Ikuti Jejak Bursa Regional, IHSG Melemah 0,52%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 August 2018 12:11
IHSG melemah 0,52% sampai dengan akhir sesi 1 ke level 5.786,53.
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,52% sampai dengan akhir sesi 1 ke level 5.786,53. Pelemahan IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga diperdagangkan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,13%, indeks Kospi turun 0,89%, indeks Strait Times turun 0,51%, indeks Shanghai turun 0,87%, dan indeks Hang Seng turun 0,61%.

5 besar saham yang berkontribusi paling signifikan bagi pelemahan IHSG adalah: PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-3,05%), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (-0,87%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-3,74%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,43%), dan PT Vale Indonesia Tbk/INCO (-4,27%).

Rebut-ribut AS-Turki yang makin panas membuat bursa saham menjadi ditinggalkan investor. Gedung Putih bersikeras untuk tetap menerapkan kenaikan bea masuk terhadap baja dan aluminium asal Turki meski Andrew Brunson dibebaskan.

Brunson merupakan pastur asal AS yang dianggap terlibat dalam upaya kudeta di Turki pada 2016 lalu. Brunson sudah dilepas dari penjara, tetapi kini masih menjalani tahanan rumah. Pemerintahan AS memang mengusahakan pembebasan Brunson.

"Bea masuk terhadap baja tidak akan dicabut meski Pastur Brunson dibebaskan. Bea masuk tersebut adalah murni untuk menjaga kepentingan nasional," tegas Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih.

Sebelumnya, Turki telah menaikkan tarif impor terhadap beberapa produk asal AS sebagai balasan atas kebijakan AS yang menaikkan bea masuk baja dan aluminium asal Turki menjadi masing-masing sebesar 50% dan 20%.

Produk-produk asal Negeri Paman Sam yang dijadikan sasaran diantaranya adalah mobil penumpang, minuman beralkohol, dan tembakau, seperti dikutip dari Reuters. Peraturan yang ditandatangani Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan itu menaikkan bea impor mobil penumpang menjadi sebesar 120%, 140% untuk minuman beralkohol, dan 60% untuk daun tembakau.

Selain itu, perang dagang antara AS dengan China yang kian panas juga membawa petaka bagi bursa saham. Pasca balas-membalas menaikkan bea masuk impor beberapa waktu lalu, China kini mengajukan gugatan ke World Trade Organisation (WTO) sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan AS di bidang energi terbarukan.

Pada bulan Januari, AS mengumumkan pengenaan bea masuk yang disebutnya sebagai safeguard tariffs selama 4 tahun lamanya. Bea masuk senilai 30% akan dikenakan bagi produk-produk seperti photovoltaics pada tahun pertama, sebelum diturunkan pada tahun-tahun berikutnya dan menjadi 15% pada tahun keempat. Photovoltaics merupakan alat yang digunakan untuk mengonversi cahaya matahari menjadi listrik.

Tak sampai disitu, pemerintahan Presiden Donald Trump juga memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan energi terbarukan di AS.

Kementerian Keuangan China pada selasa malam mengatakan bahwa kebijakan tersebut telah secara serius menggangu pasar global dan menciderai kepentingan pihak China.

Sebelumnya, pihak AS telah menuduh China menggunakan subsidi dan produksi besar-besaran untuk mendorong harga turun dan membuat perusahaan-perusahaan asal AS menjadi tidak kompetitif. Menurut data dari China Photovoltaic Industry Association (CPIA), kapasitas produksi panel solar AS jatuh dari 1,5 gigawat pada tahun 2011 menjadi hanya 1 gigawat pada tahun lalu sebagai hasil dari kebangkrutan.

Dari dalam negeri, pelemahan rupiah memberikan tekanan bagi bursa saham. Walaupun menguat 0,1% di pasar spot sampai dengan akhir sesi 1 ke level Rp 14.580/dolar AS, rupiah cenderung diperdagangkan melemah sepanjang hari dengan titik terlemahnya di level Rp 14.640/dolar AS (-0,24% dibandingkan penutupan kemarin, 15/8/2018).

Rupiah melemah lantaran investor merespon peelebaran defisit neraca perdagangan. Pada bulan Juli, neraca perdagangan mencatatkan defisit sebesar US$ 2,03 miliar, melebar dari capaian bulan sebelumnya yang sebesar US$ 1,74 miliar. Hal ini terjadi lantaran pertumbuhan impor yang begitu kencang yakni sebesar 31,56% YoY. Sementara itu, ekspor hanya tumbuh sebesar 19,33% YoY.

Defisit pada bulan Juli juga jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni sebesar US$ 640 juta, hasil dari ekspor yang tumbuh sebesar 11,3% YoY dan impor yang tumbuh sebesar 13,4% YoY.

Apabila ditarik secara historis, defisit neraca perdagangan bulan lalu merupakan yang terparah dalam 5 tahun terakhir atau sejak Juli 2013. Sepanjang tahun ini, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$ 3,1 miliar.

Defisit neraca perdagangan yang begitu lebar akan memberikan tekanan lebih lanjut bagi defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal-II 2018, CAD sudah menembus level 3% dari PDB, yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I 2018, defisitnya hanya sebesar 2,21% dari PDB.

Seiring pelemahan rupiah, investor asing melakukan jual bersih sebesar Rp 321,8 miliar. 5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 64,9 miliar), PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 64,3 miliar), PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 41,5 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 33,2 miliar), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (Rp 23,5 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Sempat Menguat di Sesi 1, IHSG Hari Ini Ditutup Melemah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular