Rupiah Melemah 0,6% Pekan Ini, Terdalam Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 September 2018 10:37
Rupiah Melemah 0,6% Pekan Ini, Terdalam Kedua di Asia
Ilustrasi Uang (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini bukan periode yang indah bagi rupiah. Di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), rupiah melemah lumayan tajam. 

Sepanjang pekan ini, rupiah melemah 0,6%. Tidak hanya itu, rupiah juga menyentuh titik terlemahnya sepanjang 2018. Ditarik lebih ke belakang, rupiah berada di posisi terlemah sejak Juli 1998, alias saat Indonesia mengalami krisis moneter (krismon). 


Namun rupiah tidak berjalan sendiri. Berbagai mata uang utama Asia juga tidak berkutik di hadapan dolar AS. 

Sepekan ini, dolar Singapura melemah 0,52%. Kemudian ringgit Malaysia melemah 0,02%, baht Thailand terdepresiasi 0,46%, won Korea Selatan minus 0,1%, yuan China terkoreksi 0,39%, dolar Taiwan tekor 0,03%, dan rupee India anjlok 1,49%. 

Rupiah jadi mata uang dengan pelemahan kedua terdalam di antara mata utang utama Benua Kuning. Depresiasi rupiah hanya lebih baik ketimbang rupee. 

Dolar AS sejatinya agak tertekan pekan ini. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama, melemah tipis 0,01% dalam sepekan terakhir. 

Sentimen negatif bagi mata uang Negeri Paman Sam datang dari reaksi pasar terhadap pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve. Dalam pertemuan tahunan akhir pekan lalu, pengganti Janet Yellen itu dinilai tidak memberikan petunjuk yang jelas mengenai potensi kenaikan suku bunga yang lebih agresif.  

Meski kembali menegaskan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga secara bertahap, Powell justru menyebutkan AS belum mengalami masalah inflasi yang berarti. Hal ini membuat pasar bertanya-tanya, apakah The Fed akan tetap menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018? Atau kembali ke perkiraan awal, yaitu tiga kali? 

Faktor pemberat lain bagi greenback adalah kesepakatan dagang AS-Meksiko dalam rangka pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Aura damai dagang pun merebak, karena sebelumnya dua negara yang bertetangga itu sempat terlibat friksi dagang. 

Pada Juni, AS mengenakan bea masuk 25% bagi baja dan 10% untuk aluminium dari Negeri Sombrero. Langkah itu langsung dibalas Meksiko dengan membebani bea masuk 20-25% untuk produk-produk AS seperti daging babi, keju, dan sebagainya. 

Namun dengan adanya kesepakatan AS-Meksiko, keduanya sudah berdamai. Ada peluang bea masuk yang ada akan dicabut. 

Akibat damai dagang ini, investor pun mulai berani mengambil risiko dengan masuk ke negara-negara berkembang. Aliran modal yang keluar dari Negeri Adidaya membuat dolar AS kehilangan pijakan dan cenderung melemah. 

Namun situasi itu tidak bisa dimanfaatkan oleh rupiah cs di Asia. Pasalnya, ada pula sentimen yang masih membuat investor memilih dolar AS ketimbang masuk ke Benua Kuning. 

Sentimen itu adalah perkembangan di Turki dan Argentina. Turki kembali menjadi sorotan setelah lembaga pemeringkat Moody's menurunkan peringkat utang 20 lembaga keuangan di Negeri Kebab. Moody's menilai situasi di Turki lebih buruk dari perkiraan semula, terutama akibat depresiasi lira yang sangat tajam. 

Sejak awal tahun, lira sudah melemah 43% terhadap dolar AS. Ini membuat utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak, padahal jumlah utangnya mungkin tidak bertambah. 

Tidak hanya itu, Moody's menganggap iklim bisnis (terutama perbankan) di Turki kian tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah intervensi Presiden Recep Tayyip Erdogan yang terlalu dalam terhadap kebijakan moneter. Erdogan selalu menyatakan bahwa dirinya adalah musuh suku bunga tinggi, sehingga menghambat langkah bank sentral untuk melakukan penyesuaian moneter. 

"Solvabilitas perbankan Turki akan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya karena kontrol regulasi. Iklim bisnis di Turki menurun dan sepertinya akan terus berlanjut," sebut laporan Moody's. 

Laporan itu menambahkan, lembaga keuangan di Turki akan kesulitan menyalurkan dana jika sentimen negatif ini terus berlanjut. Oleh karena itu, surat utang dan deposito jangka panjang di sana mendapat peringkat negatif. 

Setelah Turki, giliran Argentina yang bikin gara-gara. Investor mulai mencemaskan mata uang peso yang melemah 51,9% di hadapan dolar AS sejak awal tahun. 

Pelemahan peso memaksa Bank Sentral Argentina (BCRA) melakukan intervensi besar-besaran, tetapi tetap tidak manjur. Oleh karena itu, Argetina pun berpaling kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Argentina memang sudah menyepakati fasilitas pinjaman sebesar US$ 50 miliar dari lembaga multilateral tersebut. 

Kesepakatan utang dengan IMF tentu ada harganya. Argentina harus mengubah rencana ekonomi yang sudah disusun untuk kemudian diganti dengan saran-saran IMF. Salah satu resep IMF yang paling terkenal adalah pengetatan fiskal dengan pemangkasan berbagai subsidi, yang memicu kemarahan rakyat Negeri Tango. 

Perkembangan di Turki dan Argentina membuat investor kini menyoroti kinerja negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India. Kebetulan negara-negara ini punya masalah serupa, yaitu defisit transaksi berjalan (current account). 

Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor perdagangan ini lebih tahan lama, sehingga lebih menjanjikan untuk menopang nilai tukar secara berkelanjutan (sustain). 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemungkinan defisit yang cukup dalam ini akan terulang pada kuartal III-2018, dan ini menjadi perhatian pelaku pasar. 

Tanda-tanda defisit transaksi berjalan terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang mencapai US$ 2,03 miliar. Ini merupakan catatan terburuk sejak 2013. 

Oleh karena itu, ke depan rupiah masih punya peluang untuk melemah. Sebab, rupiah minim devisa untuk berpijak baik itu dari sektor perdagangan maupun pasar keuangan. 

Risiko depresiasi lebih lanjut membuat pelaku pasar agak menghindari rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini. Akibatnya jelas, rupiah bergerak melemah pekan ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular