
Dolar AS Beringas, Yield Obligasi Terbang ke Posisi 2016
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
31 August 2018 12:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi pemerintah sudah terkoreksi hebat pada awal perdagangan hari ini, dihantam faktor potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) yang turut diperkuat faktor Argentina dan perang dagang.
Pelemahan harga obligasi itu turut melambungkan yield hingga level tertinggi sejak Maret 2016.
Merujuk data Reuters, koreksi harga surat berharga negara (SBN) tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus melambungkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder.
Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Keempat seri itu adalah FR0063 bertenor 5 tahun, FR0064 bertenor 10 tahun , FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun. Pelemahan harga terhebat dialami tenor menengan panjang, yaitu seri acuan 15 tahun dan 10 tahun yang mengalami kenaikan yield 14 basis poin (bps) dan 11 bps menjadi 8,07% dan 8,24%.
Seri 10 tahun tersebut menembus level psikologis 8% yang juga menjadi titik tertinggi sejak 15 Agustus 2018. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Seri acuan lain yaitu 5 tahun dan 20 tahun mengalami kenaikan yield 9 bps dan 7 bps menjadi 7,86% dan 8,52%. Yield seri 20 tahun tersebut juga menjadi yang tertinggi sejak awal 2016, tepatnya 2 Maret 2016.
Melemahnya pasar obligasi dipengaruhi oleh sentimen negatif dari potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat yaitu the Fed Fund Rate (FFR), yang akan dinaikkan lebih banyak daripada prediksi.
Sentimen itu telah sukses menjatuhkan rupiah sebagai korban pertama hingga ke atas level psikologis Rp 14.700 pagi ini.
Prediksi kenaikan FFR itu terlihat dari data CME Fedwatch, yang menunjukkan probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,25% pada rapat edisi September mencapai 98,4%.
Angka itu melonjak dari posisi kemarin yang probabilitasnya masih 96%. Naiknya prediksi kenaikan FFR itu disokong oleh faktor naiknya Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE) yang memberi sinyal bahwa target inflasi AS sudah naik dan berada di zona yang aman untuk menaikkan kembali suku bunga acuan.
Potensi naiknya FFR itu menguatkan posisi dolar AS terhadap mata uang lain, sehingga kemungkinan rupiah berlanjut melemah menjadi lebih terbuka.
Kondisi tersebut ditambah sentimen negatif dari perang dagang yang dikobarkan Paman Trump, kali ini babak lanjutan dengan China dalam episode lanjutan tentang rencana penerapan bea masuk US$ 200 miliar mulai pekan depan.
Rencana perang dagang itu akan menjadi yang ketiga, setelah sebelumnya telah dua kali diberlakukan bea impor yaitu US$ 34 miliar dan US$ 16 miliar.
Sumber: Reuters
Koreksi pasar obligasi rupiah hari ini membuat selisih(spread) SBN dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun menembus 521 bps, setara 5,21%.
Yield US Treasury 10 tahun mencapai 2,85% dan berselisih 5,21% dengan SBN tenor 10 tahun 8,07%.
Spread yang melebar, ditambah faktor turunnya yield US Treasury, dapat memicu investor global menilai SBN rupiah menjadi sedikit lebih menarik karena lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya serta perlu menyeimbangkan (rebalancing) portofolionya dalam jangka pendek.
Koreksi pasar obligasi pemerintah itu juga dipengaruhi oleh ambruknya mata uang garuda di hadapan dolar AS ke atas level psikologis Rp 14.700, yaitu 0,27% menjadi Rp 14.725.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga turun signifikan 70 poin (1,18%) menjadi 5.948.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/roy) Next Article Prestasi Dalam Negeri, Angkat Obligasi
Pelemahan harga obligasi itu turut melambungkan yield hingga level tertinggi sejak Maret 2016.
Merujuk data Reuters, koreksi harga surat berharga negara (SBN) tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus melambungkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder.
Keempat seri itu adalah FR0063 bertenor 5 tahun, FR0064 bertenor 10 tahun , FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun. Pelemahan harga terhebat dialami tenor menengan panjang, yaitu seri acuan 15 tahun dan 10 tahun yang mengalami kenaikan yield 14 basis poin (bps) dan 11 bps menjadi 8,07% dan 8,24%.
Seri 10 tahun tersebut menembus level psikologis 8% yang juga menjadi titik tertinggi sejak 15 Agustus 2018. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Seri acuan lain yaitu 5 tahun dan 20 tahun mengalami kenaikan yield 9 bps dan 7 bps menjadi 7,86% dan 8,52%. Yield seri 20 tahun tersebut juga menjadi yang tertinggi sejak awal 2016, tepatnya 2 Maret 2016.
Melemahnya pasar obligasi dipengaruhi oleh sentimen negatif dari potensi kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat yaitu the Fed Fund Rate (FFR), yang akan dinaikkan lebih banyak daripada prediksi.
Sentimen itu telah sukses menjatuhkan rupiah sebagai korban pertama hingga ke atas level psikologis Rp 14.700 pagi ini.
Prediksi kenaikan FFR itu terlihat dari data CME Fedwatch, yang menunjukkan probabilitas kenaikan suku bunga acuan AS sebesar 25 basis poin menjadi 2-2,25% pada rapat edisi September mencapai 98,4%.
Angka itu melonjak dari posisi kemarin yang probabilitasnya masih 96%. Naiknya prediksi kenaikan FFR itu disokong oleh faktor naiknya Core Personal Consumption Expenditure (Core PCE) yang memberi sinyal bahwa target inflasi AS sudah naik dan berada di zona yang aman untuk menaikkan kembali suku bunga acuan.
Potensi naiknya FFR itu menguatkan posisi dolar AS terhadap mata uang lain, sehingga kemungkinan rupiah berlanjut melemah menjadi lebih terbuka.
Kondisi tersebut ditambah sentimen negatif dari perang dagang yang dikobarkan Paman Trump, kali ini babak lanjutan dengan China dalam episode lanjutan tentang rencana penerapan bea masuk US$ 200 miliar mulai pekan depan.
Rencana perang dagang itu akan menjadi yang ketiga, setelah sebelumnya telah dua kali diberlakukan bea impor yaitu US$ 34 miliar dan US$ 16 miliar.
Yield Obligasi Negara Acuan 31 Aug 2018 | ||||
Seri | Benchmark | Yield 30 Aug 2018 (%) | Yield 31 Aug 2018 (%) | Selisih (basis poin) |
FR0063 | 5 tahun | 7.765 | 7.864 | 9.90 |
FR0064 | 10 tahun | 7.967 | 8.077 | 11.00 |
FR0065 | 15 tahun | 8.106 | 8.247 | 14.10 |
FR0075 | 20 tahun | 8.45 | 8.529 | 7.90 |
Koreksi pasar obligasi rupiah hari ini membuat selisih(spread) SBN dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor 10 tahun menembus 521 bps, setara 5,21%.
Yield US Treasury 10 tahun mencapai 2,85% dan berselisih 5,21% dengan SBN tenor 10 tahun 8,07%.
Spread yang melebar, ditambah faktor turunnya yield US Treasury, dapat memicu investor global menilai SBN rupiah menjadi sedikit lebih menarik karena lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya serta perlu menyeimbangkan (rebalancing) portofolionya dalam jangka pendek.
Koreksi pasar obligasi pemerintah itu juga dipengaruhi oleh ambruknya mata uang garuda di hadapan dolar AS ke atas level psikologis Rp 14.700, yaitu 0,27% menjadi Rp 14.725.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga turun signifikan 70 poin (1,18%) menjadi 5.948.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/roy) Next Article Prestasi Dalam Negeri, Angkat Obligasi
Most Popular