat," kata Zhong, dikutip dari Reuters. 

Untuk menghindari konflik lebih lanjut, tambah Zhong, China juga siap lebih membuka diri. China akan merancang iklim bisnis yang lebih kondusif bagi sektor swasta. 

Namun bila kesabaran China sudah habis, bisa-bisa akan ada aksi balasan. Sebelumnya, dikabarkan bahwa China tidak hanya akan membalas melalui instrumen bea masuk tetapi juga pembatasan ekspor untuk bahan baku dan barang modal yang dibutuhkan industri Negeri Paman Sam. 

Sebelum ada kesepakatan yang jelas antara AS dan China, risiko perang dagang masih sangat tinggi. Oleh karena itu, investor akan cenderung bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia. Kekurangan pasokan modal, rupiah pun terbawa arus penguatan dolar AS yang terjadi secara global.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular