
Pelemahan Rupiah Terdalam di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 September 2018 10:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan masih menguat pada awal pekan ini. Sepertinya kurs acuan masih merefleksikan situasi akhir pekan lalu, karena hari ini rupiah berbalik melemah.
Pada Senin (10/9/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.835. Rupiah masih menguat 0,33% dibandingkan posisi akhir pekan lalu. Dengan begitu, rupiah sudah menguat 3 hari perdagangan beruntun.
Kemungkinan kurs ini masih memonitor posisi akhir pekan lalu, di mana rupiah menguat 0,47% di pasar spot. Sebab hari ini, rupiah sudah melemah.
Pada pukul 10:09 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.860 di mana rupiah melemah 0,3%. Kala pembukaan pasar spot, rupiah hanya melemah 0,03%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah memang kian dalam.
Di Asia, dolar AS masih bergerak variatif. Namun di antara mata uang yang melemah, depresiasi rupiah jadi yang paling dalam di Asia. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:13 WIB:
Dolar AS kian mantap di jalur penguatan. Pada pukul 10:15 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,06%.
Ada dua faktor yang menyebabkan dolar AS perkasa. Pertama adalah potensi kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam yang semakin besar. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,5% mencapai 98,4%.
Tidak berhenti di situ, The Fed juga diperkirakan menaikkan suku bunga 25 bps lagi menjadi 2,25-2,5% pada Desember. Kemungkinannya mencapai 72%.
Didorong aura kenaikan suku bunga yang semakin kuat, aset-aset berbasis dolar AS menjadi buruan. Maklum, kenaikan suku bunga tentu berujung pada kenaikan imbalan investasi, utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi.
Masuknya arus modal ke pasar Negeri Adidaya ditunjukkan oleh penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Yield yang turun menandakan harga instrumen ini sedang naik karena maraknya permintaan.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS pada pukul 10:23 WIB:
Saat dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini menjadi most wanted, maka nilainya akan semakin mahal alias menguat. Akibatnya, mata uang lain pun melemah di hadapan greenback, tidak terkecuali rupiah.
Faktor kedua adalah suhu perang dagang yang masih hangat, bahkan memanas. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menegaskan siap menerapkan bea masuk baru bagi impor produk made in China senilai US$ 200 miliar. Setelah itu, akan ada bea masuk tambahan lagi bagi impor senilai US$ 267 miliar.
"(Bea masuk) US$ 200 miliar yang dibicarakan itu bisa diterapkan sesegera mungkin, tergantung China. Saya benci mengatakan ini, tetapi setelah itu ada (bea masuk untuk importasi) US$ 267 miliar yang siap diterapkan kalau saya mau," tegas Trump akhir pekan lalu, dikutip dari Reuters.
Sejauh ini belum ada respons dari Beijing. Namun jika Negeri Tirai Bambu merespons keras, apalagi menyiapkan langkah balas dendam, maka suhu perang dagang akan kembali memanas. AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi. Ketika mereka terlibat friksi, dampaknya adalah arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia akan terhambat.
Saat perekonomian dunia melambat, maka investor akan dipaksa bermain aman, tidak mau mengambil aset-aset berisiko apalagi di negara berkembang. Sepertinya ini sudah terjadi sehingga rupiah tertekan.
Aliran dana di pasar keuangan domestik terbukti seret. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 82,02 miliar yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,54% pada pukul 10:30 WIB.
Sementara dari dalam negeri, hampir tidak ada sentimen yang bisa menguatkan rupiah. Justru yang ada adalah sentimen negatif yaitu penurunan cadangan devisa.
Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Agustus 2018 sebesar US$ 117,9 miliar, turun US$ 410 juta dibandingkan bulan sebelumnya. Posisi ini menjadi yang paling rendah sejak Januari 2017.
Kabar buruknya adalah cadangan devisa Indonesia semakin berkurang. Sejak Februari 2018, cadangan devisa tidak pernah naik.
Artinya, amunisi bank sentral untuk menjaga nilai tukar rupiah menjadi semakin terbatas. Rupiah dan perekonomian Indonesia pada umumnya berpotensi rentan terhadap gejolak eksternal jika cadangan devisa terus berkurang hingga ke titik yang tidak mencukupi.
Investor tentu cemas jika Indonesia semakin rentan. Bukan malah membantu, bisa-bisa pelaku pasar membuat situasi lebih buruk dengan meninggalkan Indonesia untuk mencari selamat masing-masing. Tekanan yang dialami Indonesia akan semakin berat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada Senin (10/9/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.835. Rupiah masih menguat 0,33% dibandingkan posisi akhir pekan lalu. Dengan begitu, rupiah sudah menguat 3 hari perdagangan beruntun.
Pada pukul 10:09 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.860 di mana rupiah melemah 0,3%. Kala pembukaan pasar spot, rupiah hanya melemah 0,03%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah memang kian dalam.
Di Asia, dolar AS masih bergerak variatif. Namun di antara mata uang yang melemah, depresiasi rupiah jadi yang paling dalam di Asia. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:13 WIB:
Dolar AS kian mantap di jalur penguatan. Pada pukul 10:15 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,06%.
Ada dua faktor yang menyebabkan dolar AS perkasa. Pertama adalah potensi kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam yang semakin besar. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,5% mencapai 98,4%.
Tidak berhenti di situ, The Fed juga diperkirakan menaikkan suku bunga 25 bps lagi menjadi 2,25-2,5% pada Desember. Kemungkinannya mencapai 72%.
Didorong aura kenaikan suku bunga yang semakin kuat, aset-aset berbasis dolar AS menjadi buruan. Maklum, kenaikan suku bunga tentu berujung pada kenaikan imbalan investasi, utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi.
Masuknya arus modal ke pasar Negeri Adidaya ditunjukkan oleh penurunan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Yield yang turun menandakan harga instrumen ini sedang naik karena maraknya permintaan.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS pada pukul 10:23 WIB:
Saat dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini menjadi most wanted, maka nilainya akan semakin mahal alias menguat. Akibatnya, mata uang lain pun melemah di hadapan greenback, tidak terkecuali rupiah.
Faktor kedua adalah suhu perang dagang yang masih hangat, bahkan memanas. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menegaskan siap menerapkan bea masuk baru bagi impor produk made in China senilai US$ 200 miliar. Setelah itu, akan ada bea masuk tambahan lagi bagi impor senilai US$ 267 miliar.
"(Bea masuk) US$ 200 miliar yang dibicarakan itu bisa diterapkan sesegera mungkin, tergantung China. Saya benci mengatakan ini, tetapi setelah itu ada (bea masuk untuk importasi) US$ 267 miliar yang siap diterapkan kalau saya mau," tegas Trump akhir pekan lalu, dikutip dari Reuters.
Sejauh ini belum ada respons dari Beijing. Namun jika Negeri Tirai Bambu merespons keras, apalagi menyiapkan langkah balas dendam, maka suhu perang dagang akan kembali memanas. AS dan China adalah dua perekonomian terbesar di planet bumi. Ketika mereka terlibat friksi, dampaknya adalah arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia akan terhambat.
Saat perekonomian dunia melambat, maka investor akan dipaksa bermain aman, tidak mau mengambil aset-aset berisiko apalagi di negara berkembang. Sepertinya ini sudah terjadi sehingga rupiah tertekan.
Aliran dana di pasar keuangan domestik terbukti seret. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 82,02 miliar yang membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,54% pada pukul 10:30 WIB.
Sementara dari dalam negeri, hampir tidak ada sentimen yang bisa menguatkan rupiah. Justru yang ada adalah sentimen negatif yaitu penurunan cadangan devisa.
Bank Indonesia (BI) melaporkan cadangan devisa per akhir Agustus 2018 sebesar US$ 117,9 miliar, turun US$ 410 juta dibandingkan bulan sebelumnya. Posisi ini menjadi yang paling rendah sejak Januari 2017.
Kabar buruknya adalah cadangan devisa Indonesia semakin berkurang. Sejak Februari 2018, cadangan devisa tidak pernah naik.
Artinya, amunisi bank sentral untuk menjaga nilai tukar rupiah menjadi semakin terbatas. Rupiah dan perekonomian Indonesia pada umumnya berpotensi rentan terhadap gejolak eksternal jika cadangan devisa terus berkurang hingga ke titik yang tidak mencukupi.
Investor tentu cemas jika Indonesia semakin rentan. Bukan malah membantu, bisa-bisa pelaku pasar membuat situasi lebih buruk dengan meninggalkan Indonesia untuk mencari selamat masing-masing. Tekanan yang dialami Indonesia akan semakin berat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular