
IHSG Terjun Bebas, Berikut Penjelasannya
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 September 2018 12:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 3,33% hingga akhir sesi 1 ke level 5.708,88. Walaupun sama-sama memerah, performa IHSG jelas merupakan yang terburuk di Asia: indeks Nikkei turun 0,32%, indeks Kospi turun 0,19%, indeks Strait Times turun 0,81%, Indeks Shanghai turun 0,92%, indeks Hang Seng turun 1,65%, indeks SET (Thailand) turun 0,67%, dan indeks KLCI (Malaysia) turun 0,3%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 3,93 triliun dengan volume sebanyak 6,29 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 219.142 kali.
Ada beberapa faktor, baik dalam dan luar negeri, yang membuat IHSG hancur lebur. Dari dalam negeri, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut oleh Bank Indonesia (BI) membuat pasar saham ditinggalkan.
Persepsi ini muncul kala rupiah menembus level psikologis Rp 14.900/dolar AS pada perdagangan kemarin (4/9/2018). Pada perdagangan hari ini, rupiah bertengger di level Rp 14.925/dolar AS.
Jika suku bunga acuan kembali dinaikkan, maka kinerja dari emiten-emiten perbankan bisa terganggu, seiring dengan tertekannya penyaluran kredit lantaran kenaikan suku bunga kredit. Padahal, penyaluran kredit perbankan baru saja menggeliat.
Sepanjang Juni, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran kredit bank umum kepada pihak ketiga tumbuh sebesar 10,8% YoY, jauh mengalahkan capaian periode yang sama tahun 2017 yang hanya sebesar 7,7% YoY. Capaian tersebut juga mengalahkan angka bulan Mei yang sebesar 10,3% YoY.
Maka dari itu, investor begitu gencar melepas saham-saham emiten perbankan: PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 5%, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 4,92%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 4,5%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 3,8%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 3,13%.
Akibat aksi jual atas saham-saham emiten perbankan, indeks sektor jasa keuangan merosot 3,13%, menjadikannya kontributor terbesar bagi pelemahan IHSG.
Lebih lanjut, tertekannya penyaluran kredit perbankan berarti tekanan bagi pertumbuhan ekonomi. Bagi instrumen berisiko seperti saham, pertumbuhan ekonomi yang lemah tentu membuatnya tak menarik bagi investor.
Apalagi, pemerintah sudah menetapkan 500 barang konsumsi yang akan ditahan impornya melalui kenaikan pajak penghasilan (PPh) pasal 22. Rencananya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait hal tersebut akan dirilis hari ini. Lagi-lagi, pertumbuhan ekonomi menjadi taruhannya.
Tekanan terhadap nilai tukar juga membuat BI melakukan intervensi secara besar-besaran.
"BI intervensi sangat kuat hari ini, untuk menjaga tidak ada pelemahan cukup dalam," terang Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah di Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Ketika melakukan intervensi, cadangan devisa akan tergerus. Sepanjang tahun 2018, cadangan devisa Indonesia sudah tergerus sebesar US$ 11,9 miliar, utamanya guna menahan pelemahan rupiah.
Terkurasnya cadangan devisa akan membuat Indonesia semakin rentan terhadap gejolak eksternal. Masalahnya, belum ada tanda-tanda bahwa krisis nilai tukar di Argentina dan Turki akan segera berakhir.
Dari sisi eksternal, kekhawatiran investor datang dari potensi memanasnya perang dagang antara AS dan China. Pada hari Kamis (6/9/2018), tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir.
Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Sebagai informasi, tarif baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 200 miliar merupakan yang terbesar jika jadi diterapkan. Dua kali pengenaan tarif baru oleh AS sebelumnya hanya menyasar barang-barang senilai US$ 34 miliar dan US$ 16 miliar.
Wajar jika pelaku pasar kini dibuat sangat khawatir, terlebih mengingat posisi China yang merupakan salah satu pasar utama bagi produk-produk ekspor asal Indonesia.
Kemudian, dari serangkaian data ekonomi yang dirilis pada hari ini di kawasan regional, tidak ada satupun yang mampu mengalahkan ekspektasi. Di Singapura, data Nikkei PMI periode Agustus diumumkan di level 51,1, di bawah konsensus yang sebesar 52,3.
Di China, Caixin Composite PMI periode Agustus diumumkan di level 52, sama dengan konsensus, sementara Caixin Services PMI periode yang sama diumumkan di level 51,5, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 52,2. Di Hong Kong, data Nikkei PMI periode Agustus diumumkan di level 48,5, lebih rendah dari estimasi yang sebesar 49.
Perlu diingat juga bahwa sejarah sudah menunjukkan bulan September bukan merupakan periode yang baik bagi investor saham di tanah air. Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir (2013-2017), IHSG memberikan imbal hasil negatif yakni sebesar 0,64% MoM pada bulan September.
Secara berturut-turut sejak 2013 hingga 2017, imbal hasil IHSG pada bulan September secara bulanan adalah 2,89%, 0,01%, -6,34%, -0,4%, dan 0,63%.
Seiring dengan berbagai sentimen negatif yang ada, investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 324,9 miliar. 5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 125,1 miliar), PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 48 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 32,7 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 28 miliar), dan PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 27,7 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 3,93 triliun dengan volume sebanyak 6,29 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 219.142 kali.
Ada beberapa faktor, baik dalam dan luar negeri, yang membuat IHSG hancur lebur. Dari dalam negeri, persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan lebih lanjut oleh Bank Indonesia (BI) membuat pasar saham ditinggalkan.
Jika suku bunga acuan kembali dinaikkan, maka kinerja dari emiten-emiten perbankan bisa terganggu, seiring dengan tertekannya penyaluran kredit lantaran kenaikan suku bunga kredit. Padahal, penyaluran kredit perbankan baru saja menggeliat.
Sepanjang Juni, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat penyaluran kredit bank umum kepada pihak ketiga tumbuh sebesar 10,8% YoY, jauh mengalahkan capaian periode yang sama tahun 2017 yang hanya sebesar 7,7% YoY. Capaian tersebut juga mengalahkan angka bulan Mei yang sebesar 10,3% YoY.
Maka dari itu, investor begitu gencar melepas saham-saham emiten perbankan: PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) turun 5%, PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) turun 4,92%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 4,5%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) turun 3,8%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 3,13%.
Akibat aksi jual atas saham-saham emiten perbankan, indeks sektor jasa keuangan merosot 3,13%, menjadikannya kontributor terbesar bagi pelemahan IHSG.
Lebih lanjut, tertekannya penyaluran kredit perbankan berarti tekanan bagi pertumbuhan ekonomi. Bagi instrumen berisiko seperti saham, pertumbuhan ekonomi yang lemah tentu membuatnya tak menarik bagi investor.
Apalagi, pemerintah sudah menetapkan 500 barang konsumsi yang akan ditahan impornya melalui kenaikan pajak penghasilan (PPh) pasal 22. Rencananya, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait hal tersebut akan dirilis hari ini. Lagi-lagi, pertumbuhan ekonomi menjadi taruhannya.
Tekanan terhadap nilai tukar juga membuat BI melakukan intervensi secara besar-besaran.
"BI intervensi sangat kuat hari ini, untuk menjaga tidak ada pelemahan cukup dalam," terang Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah di Jakarta, Rabu (5/9/2018).
Ketika melakukan intervensi, cadangan devisa akan tergerus. Sepanjang tahun 2018, cadangan devisa Indonesia sudah tergerus sebesar US$ 11,9 miliar, utamanya guna menahan pelemahan rupiah.
Terkurasnya cadangan devisa akan membuat Indonesia semakin rentan terhadap gejolak eksternal. Masalahnya, belum ada tanda-tanda bahwa krisis nilai tukar di Argentina dan Turki akan segera berakhir.
Dari sisi eksternal, kekhawatiran investor datang dari potensi memanasnya perang dagang antara AS dan China. Pada hari Kamis (6/9/2018), tahapan dengar pendapat untuk aturan pengenaan bea masuk baru bagi impor produk China senilai US$ 200 miliar akan berakhir.
Beredar kabar bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengeksekusi kebijakan tersebut segera setelah tahapan dengar pendapat selesai.
Sebagai informasi, tarif baru yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 200 miliar merupakan yang terbesar jika jadi diterapkan. Dua kali pengenaan tarif baru oleh AS sebelumnya hanya menyasar barang-barang senilai US$ 34 miliar dan US$ 16 miliar.
Wajar jika pelaku pasar kini dibuat sangat khawatir, terlebih mengingat posisi China yang merupakan salah satu pasar utama bagi produk-produk ekspor asal Indonesia.
Kemudian, dari serangkaian data ekonomi yang dirilis pada hari ini di kawasan regional, tidak ada satupun yang mampu mengalahkan ekspektasi. Di Singapura, data Nikkei PMI periode Agustus diumumkan di level 51,1, di bawah konsensus yang sebesar 52,3.
Di China, Caixin Composite PMI periode Agustus diumumkan di level 52, sama dengan konsensus, sementara Caixin Services PMI periode yang sama diumumkan di level 51,5, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 52,2. Di Hong Kong, data Nikkei PMI periode Agustus diumumkan di level 48,5, lebih rendah dari estimasi yang sebesar 49.
Perlu diingat juga bahwa sejarah sudah menunjukkan bulan September bukan merupakan periode yang baik bagi investor saham di tanah air. Secara rata-rata dalam 5 tahun terakhir (2013-2017), IHSG memberikan imbal hasil negatif yakni sebesar 0,64% MoM pada bulan September.
Secara berturut-turut sejak 2013 hingga 2017, imbal hasil IHSG pada bulan September secara bulanan adalah 2,89%, 0,01%, -6,34%, -0,4%, dan 0,63%.
Seiring dengan berbagai sentimen negatif yang ada, investor asing membukukan jual bersih sebesar Rp 324,9 miliar. 5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 125,1 miliar), PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 48 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 32,7 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 28 miliar), dan PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 27,7 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000
Most Popular