Pasar Obligasi Kandas di Tangan Dolar AS

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
31 August 2018 21:07
Yield naik paling tinggi, seri 5 tahun dan 20 tahun, masing-masing 17 basis poin (bps) dan 14 bps menjadi 7,94% dam 8,59%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Foto: CNBC Indonesia
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah tumbang di penghujung pekan sekaligus akhir bulan ini akibat tekanan dolar AS yang dipicu beberapa kejadian utama dunia.

Merujuk data Reuters, koreksi harga surat berharga negara (SBN) itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus mengangkat tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder.

Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.

Keempat seri itu adalah FR0063 bertenor 5 tahun, FR0064 bertenor 10 tahun, FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun.

Seri acuan yang paling terkoreksi dan membuat yield naik paling tinggi adalah seri 5 tahun dan 20 tahun, masing-masing 17 basis poin (bps) dan 14 bps menjadi 7,94% dam 8,59%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.

Seri lain adalah tenor menengah yaitu 15 tahun dan 10 tahun masing-masing 14 bps dan 13 bps masing-masing menjadi 8,24% dan 8,1%.

Koreksi pada penutupan pasar surat utang tersebut sudah lebih mendalam dibanding koreksi yang terjadi pada awal perdagangan.

Pelemahan surat utang hari ini disebabkan minat investor asing yang mengkhawatirkan beberapa kondisi ekonomi global. Beberapa kondisi tersebut adalah krisis peso Argentina serta potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat yaitu the Fed Fund Rate (FFR), yang akan dinaikkan lebih banyak daripada prediksi.

 
Yield Obligasi Negara Acuan 31 Aug 2018
SeriBenchmarkYield 30 Aug 2018 (%) Yield 31 Aug 2018 (%)Selisih (basis poin)
FR00635 tahun7.7657.94217.70
FR006410 tahun7.9678.113.30
FR006515 tahun8.1068.24814.20
FR007520 tahun8.458.59714.70
Sumber: Reuters 

Faktor lain adalah sentimen negatif dari perang dagang yang dikobarkan Paman Trump, kali ini babak lanjutan dengan China dalam episode lanjutan tentang rencana penerapan bea masuk US$ 200 miliar mulai pekan depan.

Karena guncangan itu, investor global cenderung menghindari instrumen-instrumen investasi lebih berisiko sehingga mengalihkannya ke instrumen investasi yang dinilai lebih aman (safe haven instrument) seperti dolar.

Masuknya aliran dana global ke dolar AS juga akan berdampak pada instrumen lain yang justru memiliki risiko lebih besar (riskier asset) seperti investasi di negara berkembang karena ada risiko selisih (spread) nilai investasi dalam mata uang lokal dengan dolar AS.

Setiap penguatan dolar AS akan membuat selisih (spread) antara kedua instrumen semakin tipis dan investor global harus melepas kepemilikannya jika tidak ingin merugi karena selisih mata uang tadi.

Mata uang terlemah di Asia seperti rupee, rupiah, dan peso Filipina diprediksi akan mengalami tekanan terbesar, menurut Robert Carnell, kepala ekonom kepala penelitian untuk Asia Pasifik, dari ING, dalam sebuah catatan yang dirilis pada Jumat pagi.

Dia memprediksi kondisi tersebut akan memperkuat alasan bagi Bank Indonesia dan bank sentral Filipina untuk menindaklanjutinya dengan kenaikan suku bunga tambahan yang diramalkan akan dinaikkan sebelum akhir tahun.

Koreksi pasar obligasi yang signifikan hari ini tersebut masih menjadi yang terdalam sejak krisis lira Turki membara pada 13 Agustus 2018. Terkoreksinya pasar obligasi pemerintah juga membuat selisih SBN dengan obligasi pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun turun.

Yield US Treasury 10 tahun mencapai 8,1% dan berselisih 5,25% dengaSBN tenor 10 tahun 2,84%%.

Spread yang melebar, ditambah faktor turunnya yield US Treasury, dapat memicu investor global menilai perlu menyeimbangkan (rebalancing) portofolionya dalam jangka pendek karena SBN rupiah menjadi sedikit lebih menarik karena lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya.

Pelemahan pasar surat utang juga tercermin dari harga wajar pasar obligasinya, yang tercemin oleh kenaikan/turunnya indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA). Indek tersebut turun 1,6 poin (0,7%) menjadi 229,55 dari posisi kemarin 231,16.

Selain di pasar surat utang, koreksi juga terjadi di pasar valas dan pasar ekuitas. Sore tadi, setiap US$ 1 dihargai Rp 14.725 di pasar spot, melemah 0,27% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin.

Di sisi lain, koreksi dalam yang dialami Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terjadi sejak awal perdagangan hingga sore dengan level terdalam -1,2%, dapat diredam pelaku pasar pada jam ekstra setelah penutupan (post close trading session) hingga koreksi yang terjadi pada indeks hanya 0,01%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(irv/roy) Next Article Investor Asing Berpeluang Banjiri Pasar SBN di 2021

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular