Rupiah Lesu Lagi, Terlemah Sejak September 2015

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 August 2018 08:49
Rupiah Lesu Lagi, Terlemah Sejak September 2015
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah pada perdagangan akhir pekan ini. Greenback kembali melanjutkan penguatan yang terjadi sejak 2 hari perdagangan terakhir. 

Pada Jumat (24/8/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.645 di pasar spot. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah masih melemah pada pukul 08:26 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.652, di mana rupiah terdepresiasi 0,18% dan menyentuh level terlemahnya sejak September 2015. 



Mata uang Asia pun cenderung melemah di hadapan dolar AS. Depresiasi terdalam dialami yuan China, disusul oleh rupee India dan rupiah di posisi ketiga. 

Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang Asia terhadap greenback pada pukul 08:26 WIB: 

 

Dolar AS memang masih sulit ditandingi. Pada pukul 08:29 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadpa enam mata uang utama) masih menguat 0,03%. 

Setidaknya ada empat faktor yang menopang keperkasaan mata uang Negeri Paman Sam. Apa saja itu?

Pertama adalah rilis ikhtisar rapat (minutes of meeting) Bank Sentral Uni Eropa (ECB) edisi Juli 2018. ECB memandang bahwa ekonomi zona Eropa masih berjalan seperti apa yang diperkirakan sehingga perubahan kebijakan moneter belum dibutuhkan. ECB masih mempertahankan suku bunga acuan dan mengkonfirmasi kembali arah kebijakan moneter yang sudah disebutkan dalam rapat-rapat sebelumnya. 

"Sejak Juni, kondisi pasar keuangan secara umum masih stabil di mana rumah tangga dan dunia usaha tumbuh cukup baik. Arah kebijakan suku bunga ke depan harus seimbang antara ketepatan dengan fleksibilitas. Secara umum, informasi yang diterima masih sesuai dengan perkiraan yang dilakukan pada bulan sebelumnya," sebut notulensi ECB. 

Sebelumnya pada rapat ECB edisi Juni 2018, bank sentral Benua Biru menyepakati pengurangan stimulus moneter mulai bulan depan dan mengakhirinya pada akhir tahun. Kenaikan suku bunga baru akan dibicarakan paling cepat musim panas atau pertengahan tahun depan. 

Tidak adanya kejutan dari ECB membuat pelaku pasar lebih memilih The Federal Reseve/The Fed yang lebih agresif. Artinya, arus modal akan tetap terkonsentrasi ke Negeri Paman Sam dan memperkuat dolar AS. 

Kedua adalah penurunan jumlah warga yang mengajukan klaim tunjangan pengangguran sebesar 2.000 orang menjadi 210.000 orang pada pekan lalu Penurunan itu terjadi di kala konsensus Reuters memperkirakan peningkatan sebesar 3.000 orang ke 215.000 orang.  

Solidnya pasar tenaga kerja AS telah menjadi alasan kunci dari kampanye The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan. Oleh karena itu, data klaim pengangguran yang positif menjadi lebih dominan, dan mampu menyuntikkan energi bagi greenback


Faktor ketiga adalah suhu perang dagang AS-China yang masih panas. Perundingan di Washington antara delegasi kedua negara tidak menghasilkan kesepakatan signifikan. 

"Kami telah menyelesaikan dua hari diskusi dengan rekan dari China dan saling bertukar pandangan mengenai cara mencapai keadilan, keseimbangan, dan timbal balik dalam hubungan ekonomi," kata juru bicara Gedung Putih Lindsay Walters dalam pernyataan tertulis, dikutip dari Reuters. 

Hasil yang antiklimaks tersebut membuat investor kembali berpaling kepada tarif bea masuk baru yang diterapkan AS dan China. AS mengenakan bea masuk 25% untuk importasi produk-produk China senilai US$ 16 miliar. China pun melakukan kebijakan serupa, bea masuk 25% untuk impor produk-produk made in USA senilai US$ 16 miliar. 

Isu perang dagang membuat investor kembali memilih untuk bermain aman dengan menghindari aset-aset berisiko di negara berkembang. Salah satu pilihan investor adalah dolar AS dan aset-aset berbasis mata uang ini. Akibatnya, dolar AS semakin kuat karena menjadi buruan pelaku pasar. 

Sedangkan faktor keempat adalah penantian investor jelang pertemuan tahunan The Fed di Jackson Hole. Pelaku pasar ingin mencari kepastian apakah The Fed akan lebih agresif dalam menaikkan suku bunga.  

Investor memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun, atau menjadi empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak dari perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali selama 2018. 

Sejauh ini, yang agak terkonfirmasi adalah kenaikan pada September dengan kemungkinan 96% berdasarkan CME Fedwatch. Kenaikan berikutnya diperkirakan terjadi pada Desember, yang menurut CME Fedwatch punya probabilitas 62,8%. Lumayan tinggi, tetap belum cukup kuat. 

Oleh karena itu, kenaikan keempat masih agak samar-samar. Apalagi ada komentar dari Raphael Bostic, Presiden The Fed Atlanta, yang menyatakan masih ada potensi The Fed hanya akan menaikkan suku bunga kebijakan tiga kali sepanjang 2018. 

"Kami (The Fed) masih punya ruang dengan menaikkan suku bunga acuan tiga kali (sepanjang 2018). Saya masih percaya dengan itu," kata Bostic, mengutip Reuters. 

Oleh karena itu, investor ingin mencari petunjuk lebih lanjut dari pidato Powell di Jackson Hole Meeting. Apabila Powell memberikan kode-kode mengenai kenaikan suku bunga empat kali, maka dolar AS akan lebih menggila. 

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular