
Dolar AS Dilengserkan dari Rp 14.900, Hasil 'Gerilya' BI?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 September 2018 17:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah sepanjang hari ini. Namun kala penutupan pasar, dolar AS bisa didorong ke bawah Rp 14.900.
Pada Senin (17/9/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.870 saat penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,47% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Saat pembukaan pasar spot, rupiah sudah melemah 0,2%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam dan sempat menjadi yang terdalam kedua di Asia.
Jelang penutupan pasar, dolar AS sempat menyentuh level Rp 14.900. Namun sesaat sebelum penutupan, rupiah mampu menipiskan koreksinya sehingga dolar AS tidak lagi di level tersebut.
Untuk perdagangan hari ini, posisi terkuat rupiah ada di Rp 14.830/US$. Sementara terlemahnya adalah Rp 14.910/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah pada hari ini:
Rupiah tidak sendirian, karena berbagai mata uang Asia juga melemah di hadapan dolar AS. Dengah pelemahan 0,47%, rupiah jadi mata uang dengan depresiasi terdalam ketiga Asia. Rupee India menjadi mata uang dengan pelemahan paling tajam, disusul won Korea Selatan di posisi kedua.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:20 WIB:
Faktor domestik menjadi alasan kinerja rupiah yang masuk jajaran terbawah di kawasan. Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Agustus 2018 ekspor tumbuh 4,15% year-on-year (YoY) sementara impor melonjak 24,65%. Ini membuat neraca perdagangan defisit US$ 1,02 miliar.
Defisit neraca perdagangan akan mengancam transaksi berjalan (current account). Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Neraca perdagangan Juli-Agustus yang defisit lumayan dalam membuat kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan bernasib serupa dengan kuartal sebelumnya.
Transaksi berjalan menjadi salah satu indikator utama kekuatan nilai tukar suatu mata uang. Ketika investor melihat ada prospek transaksi berjalan Indonesia kembali defisit pada kuartal III-2018, maka nasib rupiah pun jadi sorotan.
Rupiah akan sulit menguat jika transaksi berjalan kembali defisit, sehingga tekanan jual akan melanda rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya kemungkinan besar akan turun?
Rilis data ini menambah beban bagi laju rupiah yang sudah berat karena dolar AS sedang menguat. Hal ini seiring memanasnya hubungan dagang AS-China.
Presiden AS Donald Trump dikabarkan siap menerapkan bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar. Kebijakan ini paling cepat diterapkan pada Senin waktu AS.
China tidak kalah garang. Jika AS betul-betul menerapkan bea masuk baru, maka Beijing siap membalas dengan kebijakan serupa. Perang dagang AS vs China akan memasuki babak baru yang semakin panas.
Investor yang harap-harap cemas menanti kabar dari Washington dipaksa untuk bermain aman. Dolar AS menjadi salah satu tujuan utama pelaku pasar (selain yen Jepang) karena menjanjikan keamanan.
Aset-aset berisiko di negara berkembang pun terkena tekanan jual. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing membukukan jual bersih Rp 349,9 miliar yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 1,8%.
Di pasar obligasi, uniknya, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah masih cenderung turun. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah pada pukul 16:38 WIB:
Akan tetapi, sepertinya pasar obligasi pemerintah terbantu oleh aktivitas Bank Indonesia (BI) yang 'bergerilya' untuk stabilisasi rupiah. Selama ini, BI melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi negara.
Tingginya aktivitas BI di pasar obligasi terlihat dari kepemilikan yang terus naik. Pada 14 September, BI memegang obligasi pemerintah senilai Rp 115,89 triliun atau 5,07% dari jumlah obligasi yang dapat diperdagangkan. Angka ini melonjak dari sepekan sebelumnya yang Rp 99,71 triliun (4,4%).
Tambahan kepemilikan BI mampu menahan keluarnya investor asing. Per 14 Agustus, kepemilikan obligasi pemerintah oleh investor asing adalah Rp 835,55 triliun (36,57%). Turun dibandingkan seminggu sebelumnya yaitu Rp 838,21 triliun (36,95%).
BI menjual dolar AS untuk membeli rupiah yang digunakan untuk membeli obligasi. Langkah ini diharapkan mampu menambah likuiditas dolar AS di sistem perekonomian sehingga memperkuat rupiah. Sepertinya intervensi BI cukup berhasil dan membuat dolar AS lengser dari kisaran Rp 14.900.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada Senin (17/9/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.870 saat penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,47% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Saat pembukaan pasar spot, rupiah sudah melemah 0,2%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam dan sempat menjadi yang terdalam kedua di Asia.
Untuk perdagangan hari ini, posisi terkuat rupiah ada di Rp 14.830/US$. Sementara terlemahnya adalah Rp 14.910/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah pada hari ini:
Rupiah tidak sendirian, karena berbagai mata uang Asia juga melemah di hadapan dolar AS. Dengah pelemahan 0,47%, rupiah jadi mata uang dengan depresiasi terdalam ketiga Asia. Rupee India menjadi mata uang dengan pelemahan paling tajam, disusul won Korea Selatan di posisi kedua.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:20 WIB:
Faktor domestik menjadi alasan kinerja rupiah yang masuk jajaran terbawah di kawasan. Hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Agustus 2018 ekspor tumbuh 4,15% year-on-year (YoY) sementara impor melonjak 24,65%. Ini membuat neraca perdagangan defisit US$ 1,02 miliar.
Defisit neraca perdagangan akan mengancam transaksi berjalan (current account). Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Neraca perdagangan Juli-Agustus yang defisit lumayan dalam membuat kemungkinan transaksi berjalan pada kuartal III-2018 akan bernasib serupa dengan kuartal sebelumnya.
Transaksi berjalan menjadi salah satu indikator utama kekuatan nilai tukar suatu mata uang. Ketika investor melihat ada prospek transaksi berjalan Indonesia kembali defisit pada kuartal III-2018, maka nasib rupiah pun jadi sorotan.
Rupiah akan sulit menguat jika transaksi berjalan kembali defisit, sehingga tekanan jual akan melanda rupiah dan instrumen berbasis mata uang ini. Investor mana yang mau memegang aset yang nilainya kemungkinan besar akan turun?
Rilis data ini menambah beban bagi laju rupiah yang sudah berat karena dolar AS sedang menguat. Hal ini seiring memanasnya hubungan dagang AS-China.
Presiden AS Donald Trump dikabarkan siap menerapkan bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar. Kebijakan ini paling cepat diterapkan pada Senin waktu AS.
China tidak kalah garang. Jika AS betul-betul menerapkan bea masuk baru, maka Beijing siap membalas dengan kebijakan serupa. Perang dagang AS vs China akan memasuki babak baru yang semakin panas.
Investor yang harap-harap cemas menanti kabar dari Washington dipaksa untuk bermain aman. Dolar AS menjadi salah satu tujuan utama pelaku pasar (selain yen Jepang) karena menjanjikan keamanan.
Aset-aset berisiko di negara berkembang pun terkena tekanan jual. Di Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing membukukan jual bersih Rp 349,9 miliar yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot 1,8%.
Di pasar obligasi, uniknya, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah masih cenderung turun. Penurunan yield berarti harga instrumen ini sedang naik karena tingginya permintaan.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah pada pukul 16:38 WIB:
Akan tetapi, sepertinya pasar obligasi pemerintah terbantu oleh aktivitas Bank Indonesia (BI) yang 'bergerilya' untuk stabilisasi rupiah. Selama ini, BI melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi negara.
Tingginya aktivitas BI di pasar obligasi terlihat dari kepemilikan yang terus naik. Pada 14 September, BI memegang obligasi pemerintah senilai Rp 115,89 triliun atau 5,07% dari jumlah obligasi yang dapat diperdagangkan. Angka ini melonjak dari sepekan sebelumnya yang Rp 99,71 triliun (4,4%).
Tambahan kepemilikan BI mampu menahan keluarnya investor asing. Per 14 Agustus, kepemilikan obligasi pemerintah oleh investor asing adalah Rp 835,55 triliun (36,57%). Turun dibandingkan seminggu sebelumnya yaitu Rp 838,21 triliun (36,95%).
BI menjual dolar AS untuk membeli rupiah yang digunakan untuk membeli obligasi. Langkah ini diharapkan mampu menambah likuiditas dolar AS di sistem perekonomian sehingga memperkuat rupiah. Sepertinya intervensi BI cukup berhasil dan membuat dolar AS lengser dari kisaran Rp 14.900.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular