Fragile Five Kembali?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 August 2018 10:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali melemah. Bahkan rupiah menyentuh titik terlemahnya sejak krisis moneter (krismon) 1998.
Pada Jumat (31/8/2018), US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.710. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Tidak hanya itu, rupiah pun menyentuh titik terlemahnya sepanjang 2018. Lebih jauh lagi, rupiah berada di posisi paling lemah sejak pertengahan 1998.
Sejak awal tahun, rupiah melemah 7,4% di hadapan greenback. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang terdepresiasi lebih dalam ketimbang rupiah.
Tahun ini, mata uang negara-negara berkembang berjatuhan. Nasib rupiah masih lebih baik ketimbang mata uang negara berkembang lainnya seperti lira Turki, real Brasil, dan rand Afrika Selatan.
Pelemahan mata uang Indonesia, India, Turki, Brasil, dan Afrika Selatan yang cukup dalam membawa ingatan ke 2013. Saat itu, ada istilah yang dipopulerkan Morgan Stanley yaitu The Fragile Five. Lima negara yang rentan akibat pelemahan nilai mata uang.
Sepanjang 2013, rupiah melemah 26,27%. Sementara rupee terdepresiasi 12,38%, lira minus 20,39%, real melemah 15,35%, dan rand turun 23,61%.
Sejauh ini, depresiasi berbagai mata uang tersebut memang belum separah 2013. Namun ini baru Agustus, masih ada 4 bulan sebelum akhir tahun. Bukan tidak mungkin rupiah dkk melemah lebih dalam.
Oleh karena itu, mungkin tidak salah jika kita menyebut kembalinya The Fragile Five. Pola pelemahannya sama, dan penyebabnya juga hampir mirip dengan 2013.
Dari sisi eksternal, 2018 dan 2013 sama-sama diwarnai oleh keperkasaan dolar AS secara global. Pada 2013, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,35%. Sementara pada 2018, Dollar Index menguat lebih tajam lagi yaitu 2,83% sejak awal tahun.
Penyebab penguatan dolar juga mirip-mirip, yaitu The Federal Reserve/The Fed yang akan mengubah suku bunga acuan. Lima tahun lalu, The Fed sedang dalam periode galau apakah akan menaikkan suku bunga atau tidak.
Saat krisis keuangan global 2008-2009, AS menerapkan stimulus fiskal dan moneter. The Fed menurunkan suku bunga acuan sampai ke kisaran 0% dan melakukan pembelian surat utang secara besar-besaran (quantitative easing). Tujuannya agar likuiditas di sistem perekonomian semakin lancar sehingga ekonomi bergerak maju.
Namun pada 2013, mulai ada pemikiran di kalangan pengambil keputusan di The Fed bahwa stimulus perlu dikurangi karena ekonomi Negeri Paman Sam mulai membaik. Memang belum dilakukan, tapi baru ada wacana saja investor sudah ambil posisi.
Saat suku bunga naik, maka berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS akan semakin menguntungkan karena imbalannya ikut naik. Memegang dolar AS saja sebenarnya sudah untung, karena kenaikan suku bunga membuat ekspektasi inflasi terjangkar sehingga nilai mata uang tidak turun.
Itu membuat dolar AS menjadi mata uang yang paling diburu. Arus modal yang berkerumun di sekitar dolar AS membuat mata uang ini begitu perkasa.
Sedangkan tahun ini, masalahnya bukan lagi The Fed mau menaikkan suku bunga atau tidak. Namun seberapa agresif kenaikan suku bunga akan dilakukan?
Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Lagi-lagi ini membuat arus modal terkonsentrasi ke Negeri Adidaya. Hasilnya dolar AS menjadi sulit tertandingi.
Sayangnya, tekanan eksternal ini tidak mampu diimbangi dengan kinerja ekonomi domestik di negara-negara Fragile Five. Paling mudah melihat dari transaksi berjalan (current account), yang menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Jika transaksi berjalan defisit, artinya devisa yang masuk dari sektor perdagangan lebih sedikit ketimbang yang keluar. Padahal, devisa dari sektor perdagangan lebih bersifat jangka panjang dan bisa menopang nilai tukar agar lebih stabil.
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan Indonesia minus 3,04% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara di India, defisitnya adalah 1,9% PDB, Turki minus 5,54% PDB, Brasil tekor 1,56% PDB, dan Afrika Selatan defisit 2,86% PDB.
Arus modal di sektor keuangan seret karena berkerumun AS. Ditambah dengan devisa perdagangan yang juga minus, maka memang tidak heran mata uang negara-negara tersebut melemah.
Walau mungkin ini tidak disukai oleh beberapa kalangan, tetapi data menunjukkan sepertinya istilah Fragile Five kembali relevan. The return of Fragile Five...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada Jumat (31/8/2018), US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.710. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Tidak hanya itu, rupiah pun menyentuh titik terlemahnya sepanjang 2018. Lebih jauh lagi, rupiah berada di posisi paling lemah sejak pertengahan 1998.
Sejak awal tahun, rupiah melemah 7,4% di hadapan greenback. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang terdepresiasi lebih dalam ketimbang rupiah.
Tahun ini, mata uang negara-negara berkembang berjatuhan. Nasib rupiah masih lebih baik ketimbang mata uang negara berkembang lainnya seperti lira Turki, real Brasil, dan rand Afrika Selatan.
Pelemahan mata uang Indonesia, India, Turki, Brasil, dan Afrika Selatan yang cukup dalam membawa ingatan ke 2013. Saat itu, ada istilah yang dipopulerkan Morgan Stanley yaitu The Fragile Five. Lima negara yang rentan akibat pelemahan nilai mata uang.
Sepanjang 2013, rupiah melemah 26,27%. Sementara rupee terdepresiasi 12,38%, lira minus 20,39%, real melemah 15,35%, dan rand turun 23,61%.
Sejauh ini, depresiasi berbagai mata uang tersebut memang belum separah 2013. Namun ini baru Agustus, masih ada 4 bulan sebelum akhir tahun. Bukan tidak mungkin rupiah dkk melemah lebih dalam.
Oleh karena itu, mungkin tidak salah jika kita menyebut kembalinya The Fragile Five. Pola pelemahannya sama, dan penyebabnya juga hampir mirip dengan 2013.
Dari sisi eksternal, 2018 dan 2013 sama-sama diwarnai oleh keperkasaan dolar AS secara global. Pada 2013, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) menguat 0,35%. Sementara pada 2018, Dollar Index menguat lebih tajam lagi yaitu 2,83% sejak awal tahun.
Penyebab penguatan dolar juga mirip-mirip, yaitu The Federal Reserve/The Fed yang akan mengubah suku bunga acuan. Lima tahun lalu, The Fed sedang dalam periode galau apakah akan menaikkan suku bunga atau tidak.
Saat krisis keuangan global 2008-2009, AS menerapkan stimulus fiskal dan moneter. The Fed menurunkan suku bunga acuan sampai ke kisaran 0% dan melakukan pembelian surat utang secara besar-besaran (quantitative easing). Tujuannya agar likuiditas di sistem perekonomian semakin lancar sehingga ekonomi bergerak maju.
Namun pada 2013, mulai ada pemikiran di kalangan pengambil keputusan di The Fed bahwa stimulus perlu dikurangi karena ekonomi Negeri Paman Sam mulai membaik. Memang belum dilakukan, tapi baru ada wacana saja investor sudah ambil posisi.
Saat suku bunga naik, maka berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS akan semakin menguntungkan karena imbalannya ikut naik. Memegang dolar AS saja sebenarnya sudah untung, karena kenaikan suku bunga membuat ekspektasi inflasi terjangkar sehingga nilai mata uang tidak turun.
Itu membuat dolar AS menjadi mata uang yang paling diburu. Arus modal yang berkerumun di sekitar dolar AS membuat mata uang ini begitu perkasa.
Sedangkan tahun ini, masalahnya bukan lagi The Fed mau menaikkan suku bunga atau tidak. Namun seberapa agresif kenaikan suku bunga akan dilakukan?
Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Lagi-lagi ini membuat arus modal terkonsentrasi ke Negeri Adidaya. Hasilnya dolar AS menjadi sulit tertandingi.
Sayangnya, tekanan eksternal ini tidak mampu diimbangi dengan kinerja ekonomi domestik di negara-negara Fragile Five. Paling mudah melihat dari transaksi berjalan (current account), yang menggambarkan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.
Jika transaksi berjalan defisit, artinya devisa yang masuk dari sektor perdagangan lebih sedikit ketimbang yang keluar. Padahal, devisa dari sektor perdagangan lebih bersifat jangka panjang dan bisa menopang nilai tukar agar lebih stabil.
Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan Indonesia minus 3,04% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara di India, defisitnya adalah 1,9% PDB, Turki minus 5,54% PDB, Brasil tekor 1,56% PDB, dan Afrika Selatan defisit 2,86% PDB.
Arus modal di sektor keuangan seret karena berkerumun AS. Ditambah dengan devisa perdagangan yang juga minus, maka memang tidak heran mata uang negara-negara tersebut melemah.
Walau mungkin ini tidak disukai oleh beberapa kalangan, tetapi data menunjukkan sepertinya istilah Fragile Five kembali relevan. The return of Fragile Five...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular