
Dolar AS Kumpulkan Energi, Hati-hati Rupiah!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 September 2018 08:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada awal perdagangan hari ini. Rupiah mengakhiri 3 hari perdagangan tanpa pelemahan.
Pada Senin (10/9/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.820 saat pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,03% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Rupiah mampu menguat 0,47% pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Sehari sebelumnya, rupiah ditutup menguat 0,3% dan sebelumnya stagnan. Hari ini menjadi yang pertama rupiah tidak mampu bertahan di zona penguatan.
Di Asia, dolar AS bergerak fluktuatif. Bersama rupiah, mata uang lain yang melemah di antaranya yuan China, ringgit Malaysia. Peso Filipina, baht Thailand, dan dolar Singapura. Sisanya mampu menguat meski dalam rentang terbatas.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:14 WIB:
Dolar AS sedang mengumpulkan kekuatan untuk menguat. Pada pukul 08:16 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat tipis 0,02%.
Dolar AS berpotensi menguat pada perdagangan hari ini. Greenback bakal mendapat tambahan gula dari data ketenagakerjaan AS yang positif.
Pada Agustus 2018, angka pengangguran AS memang tetap di 3,9% seperti bulan sebelumnya. Namun, upah per jam rata-rata meningkat 0,4% secara month-to-month (MtM). Peningkatan sebesar itu merupakan yang tertinggi pada tahun ini, sekaligus mampu melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan peningkatan 0,2% MtM.
Adapun secara year-on year (YoY), upah per jam rata-rata di bulan lalu meningkat 2,9%. Capaian itu juga mampu melampaui konsensus yang dihimpun Reuters, yaitu 2,7%. Secara historis, peningkatan tahunan itu merupakan yang tertinggi sejak Juni 2009.
Kemudian, lapangan kerja non-pertanian AS per Agustus bertambah 201.000. Jauh melampaui konsensus pasar sebesar 191.000.
Data-data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang solid tersebut membuat potensi kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini semakin besar. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan menjadi 2-2,25% pada rapat 26 September mendatang adalah 98,4%.
Tidak selesai sampai di situ, The Fed juga diperkirakan menaikkan suku bunga lagi pada pertemuan Desember dengan kemungkinan 75%. Artinya, The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Didorong kabar kenaikan suku bunga, dolar AS berpotensi jumawa. Sebab, kenaikan suku bunga akan membuat arus modal berkerumun di sekitar greenback, karena investor berharap kenaikan imbalan investasi. Aksi borong terhadap dolar AS dan instrumen berbasis mata uang tersebut kemungkinan membuat mata uang lain bakal tertekan, tidak terkecuali rupiah.
Kemudian, hawa perang dagang juga masih hangat. Apalagi otoritas China merilis data surplus perdagangan dengan AS yang semakin lebar.
Beijing mengumumkan ekspor China pada Agustus 2015 tumbuh 9,8% YoY sementara impor melonjak 20% YoY. Negeri Tirai Bambu masih membukukan surplus perdagangan US$ 27,91 miliar.
Dengan AS, China mencatat ada surplus US$ 31,05 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 28,09 miliar. Ini bisa menjadi sumber masalah, karena dapat dijadikan alasan bagi AS untuk mengobarkan perang dagang. AS (maaf, lebih tepatnya Trump) tentu tidak mau terus-menerus tekor saat berdagang dengan China, sehingga instrumen kenaikan bea masuk menjadi andalan untuk meredam impor.
Bila ada kabar dari Washington seputar rencana pengenaan bea masuk terhadap impor produk China senilai US$ 267 miliar, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global. Investor akan dipaksa bermain aman, tidak mau mengambil aset-aset berisiko apalagi di negara berkembang. Bila ini terjadi, maka IHSG dan rupiah akan terancam sementara dolar AS semakin berjaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada Senin (10/9/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.820 saat pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,03% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Rupiah mampu menguat 0,47% pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Sehari sebelumnya, rupiah ditutup menguat 0,3% dan sebelumnya stagnan. Hari ini menjadi yang pertama rupiah tidak mampu bertahan di zona penguatan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:14 WIB:
Dolar AS sedang mengumpulkan kekuatan untuk menguat. Pada pukul 08:16 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat tipis 0,02%.
Dolar AS berpotensi menguat pada perdagangan hari ini. Greenback bakal mendapat tambahan gula dari data ketenagakerjaan AS yang positif.
Pada Agustus 2018, angka pengangguran AS memang tetap di 3,9% seperti bulan sebelumnya. Namun, upah per jam rata-rata meningkat 0,4% secara month-to-month (MtM). Peningkatan sebesar itu merupakan yang tertinggi pada tahun ini, sekaligus mampu melampaui ekspektasi pasar yang memperkirakan peningkatan 0,2% MtM.
Adapun secara year-on year (YoY), upah per jam rata-rata di bulan lalu meningkat 2,9%. Capaian itu juga mampu melampaui konsensus yang dihimpun Reuters, yaitu 2,7%. Secara historis, peningkatan tahunan itu merupakan yang tertinggi sejak Juni 2009.
Kemudian, lapangan kerja non-pertanian AS per Agustus bertambah 201.000. Jauh melampaui konsensus pasar sebesar 191.000.
Data-data ketenagakerjaan Negeri Paman Sam yang solid tersebut membuat potensi kenaikan suku bunga acuan pada rapat The Fed bulan ini semakin besar. Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga acuan menjadi 2-2,25% pada rapat 26 September mendatang adalah 98,4%.
Tidak selesai sampai di situ, The Fed juga diperkirakan menaikkan suku bunga lagi pada pertemuan Desember dengan kemungkinan 75%. Artinya, The Fed akan menaikkan suku bunga sebanyak empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Didorong kabar kenaikan suku bunga, dolar AS berpotensi jumawa. Sebab, kenaikan suku bunga akan membuat arus modal berkerumun di sekitar greenback, karena investor berharap kenaikan imbalan investasi. Aksi borong terhadap dolar AS dan instrumen berbasis mata uang tersebut kemungkinan membuat mata uang lain bakal tertekan, tidak terkecuali rupiah.
Kemudian, hawa perang dagang juga masih hangat. Apalagi otoritas China merilis data surplus perdagangan dengan AS yang semakin lebar.
Beijing mengumumkan ekspor China pada Agustus 2015 tumbuh 9,8% YoY sementara impor melonjak 20% YoY. Negeri Tirai Bambu masih membukukan surplus perdagangan US$ 27,91 miliar.
Dengan AS, China mencatat ada surplus US$ 31,05 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$ 28,09 miliar. Ini bisa menjadi sumber masalah, karena dapat dijadikan alasan bagi AS untuk mengobarkan perang dagang. AS (maaf, lebih tepatnya Trump) tentu tidak mau terus-menerus tekor saat berdagang dengan China, sehingga instrumen kenaikan bea masuk menjadi andalan untuk meredam impor.
Bila ada kabar dari Washington seputar rencana pengenaan bea masuk terhadap impor produk China senilai US$ 267 miliar, maka bisa menjadi sentimen negatif bagi pasar keuangan global. Investor akan dipaksa bermain aman, tidak mau mengambil aset-aset berisiko apalagi di negara berkembang. Bila ini terjadi, maka IHSG dan rupiah akan terancam sementara dolar AS semakin berjaya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular