
Rupiah Menguat Jelang Libur Idul Adha, Semoga Lusa Tak Jetlag
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 August 2018 16:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melanjutkan penguatannya di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah dan mayoritas mata uang utama Asia berhasil memanfaatkan situasi greenback yang tengah defensif.
Pada Selasa (21/8/2018), US$ 1 kala penutupan pasar spot berada di Rp 14.575. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Rupiah menguat 0,27% saat pembukaan pasar. Selepas itu, apresiasi rupiah memang menipis. Namun seperti kemarin, setidaknya rupiah tidak pernah menyentuh teritori negatif.
Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.545/US$ yaitu kala pembukaan pasar. Sementara posisi terlemahnya adalah Rp 14.585/US$.
Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun mampu menguat di hadapan dolar AS. Baht Thailand mencatat apresiasi tertinggi, seiring respons positif investor terhadap data ekonomi Negeri Gajah Putih.
Pada kuartal II-2018, ekonomi Thailand tumbuh 4,6% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 4,5% YoY. Rilis data ini membuat arus modal mengalir lumayan deras ke pasar keuangan Thailand dan menopang penguatan baht.
Berikut perkembangan kurs mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 16:21 WIB:
Rupiah dan mata uang Benua Kuning berhasil memanfaatkan dolar AS yang sedang dalam posisi bertahan. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,43% pada pukul 16:24 WIB. Indeks ini sudah melemah sejak malam tadi waktu Indonesia.
Setidaknya ada dua sentimen yang memberatkan laju mata uang Negeri Paman Sam. Pertama adalah komentar Presiden AS Donald Trump dalam wawancara dengan Reuters. Trump kembali melontarkan kritik terhadap The Federal Reserve/The Fed yang dinilai terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
"Saya tidak terkejut The Fed menaikkan suku bunga. Namun seharusnya The Fed bekerja untuk kebaikan negara. The Fed seharusnya membantu saya, negara-negara lain masih akomodatif (dalam kebijakan moneter)," tuturnya.
Komentar ini lagi-lagi memicu kekhawatiran adanya intervensi terhadap independensi bank sentral. Sudah menjadi aturan baku di dunia bahwa bank sentral harus independen, terpisah dari campur tangan pemerintah.
Namun Trump sudah beberapa kali memberikan kritik dan menentang kebijakan The Fed. Kalau kesabaran Trump habis, dikhawatirkan kritik ini bisa berubah menjadi aksi nyata, bukan lagi sekedar kata-kata.
Sentimen kedua adalah pernyataan dari Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic. Menurutnya, ada kemungkinan bank sentral tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
"Kami masih punya ruang dengan menaikkan suku bunga acuan tiga kali (sepanjang 2018). Saya masih percaya dengan itu," kata Bostic, mengutip Reuters.
Pernyataan Bostic tersebut membuat pasar harus melakukan rekalkulasi. Pasalnya, investor kadung meyakini The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali sepanjang 2018. Dengan komentar Bostic, ada kemungkinan The Fed akan mengurangi agresivitasnya.
Menurut Bostic, ada risiko yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi AS seperti perang dagang atau kejutan di Turki karena pelemahan lira. Faktor-faktor tersebut membuat The Fed harus berpikir ulang untuk melakukan pengetatan moneter ekstra, karena perekonomian AS mungkin masih perlu sedikit dorongan.
Perkembangan ini membuat dolar AS semakin tertekan. Sebab, mata uang ini membutuhkan sentimen kenaikan suku bunga untuk menguat. Dengan kenaikan suku bunga yang lebih sedikit dari perkiraan, maka suntikan energi bagi greenback akan berkurang.
Dinamika yang terjadi membuat aset-aset berbasis dolar AS masih mengalami tekanan jual. Hal ini terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun karena minimnya permintaan atau bahkan aksi pelepasan.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS pada pukul 16:28 WIB:
Besok, pasar keuangan Indonesia akan libur memperingati Hari Raya Idul Adha. Sampai Kamis pagi, rupiah tidak akan bergerak. Jangan sampai rupiah jetlag begitu perdagangan kembali dibuka.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (21/8/2018), US$ 1 kala penutupan pasar spot berada di Rp 14.575. Rupiah menguat 0,07% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Rupiah menguat 0,27% saat pembukaan pasar. Selepas itu, apresiasi rupiah memang menipis. Namun seperti kemarin, setidaknya rupiah tidak pernah menyentuh teritori negatif.
Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun mampu menguat di hadapan dolar AS. Baht Thailand mencatat apresiasi tertinggi, seiring respons positif investor terhadap data ekonomi Negeri Gajah Putih.
Pada kuartal II-2018, ekonomi Thailand tumbuh 4,6% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 4,5% YoY. Rilis data ini membuat arus modal mengalir lumayan deras ke pasar keuangan Thailand dan menopang penguatan baht.
Berikut perkembangan kurs mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 16:21 WIB:
Rupiah dan mata uang Benua Kuning berhasil memanfaatkan dolar AS yang sedang dalam posisi bertahan. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) melemah 0,43% pada pukul 16:24 WIB. Indeks ini sudah melemah sejak malam tadi waktu Indonesia.
Setidaknya ada dua sentimen yang memberatkan laju mata uang Negeri Paman Sam. Pertama adalah komentar Presiden AS Donald Trump dalam wawancara dengan Reuters. Trump kembali melontarkan kritik terhadap The Federal Reserve/The Fed yang dinilai terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
"Saya tidak terkejut The Fed menaikkan suku bunga. Namun seharusnya The Fed bekerja untuk kebaikan negara. The Fed seharusnya membantu saya, negara-negara lain masih akomodatif (dalam kebijakan moneter)," tuturnya.
Komentar ini lagi-lagi memicu kekhawatiran adanya intervensi terhadap independensi bank sentral. Sudah menjadi aturan baku di dunia bahwa bank sentral harus independen, terpisah dari campur tangan pemerintah.
Namun Trump sudah beberapa kali memberikan kritik dan menentang kebijakan The Fed. Kalau kesabaran Trump habis, dikhawatirkan kritik ini bisa berubah menjadi aksi nyata, bukan lagi sekedar kata-kata.
Sentimen kedua adalah pernyataan dari Presiden The Fed Atlanta Raphael Bostic. Menurutnya, ada kemungkinan bank sentral tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan.
"Kami masih punya ruang dengan menaikkan suku bunga acuan tiga kali (sepanjang 2018). Saya masih percaya dengan itu," kata Bostic, mengutip Reuters.
Pernyataan Bostic tersebut membuat pasar harus melakukan rekalkulasi. Pasalnya, investor kadung meyakini The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali sepanjang 2018. Dengan komentar Bostic, ada kemungkinan The Fed akan mengurangi agresivitasnya.
Menurut Bostic, ada risiko yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi AS seperti perang dagang atau kejutan di Turki karena pelemahan lira. Faktor-faktor tersebut membuat The Fed harus berpikir ulang untuk melakukan pengetatan moneter ekstra, karena perekonomian AS mungkin masih perlu sedikit dorongan.
Perkembangan ini membuat dolar AS semakin tertekan. Sebab, mata uang ini membutuhkan sentimen kenaikan suku bunga untuk menguat. Dengan kenaikan suku bunga yang lebih sedikit dari perkiraan, maka suntikan energi bagi greenback akan berkurang.
Dinamika yang terjadi membuat aset-aset berbasis dolar AS masih mengalami tekanan jual. Hal ini terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS. Kenaikan yield menandakan harga instrumen ini sedang turun karena minimnya permintaan atau bahkan aksi pelepasan.
Berikut perkembangan yield obligasi pemerintah AS pada pukul 16:28 WIB:
Besok, pasar keuangan Indonesia akan libur memperingati Hari Raya Idul Adha. Sampai Kamis pagi, rupiah tidak akan bergerak. Jangan sampai rupiah jetlag begitu perdagangan kembali dibuka.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Most Popular