
Dulu Sama-sama Krisis, Thailand Kini Lebih Berjaya dari RI
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 September 2018 13:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) menguat terhadap berbagai mata uang dunia tahun ini, semua tahu itu. Pertanyaannya adalah, siapa yang terdepresiasi paling dangkal.
Sejak awal tahun, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 3,22%. Dolar AS tidak terbendung, menjadi raja mata uang dunia.
Keperkasaan dolar AS sampai ke ASEAN. Seluruh mata uang negara ASEAN melemah, dengan rupiah jadi yang terdalam kedua. Rupiah hanya lebih baik dari kyat Myanmar.
Ternyata, baht Thailand menjadi mata uang terbaik di Asia Tenggara. Pelemahan baht di hadapan dolar AS sejak awal tahun tipis saja, tidak sampai 1%.
Oleh karena itu, baht mendapat status baru sebagai aset aman alias safe haven di wilayah Asia Tenggara. Baht kini sejajar dengan yen Jepang dan franc Swiss, mata uang kelas elit yang menjadi tempat berlindung kala pasar tengah dilandai badai.
Padahal kalau kita kilas balik 20 tahun lalu, Thailand dan Indonesia senasib sependeritaan mengalami krisis ekonomi mahadahsyat. Kalau di Indonesia krisis ekonomi 1997-1998 akrab disebut krisis moneter (krismon), di Thailand disebut krisis tom yum goong.
Dalam periode penuh derita itu, baht melemah 41,13%. Sementara rupiah lebih parah lagi, ambrol 230,37%.
Mata uang yang jatuh menyebabkan krisis yang semula hanya di sektor keuangan menjalar ke sektor riil, yang berakibat pada lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan. Krisis ekonomi bertransformasi menjadi krisis sosial-politik.
Namun lihat sekarang. Baht sudah jauh berubah, menjadi perkasa dan bahkan berstatus safe haven. Sementara rupiah, ya begitu lah.
Apa yang membuat baht begitu kuat?
Pertama, Negeri Gajah Putih serius memperbaiki tata kelola perbankan. Sebab sektor inilah yang menyebabkan krisis, perbankan yang terlalu agresif dalam menarik utang luar negeri.
Begitu mata uang melemah, utang mereka membengkak dan sektor perbankan kolaps. Begitu perbankan kolaps, ekonomi mandek karena kekurangan bensin.
Mengutip dokumen Bank Sentral Thailand (BoT), reformasi sektor perbankan di negara itu terbagi dalam dua fase. Pertama adalah membersihkan neraca bank-bank nasional dan memperbaiki regulasi, yang berlangsung pada 1997-2001.
Sedangkan fase kedua adalah membuat perbankan nasional tumbuh dan mencetak laba dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Fase kedua berlangsung pada 2001-2007. Fase kedua ini terbagi dalam beberapa tahap yaitu:
Perbankan ibarat darah yang mengaliri seluruh bagian perekonomian. Kala perbankan kuat dan sehat, maka sektor keuangan dan sektor riil Thailand pun solid. Thailand tidak lagi rentan terhadap gejolak-gejolak eksternal. Kedua, baht punya modal kuat yaitu surplus transaksi berjalan (current account). Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa yang datang dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor perdagangan ini lebih bertahan lama sehingga lebih bisa diandalkan dalam menyokong nilai tukar dibandingkan devisa dari sektor keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Pada kuartal II-2018, Thailand menikmati surplus transaksi berjalan yang cukup besar yaitu mencapai 7,71% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara Indonesia malah mengalami defisit yang lumayan dalam yaitu 3,04% PDB. Tidak heran baht relatif stabil karena punya bantalan kuat.
Thailand dikenal punya sumber daya alam yang bagus, terutama di sektor pertanian. Namun ternyata bukan komoditas itu yang menjadi andalan ekspor Thailand.
Mengutip data BoT, ekspor Thailand didominasi oleh mesin. Thailand memang dikenal sebagai pusat industri otomotif di Asia Tenggara.
Ekspor manufaktur lebih punya daya saing, dan nilai tambahnya dinikmati di dalam negeri. Ekspor manufaktur juga lebih diuntungkan kala nilai tukar mengalami depresiasi, karena punya keunggulan kompetitif.
Thailand mengembangkan industri manufaktur dengan sangat baik. Untuk menggeliatkan produksi, Thailand membangun sejumlah kawasan industri terpadu yang dekat dengan pelabuhan. Pabrik, gudang, dan pelabuhan dibuat sangat dekat sehingga meningkatkan efisiensi.
Thailand juga serius membangun infrastruktur. Sebab tanpa dukungan infrastruktur, tidak ada artinya mengembangkan industri.
Dua modal besar tersebut membuat baht bukan yang dulu lagi. Baht yang sekarang sangat solid karena dukungan sektor keuangan dan sektor riil. Prestasi Thailand dalam menjaga baht bisa menjadi rujukan bagi Indonesia. Kuncinya adalah Indonesia perlu meningkatkan kualitas ekspor ke arah manufaktur dengan menggalakkan industrialisasi.
Kala industri nasional bangkit, maka ekspor Indonesia akan naik kelas tidak lagi mengandalkan komoditas. Dengan begitu, ekspor lebih berkualitas dan nilainya pun naik.
Ketika nilai ekspor naik, maka defisit transaksi berjalan diharapkan berkurang atau bahkan bisa surplus. Saat transaksi berjalan Indonesia membaik, maka rupiah yang stabil sepertinya tinggal menunggu waktu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Sejak awal tahun, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 3,22%. Dolar AS tidak terbendung, menjadi raja mata uang dunia.
Keperkasaan dolar AS sampai ke ASEAN. Seluruh mata uang negara ASEAN melemah, dengan rupiah jadi yang terdalam kedua. Rupiah hanya lebih baik dari kyat Myanmar.
Ternyata, baht Thailand menjadi mata uang terbaik di Asia Tenggara. Pelemahan baht di hadapan dolar AS sejak awal tahun tipis saja, tidak sampai 1%.
Oleh karena itu, baht mendapat status baru sebagai aset aman alias safe haven di wilayah Asia Tenggara. Baht kini sejajar dengan yen Jepang dan franc Swiss, mata uang kelas elit yang menjadi tempat berlindung kala pasar tengah dilandai badai.
Padahal kalau kita kilas balik 20 tahun lalu, Thailand dan Indonesia senasib sependeritaan mengalami krisis ekonomi mahadahsyat. Kalau di Indonesia krisis ekonomi 1997-1998 akrab disebut krisis moneter (krismon), di Thailand disebut krisis tom yum goong.
Dalam periode penuh derita itu, baht melemah 41,13%. Sementara rupiah lebih parah lagi, ambrol 230,37%.
Mata uang yang jatuh menyebabkan krisis yang semula hanya di sektor keuangan menjalar ke sektor riil, yang berakibat pada lonjakan angka pengangguran dan kemiskinan. Krisis ekonomi bertransformasi menjadi krisis sosial-politik.
Namun lihat sekarang. Baht sudah jauh berubah, menjadi perkasa dan bahkan berstatus safe haven. Sementara rupiah, ya begitu lah.
Apa yang membuat baht begitu kuat?
Pertama, Negeri Gajah Putih serius memperbaiki tata kelola perbankan. Sebab sektor inilah yang menyebabkan krisis, perbankan yang terlalu agresif dalam menarik utang luar negeri.
Begitu mata uang melemah, utang mereka membengkak dan sektor perbankan kolaps. Begitu perbankan kolaps, ekonomi mandek karena kekurangan bensin.
Mengutip dokumen Bank Sentral Thailand (BoT), reformasi sektor perbankan di negara itu terbagi dalam dua fase. Pertama adalah membersihkan neraca bank-bank nasional dan memperbaiki regulasi, yang berlangsung pada 1997-2001.
Sedangkan fase kedua adalah membuat perbankan nasional tumbuh dan mencetak laba dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Fase kedua berlangsung pada 2001-2007. Fase kedua ini terbagi dalam beberapa tahap yaitu:
- Menerapkan manajemen risiko dan pengawasan.
- Pengawasan terkonsolidasi.
- Meningkatkan penyaluran kredit dan fokus kepada perlindungan nasabah.
Perbankan ibarat darah yang mengaliri seluruh bagian perekonomian. Kala perbankan kuat dan sehat, maka sektor keuangan dan sektor riil Thailand pun solid. Thailand tidak lagi rentan terhadap gejolak-gejolak eksternal. Kedua, baht punya modal kuat yaitu surplus transaksi berjalan (current account). Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa yang datang dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor perdagangan ini lebih bertahan lama sehingga lebih bisa diandalkan dalam menyokong nilai tukar dibandingkan devisa dari sektor keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Pada kuartal II-2018, Thailand menikmati surplus transaksi berjalan yang cukup besar yaitu mencapai 7,71% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara Indonesia malah mengalami defisit yang lumayan dalam yaitu 3,04% PDB. Tidak heran baht relatif stabil karena punya bantalan kuat.
Thailand dikenal punya sumber daya alam yang bagus, terutama di sektor pertanian. Namun ternyata bukan komoditas itu yang menjadi andalan ekspor Thailand.
Mengutip data BoT, ekspor Thailand didominasi oleh mesin. Thailand memang dikenal sebagai pusat industri otomotif di Asia Tenggara.
Ekspor manufaktur lebih punya daya saing, dan nilai tambahnya dinikmati di dalam negeri. Ekspor manufaktur juga lebih diuntungkan kala nilai tukar mengalami depresiasi, karena punya keunggulan kompetitif.
Thailand mengembangkan industri manufaktur dengan sangat baik. Untuk menggeliatkan produksi, Thailand membangun sejumlah kawasan industri terpadu yang dekat dengan pelabuhan. Pabrik, gudang, dan pelabuhan dibuat sangat dekat sehingga meningkatkan efisiensi.
Thailand juga serius membangun infrastruktur. Sebab tanpa dukungan infrastruktur, tidak ada artinya mengembangkan industri.
Dua modal besar tersebut membuat baht bukan yang dulu lagi. Baht yang sekarang sangat solid karena dukungan sektor keuangan dan sektor riil. Prestasi Thailand dalam menjaga baht bisa menjadi rujukan bagi Indonesia. Kuncinya adalah Indonesia perlu meningkatkan kualitas ekspor ke arah manufaktur dengan menggalakkan industrialisasi.
Kala industri nasional bangkit, maka ekspor Indonesia akan naik kelas tidak lagi mengandalkan komoditas. Dengan begitu, ekspor lebih berkualitas dan nilainya pun naik.
Ketika nilai ekspor naik, maka defisit transaksi berjalan diharapkan berkurang atau bahkan bisa surplus. Saat transaksi berjalan Indonesia membaik, maka rupiah yang stabil sepertinya tinggal menunggu waktu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Most Popular