Kenaikan Bunga Acuan Belum Mampu Dongkrak Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2018 17:11
Kenaikan Bunga Acuan Belum Mampu Dongkrak Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak aneh hari ini. Rupiah melemah sejak pagi, sempat menguat, tapi kemudian ditutup melemah lagi. 

Pada Rabu (15/8/2018), US$ 1 ditutup di posisi Rp 14.595. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Rupiah dibuka melemah 0,14%, identik dengan posisi penutupan hari ini. Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin melemah. 

Begitu Bank Indonesia (BI) mengumumkan suku bunga acuan naik menjadi 5,5%, rupiah langsung berbalik ke zona hijau. Namun apresiasi itu tidak berlangsung lama, karena rupiah langsung kembali ke jalur merah hingga penutupan pasar. 

Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.565/US$. Sementara terlemahnya adalah Rp 14.646/US$, yang merupakan posisi terlemah sepanjang tahun ini. 



Rupiah yang batal menguat kemudian bergabung dengan mata uang Asia yang juga cenderung melemah di hadapan dolar AS. Won Korea Selatan menjadi mata uang dengan depresiasi paling dalam, disusul oleh yuan China, dan peso Filipina. 

Berikut perkembangan mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 16:48 WIB: 



Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI menghasilkan keputusan kenaikan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) ke 5,5%. Dengan begitu, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bps sejak awal tahun. 

"Keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman. Artinya imbal hasil dari pasar keuangan domestik termasuk di Surat Berharga Negara (SBN) tetap menarik. Diharapkan mendorong kembali masuknya inflow, dan ini bisa dibiayai untuk defisit transaksi berjalan," tutur Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG. 

Saat suku bunga acuan naik, maka imbal hasil aset (terutama yang berpendapatan tetap/fixed income) akan ikut naik. Hasilnya adalah instrumen investasi di Indonesia menjadi lebih menarik dan akan semakin banyak arus modal asing yang masuk untuk memperkuat rupiah. 

Merespons kenaikan suku bunga acuan, sebenarnya dana asing masuk ke pasar keuangan Indonesia. Di pasar obligasi pemerintah, imbal hasil (yield) bergerak turun yang menandakan harga sedang naik akibat peningkatan permintaan. 

Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 5 tahun turun 0,2 bps. Sementara untuk tenor 10 tahun, yield turun 0,5 bps. Kemudian tenor 15 tahun turun 3,9 bps, dan tenor 30 tahun turun 2,4 bps. 

Namun, arus modal di pasar obligasi ini tidak mampu menutup yang keluar di pasar saham. Meski Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup naik 0,81%, tetapi investor asing membukukan jual bersih Rp 352,97 miliar. Ini yang menyebabkan rupiah tidak mampu bertahan di zona hijau.

Sentimen global sepertinya masih lebih berpengaruh. Dolar AS memang sedang menguat, terlihat dari Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) yang naik 0,07% pada pukul 16:58 WIB. 

Investor masih mencemaskan perkembangan di Turki yang kemarin mereda tetapi sekarang muncul lagi. Tensi Washington-Ankara yang masih tinggi membuat pelaku pasar grogi.  

Presiden Recep Tayyip Erdogan dengan tegas menyebut guncangan ekonomi di negaranya adalah buah dari perang ekonomi. Bahkan Erdogan kini melancarkan kampanye boikot produk elektronik asal AS. 

Selain itu, Presiden AS Donald Trump juga dikabarkan mulai frustrasi karena Turki tidak kunjung membebaskan Andrew Brunson. Pastur asal AS ini ditahan karena tuduhan ikut mendukung gerakan percobaan kudeta pada 2016 lalu. Brunson memang sudah tidak dipenjara, tetapi kini masih berstatus tahanan rumah. 

"Presiden sangat frustrasi karena Brunson belum dibebaskan. Beliau berkomitmen 100% untuk membawa Brunson pulang," kata Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, seperi dikutip Reuters. 

Jika keinginan itu tidak kunjung dipenuhi, maka AS disebut-sebut akan menyiapkan sanksi baru buat Turki. Sebelumnya, AS telah 'menghukum' Turki dengan menaikkan bea masuk atas impor baja dan aluminium. 

Oleh karena itu, pelaku pasar masih waspada karena situasi di Turki yang bergejolak. Hal ini bisa berakibat melemahnya kembali nilai tukar lira.  

Apabila lira sampai terdepresiasi dalam, maka Turki lagi-lagi akan membuat pasar keuangan global 'kebakaran'. Dalam kondisi 'huru-hara', investor akan cenderung lari ke pelukan dolar AS yang mengakibatkan mata uang ini semakin jumawa.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular