Malangnya Rupiah: Terlemah di Asia, Terlemah Sejak 1998

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 August 2018 17:15
Malangnya Rupiah: Terlemah di Asia, Terlemah Sejak 1998
Ilustrasi Uang (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada perdagangan akhir pekan ini. Rupiah pun menyentuh titik terlemah sejak krisis moneter (krismon) 1998. 


Pada Jumat (31/8/2018), US$ 1 dibanderol Rp 14.725 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,27% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Hari ini menjadi periode kelam buat rupiah. Sepanjang hari, rupiah tidak pernah mencicipi zona positif. Posisi terkuat rupiah ada di Rp 14.710/US$ sedangkan terlemahnya adalah Rp 14.730/US$. 

Rupiah pun mencapai posisi terlemahnya pada tahun ini. Tidak hanya itu, rupiah pun menyentuh titik terendah sejak Juli 1998, di mana kala itu Indonesia tengah berkubang dengan krismon.

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah pada perdagangan hari ini: 



Dolar AS bergerak variatif di Asia. Namun di antara mata uang yang melemah, depresiasi rupiah jadi yang paling dalam. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:39 WIB: 

 

Dolar AS sebenarnya sedang melemah. Pada pukul 16:42 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) terkoreksi 0,03%. 

Kemungkinan investor sedang melakukan ambil untung. Dolar AS memang sudah menguat dalam waktu yang cukup lama. Terlihat dari Dollar Index yang dalam 6 bulan terakhir masih menguat 5,26%. Angka ini tentu cukup menggoda bagi pelaku pasar, sehingga ada kemungkinan terjadi aksi ambil untung. 

Sejumlah mata uang Asia mampu memanfaatkan situasi ini dengan mencatatkan apresiasi. Namun rupiah tertinggal di belakang dan bahkan menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia. 

Sentimen domestik sepertinya menjadi pemberat bagi rupiah. Setelah 'huru-hara' di Turki dan Argentina, investor kini menyoroti kinerja negara-negara berkembang seperti Indonesia dan India.

Kebetulan negara-negara ini punya masalah serupa, yaitu defisit transaksi berjalan (current account). Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor perdagangan ini lebih tahan lama, sehingga lebih menjanjikan untuk menopang nilai tukar secara berkelanjutan (sustain). 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Kemungkinan defisit yang cukup dalam akan terulang pada kuartal III-2018, dan ini menjadi perhatian pelaku pasar. 

Tanda-tanda defisit transaksi berjalan terlihat dari defisit neraca perdagangan Juli yang mencapai US$ 2,03 miliar. Ini merupakan catatan terburuk sejak 2013. 

Oleh karena itu, ke depan rupiah masih punya peluang untuk melemah. Sebab, rupiah minim devisa untuk berpijak baik itu dari sektor perdagangan maupun pasar keuangan. 


Kekhawatiran investor terhadap risiko ini membuat rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini mengalami tekanan jual. Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 434,79 miliar. 

Sementara di pasar obligasi, aksi jual terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield). Kala yield naik, maka artinya harga obligasi sedang turun. 

Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah Indonesia pada pukul 16:58 WIB, di mana terjadi kenaikan di semua tenor: 




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular