Dikawal BI, Rupiah Tak Lagi Melemah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
05 September 2018 17:00
Dikawal BI, Rupiah Tak Lagi Melemah
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berakhir stagnan pada perdagangan hari ini. Jelang akhir perdagangan, dolar AS yang berbalik perkasa berhasil menghabiskan penguatan rupiah. 

Pada Rabu (5/9/2018), US$ 1 di pasar spot ditutup Rp 14.930. Tidak berubah dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. Meski stagnan, pencapaian ini mengakhiri tren depresiasi rupiah yang terjadi selama 6 hari perdagangan terakhir. 

 

Kala pembukaan pasar, rupiah menguat 0,03%. Sepanjang hari rupiah bertahan di level itu, sangat minim dinamika.  

Ini terlihat dari posisi terkuat rupiah di Rp 14.924/US$ sementara terlemahnya di Rp 14.600/US$. Rentang pergerakannya sangat tipis. 


Rupiah masih beruntung karena sebagian besar mata uang utama Asia melemah di hadapan dolar AS. Depresiasi paling dalam dialami oleh won Korea Selatan, disusul oleh rupee India dan ringgit Malaysia. 

Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:16 WIB: 

 

Dolar AS yang pagi tadi sempat tertekan mulai bangkit selepas tengah hari dan berlanjut sampai sore ini. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,08% pada pukul 16:19 WIB. 

Mata uang Negeri Paman Sam ini sempat mengalami tekanan karena ambil untung. Maklum, dolar AS sudah agak terlalu lama menguat. 

Dalam sepekan terakhir, Dollar Index menguat 0,97%. Bahkan dalam 6 bulan ke belakang, indeks ini sudah menguat 6,56%. 

Oleh karena itu, investor keluar untuk mengambil cuan. Namun, pelaku pasar memang tidak bisa berpisah terlalu lama dengan dolar AS sehingga kemudian kembali dalam hitungan jam. 

Hal ini karena investor sebenarnya sedang grogi menantikan perkembangan di AS. Pada Kamis waktu AS, tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir. Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat selesai. 

Jika Trump nekat menerapkan bea masuk bagi impor senilai US$ 200 miliar itu, maka akan sangat mungkin China bakal membalas. Saling 'balas pantun' ini berbahaya, karena bisa mempengaruhi arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.  

Investor pun dibuat khawatir dan hanya bisa menunggu kabar terbaru dari Washington. Saat isu perang dagang mengemuka, pelaku pasar biasanya akan ogah mengambil risiko dan mengoleksi aset-aset aman. Dolar AS adalah salah satunya.


Selain itu, investor juga tengah memantau perkembangan di negara-negara berkembang setelah gonjang-ganjing yang disebabkan Turki dan Argentina. Investor cenderung melepas mata uang dan aset berbasis mata uang negara yang mengidap defisit di transaksi berjalan (current account). 

Sebab, arus modal dari pasar keuangan kemungkinan besar akan seret karena tersedot ke AS. Oleh karena itu, mata uang hanya akan mengandalkan transaksi berjalan agar bisa menguat. Saat transaksi berjalan tekor, maka tidak ada lagi pijakan untuk mata uang tersebut bisa menguat. 

Itulah yang dialami Indonesia. Pada kuartal II-2018, Indonesia mencatat defisit transaksi berjalan sebesar 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), paling dalam sejak kuartal II-2014.   

Kemungkinan defisit yang cukup dalam akan terulang pada kuartal III-2018. Pertanda ke sana terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang lumayan besar yaitu mencapai US$2,03 miliar. 

Melihat potensi rupiah sulit menguat, investor (terutama asing) pun cenderung menghindari Indonesia. Sebab kalau mereka masuk sekarang, ada kemungkinan nantinya malah rugi karena pelemahan nilai tukar. 

Aksi jual pun melanda instrumen-instrumen berbasis rupiah. Di pasar saham, nilai jual bersih investor asing mencapai Rp 877,36 miliar. 

Sementara di pasar obligasi, aksi pelepasan terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield). Saat yield naik, artinya harga instrumen tersebut sedang turun. 

Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah Indonesia, di mana terjadi kenaikan untuk semua tenor: 




Rupiah berhasil menghindari zona negatif berkat peran Bank Indonesia (BI) yang aktif 'bergerilya' di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN). Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengungkapkan bank sentral mengeluarkan triliunan rupiah untuk menjaga kestabilan rupiah. 


Kamis pekan lalu, Perry menyebutkan BI mengeluarkan Rp 3 triliun untuk membeli SBN di pasar sekunder. Kemudian sehari sebelumnya, dana yang dikeluarkan naik menjadi Rp 4,1 triliun. Lalu pada Senin pekan ini, jumlahnya adalah Rp 3 triliun dan kemarin Rp 1,8 triliun. 

"Kami lakukan berdasarkan mekanisme pasar. Kalau (rupiah) tertekan, kami lakukan stabilisasi," tegasnya. 

Untuk hari ini, Perry tidak menyebut biaya yang dikeluarkan untuk stabilisasi kurs. Namun Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI, menyebutkan intervensi hari ini juga melibatkan dana yang tidak sedikit. 

"BI intervensi sangat kuat hari ini, untuk menjaga tidak ada pelemahan cukup dalam," kata Nanang. 

Intervensi BI berhasil menjaga rupiah tetap menguat sampai jelang akhir perdagangan. Namun kuatnya tekanan mungkin membuat BI sedikit melepaskan pegangannya. Meski begitu, BI berjasa dalam menjaga rupiah tidak jatuh seperti 6 hari perdagangan sebelumnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular