Turki Gaduh Lagi, Rupiah Melemah Lagi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 August 2018 08:38
Turki Gaduh Lagi, Rupiah Melemah Lagi
Ilustrasi Uang (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan pagi ini. Bahkan rupiah melemah kian dalam seiring berjalannya perdagangan. 

Pada Rabu (29/8/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.620 kala pembukaan pasar pasar spot. Rupiah melemah 0,02% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Selepas pembukaan, rupiah terus melemah. Pada pukul 08:16 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.630 di mana rupiah melemah 0,09%. 

Di Asia, dolar AS memang berjaya. Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Benua Kuning pun melemah di hadapan greenback.  

Berikut perkembangan nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar AS pada pukul 08:16 WIB: 

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang111.2(0.05)
Yuan China6.800.19
Won Korea Selatan1,109.44(0.19)
Dolar Taiwan30.70(0.04)
Dolar Hong Kong7.850.01
Rupee India70.090.10
Ringgit Malaysia4.10(0.17)
Dolar Singapura1.36(0.04)
Baht Thailand32.63(0.18)
Peso Filipina53.34(0.18)
 Mata Uang Asia (Reuters) 

Setelah dini hari tadi sempat melemah, dolar AS mulai bangkit. Pada pukul 08:19 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,04%. 

Dolar AS punya dasar untuk menguat yaitu rilis data keyakinan konsumen. Pada Agustus, Indeks Keyakinan Konsumen versi The Conference Board ada di 133,4, mengungguli konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 126,7. Indeks yang di atas 100 menunjukkan konsumen optimistis dengan situasi ekonomi terkini. 

Sebagai informasi, pencapaian Agustus merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2000 atau nyaris 18 tahun. Ini menunjukkan konsumsi di Negeri Adidaya semakin membaik, dan tentunya berdampak kepada pertumbuhan ekonomi. 

Konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 68% dari pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) di AS. Oleh karena itu, peningkatan konsumsi akan sangat berpengaruh kepada pertumbuhan ekonomi. 

Tidak heran The Federal Reserve/The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal III-2018 bisa mencapai 4,6%. Lebih baik ketimbang kuartal sebelumnya yaitu 4,1%. Artinya, The Fed jadi semakin punya alasan untuk menaikkan suku bunga. Tanpa kenaikan suku bunga, perekonomian AS bisa terus melaju tanpa kendali dan menciptakan overheat

Meski berfungsi untuk mengendalikan perekonomian AS supaya baik jalannya, kenaikan suku bunga acuan punya dampak lain yaitu memancing arus modal. Dengan kenaikan suku bunga, maka imbalan berinvestasi di instrumen-instrumen berbasis dolar AS (terutama yang berpendapatan tetap/fixed income) akan naik. Bagi investor yang selalu mencari cuan, ini tentu sangat menggoda. 

Aliran modal yang deras mengalir ke pasar keuangan AS otomatis membuat greenback menguat. Dolar AS pun kembali garang dan siap menerkam berbagai mata uang, termasuk rupiah. 


Selain itu, kekhawatiran investor terhadap perkembangan di Turki juga kembali muncul. Lira Turki kembali melemah cukup dalam yaitu 2,08% pada penutupan perdagangan kemarin. 

Kecemasan terhadap situasi di Turki kembali mengemuka setelah lembaga pemeringkat (rating agency) Moody's menurunkan peringkat utang 20 lembaga keuangan di Negeri Kebab. Moody's menilai situasi di Turki lebih buruk dari perkiraan semula, terutama akibat depresiasi lira yang sangat tajam. 

Sejak awal tahun, lira sudah melemah 38,1% terhadap dolar AS. Ini membuat utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak, padahal jumlah utangnya mungkin tidak bertambah. 

Tidak hanya itu, Moody's menganggap iklim bisnis (terutama perbankan) di Turki kian tidak kondusif. Salah satu penyebabnya adalah intervensi Presiden Recep Tayyip Erdogan yang terlalu dalam terhadap kebijakan moneter. Erdogan selalu menyatakan bahwa dirinya adalah musuh suku bunga tinggi, sehingga menghambat langkah bank sentral untuk melakukan penyesuaian moneter. 

"Solvabilitas perbankan Turki akan lebih rendah dari perkiraan sebelumnya karena kontrol regulasi. Iklim bisnis di Turki menurun dan sepertinya akan terus berlanjut," sebut laporan Moody's. 

Laporan itu menambahkan, lembaga keuangan di Turki akan kesulitan menyalurkan dana jika sentimen negatif ini terus berlanjut. Oleh karena itu, surat utang dan deposito jangka panjang di sana mendapat peringkat negatif. 

Gaduh Turki lagi-lagi membuat pelaku pasar kembali ke pelukan dolar AS untuk berlindung. Investor dibuat bermain aman dan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang, termasuk di Asia.  

Akibatnya, pasokan arus modal menjadi seret sehingga mata uang Asia melemah. Rupiah menjadi salah satunya. 

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular