Jakarta, CNBC Indonesia - Sampai tengah hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah. Bahkan sejak pembukaan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam.
Pada Rabu (29/8/2018) pukul 12:04 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.640 di pasar spot. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Saat pembukaan pasar, rupiah melemah tipis 0,02%. Selepas itu, depresiasi rupiah semakin menjadi meski rupiah belum menyentuh titik terlemahnya tahun ini di Rp 14.660/US$.
Hingga tengah hari, posisi terkuat rupiah berada di Rp 14.620/US$. Sedangkan posisi terlemahnya adalah Rp 14.650/US$.
Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sejak pembukaan pasar pagi tadi:
Rupiah tidak berjalan sendiri, karena mata uang utama Asia juga melemah terhadap dolar AS. Tidak ada yang selamat dari amukan dolar AS, tidak ada yang bisa menguat.
Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 12:14 WIB:
Salah satu penyebab keperkasaan dolar AS adalah kebijakan Bank Sentral China (PBoC). Hari ini, PBoC menetapkan kurs tengah yuan di CNY 6,8072/US$, lebih lemah ketimbang kemarin yaitu CNY 6,8052/US$.
Kurs dolar AS yang lebih murah malah menyebabkan aksi borong terhadap mata uang Negeri Paman Sam. Permintaan yang meningkat membuat greenback justru menguat.
Penguatan dolar AS terhadap yuan kemudian mempengaruhi Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama. Akibat pelemahan yuan, indeks ini naik 0,01% pada pukul 12:23 WIB.
Aksi borong dolar AS di Negeri Tirai Bambu menjadi tambahan sentimen positif bagi greenback. Sebelumnya, mata uang Negeri Paman Sam sudah mendapat doping dari rilis data keyakinan konsumen.
Pada Agustus, Indeks Keyakinan Konsumen versi The Conference Board ada di 133,4, mengungguli konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 126,7. Indeks yang di atas 100 menunjukkan konsumen optimistis dengan situasi ekonomi terkini.
Sebagai informasi, pencapaian Agustus merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2000 atau nyaris 18 tahun. Ini menunjukkan konsumsi di Negeri Adidaya semakin membaik, dan tentunya berdampak kepada pertumbuhan ekonomi.
Konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 68% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di AS. Oleh karena itu, peningkatan konsumsi akan sangat berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi.
Tidak heran The Federal Reserve/The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 bisa mencapai 4,6%. Lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 4,1%.
Artinya, The Fed jadi semakin punya alasan untuk menaikkan suku bunga. Tanpa kenaikan suku bunga, perekonomian AS bisa terus melaju tanpa kendali dan menciptakan overheat.
Meski berfungsi untuk mengendalikan perekonomian AS supaya baik jalannya, kenaikan suku bunga acuan punya dampak lain yaitu memancing arus modal. Dengan kenaikan suku bunga, maka imbalan berinvestasi di instrumen-instrumen berbasis dolar AS (terutama yang berpendapatan tetap/fixed income) akan naik. Bagi investor yang selalu mencari cuan, ini tentu sangat menggoda.
Aliran modal ke pasar keuangan AS otomatis membuat greenback menguat. Dolar AS pun kembali garang dan siap menerkam berbagai mata uang, termasuk rupiah.
Selain itu, kekhawatiran investor terhadap perkembangan di Turki juga kembali muncul. Lira Turki kembali melemah cukup dalam yaitu 2,08% pada penutupan perdagangan kemarin.
Kecemasan terhadap situasi di Turki kembali mengemuka setelah lembaga pemeringkat Moody's menurunkan peringkat utang 20 lembaga keuangan di Negeri Kebab. Moody's menilai situasi di Turki lebih buruk dari perkiraan semula, terutama akibat depresiasi lira yang sangat tajam.
Sejak awal tahun, lira sudah melemah 38,1% terhadap dolar AS. Ini membuat utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak, padahal jumlah utangnya mungkin tidak bertambah.
Tidak hanya itu, Moody's menganggap iklim bisnis (terutama perbankan) di Turki kian tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah intervensi Presiden Recep Tayyip Erdogan yang terlalu dalam terhadap kebijakan moneter. Erdogan selalu menyatakan bahwa dirinya adalah musuh suku bunga tinggi, sehingga menghambat langkah bank sentral untuk melakukan penyesuaian moneter.
"Solvabilitas perbankan Turki akan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya karena kontrol regulasi. Iklim bisnis di Turki menurun dan sepertinya akan terus berlanjut," sebut laporan Moody's.
Laporan itu menambahkan, lembaga keuangan di Turki akan kesulitan menyalurkan dana jika sentimen negatif ini terus berlanjut. Oleh karena itu, surat utang dan deposito jangka panjang di sana mendapat peringkat negatif.
Gaduh Turki lagi-lagi membuat pelaku pasar kembali ke pelukan dolar AS untuk berlindung. Investor dibuat bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk di Asia.
Akibatnya, pasokan arus modal menjadi seret sehingga mata uang Asia melemah. Rupiah menjadi salah satunya.
Kemudian, dolar AS juga terbantu oleh sentimen perang dagang. Investor harap-harap cemas menanti keputusan Presiden AS Donald Trump yang berencana mengenakan bea masuk bar terhadap impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar.
Kebijakan ini masih menjalami fase dengar pendapat yang dimulai pada 20 Agustus lalu. US Trade Representative melaporkan, sejauh ini dengar pendapat melibatkan 359 orang perwakilan dari dunia usaha. Mayoritas di antara mereka mengeluhkan kebijakan ini akan berdampak pada kenaikan harga produksi karena biaya impor bahan baku dan barang modal akan naik.
Fase dengar pendapat akan berakhir pada 5 September dan jika mulus, bea masuk baru ini diperkirakan berlaku pada akhir bulan depan. Selain dunia usaha, Trump juga harus mendapatkan restu dari parlemen untuk menggolkan kebijakan ini.
Bila bea masuk ini berlaku, maka berbagai produk asal China akan kena bea masuk 25%. Produk-produk tersebut antara lain ban mobil, furnitur, produk kayu, tas, makanan anjing dan kucing, sarung tangan bisbol, sampai sepeda.
Kalau AS betul-betul menerapkan kebijakan ini, maka kemungkinan besar China pun akan membalas. Aksi ‘balas pantun’ ini akan terus berlangsung sebelum ada kesepakatan antara dua perekonomian terbesar di bumi tersebut.
Oleh karena itu, investor masih dibuat cemas oleh isu perang dagang AS vs China. Ini membuat pelaku pasar masih cenderung bermain aman, melepas aset-aset berisiko terutama di negara berkembang. Dolar AS menjadi tujuan karena mata uang ini dianggap sebagai instrumen investasi aman (safe haven).
Akibatnya, permintaan dolar AS masih tinggi sehingga mendongkrak nilai tukar mata uang ini. Faktor ini menjadi pendorong laju greenback sehingga mampu menguat di Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA