
2018 vs 2013, Mana yang Lebih Parah?
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
06 September 2018 17:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Dampak dari depresiasi rupiah memang mengkhawatirkan. Kondisi yang paling terlihat di antaranya aksi jual di pasar keuangan Indonesia oleh investor asing. Ancaman krisis negara-negara berkembang, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) hingga perang dagang antara AS dan China dituding menjadi penyebab terjadinya depresiasi tersebut.
Sejak awal tahun, rupiah telah melemah lebih dari 10% dan menembus posisi terlemah sejak krisis moneter yaitu Rp 14.900/US$. Akibatnya, aliran modal asing begitu deras keluar. Di pasar saham misalnya, aksi jual telah mencapai Rp 52,11 triliun. Sementara di pasar obligasi khususnya obligasi pemerintah tenor 10 tahun, pergerakan yield telah mencapai 8,579% atau tertinggi sejak 20 Januari 2016.
"Kondisi pasar keuangan saat ini mulai mengingatkan kita pada situasi di tahun 2013. Apakah situasi tahun ini jauh lebih parah atau sebaliknya?" tulis riset lembaga keuangan asal AS, Goldman Sachs, yang diterima Kamis (6/9/2018).
Menurut Goldman Sachs, sebenarnya kondisi pasar keuangan Indonesia tahun ini masih lebih baik. Pada 2013, rupiah melemah hingga ke kisaran 18%. Aksi jual di pasar obligasi membuat yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik sampai 250 basis poin (bps).
"Lalu di pasar saham, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 2013 pernah anjlok hingga 20% atau jauh dibandingkan 2018 yang hanya 5-7%," lanjut riset itu.
Sejak awal tahun, rupiah telah melemah lebih dari 10% dan menembus posisi terlemah sejak krisis moneter yaitu Rp 14.900/US$. Akibatnya, aliran modal asing begitu deras keluar. Di pasar saham misalnya, aksi jual telah mencapai Rp 52,11 triliun. Sementara di pasar obligasi khususnya obligasi pemerintah tenor 10 tahun, pergerakan yield telah mencapai 8,579% atau tertinggi sejak 20 Januari 2016.
"Kondisi pasar keuangan saat ini mulai mengingatkan kita pada situasi di tahun 2013. Apakah situasi tahun ini jauh lebih parah atau sebaliknya?" tulis riset lembaga keuangan asal AS, Goldman Sachs, yang diterima Kamis (6/9/2018).
"Lalu di pasar saham, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada 2013 pernah anjlok hingga 20% atau jauh dibandingkan 2018 yang hanya 5-7%," lanjut riset itu.
Dampak negatif dari depresiasi rupiah mendorong Bank Indonesia (BI) melakukan stabilitasi kurs. Gelontoran devisa di pasar sekunder melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN), menyebabkan cadangan devisa bergerak turun.
Sekali lagi bila dibandingkan, cadangan devisa pada 2013 jauh lebih anjlok dibandingkan 2018. Pada 2013, posisi cadangan devisa menyentuh US$ 93 miliar sementara tahun ini masih bisa bertahan di atas US$ 100 miliar.
Tidak hanya intervensi di pasar sekunder, BI pun melakukan intervensi melalui kenaikan suku bunga acuan. Pada 2018, terhitung BI telah menaikkan suku bunga acuan hingga 125 bps. Sementara di tahun 2013, periode Mei-November, BI menaikkan suku bunga acuan hingga 175 bps.
Goldman Sachs dalam riset tersebut memperkirakan, BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan hingga 50 bps lagi hingga akhir 2018. Ini didasari kemungkinan guncangan-guncangan yang lebih ke depannya, sehingga BI akan lebih mengantisipasi.
(alf/aji) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!
Most Popular