Akankah BI Naikkan Bunga Acuan Demi Selamatkan Rupiah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2018 12:40
Akankah BI Naikkan Bunga Acuan Demi Selamatkan Rupiah?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah. Faktor eksternal dan internal turut membebani laju mata uang Tanah Air. 

Pada Rabu (15/8/2018) pukul 12:17 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.625. Rupiah melemah 0,34% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar spot, rupiah melemah 0,14%. Seiring perjalanan, rupiah terus melemah dan bahkan menyentuh posisi terlemahnya sejak awal tahun. 

Posisi terkuat rupiah hingga siang ini ada di Rp 14.595/US$. Sementara terlemahnya alah Rp 14.646/US$. 



Tidak hanya rupiah, mata uang utama Asia pun cenderung melemah di hadapan greenback. Dengan depresiasi 0,34%, rupiah menjadi mata uang terlemah ketiga setelah won Korea Selatan dan yuan China.
 

Berikut perkembangan nilai tukar sejumlah mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 12:21 WIB: 



Dolar AS memang masih perkasa. Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,13% pada pukul 12:23 WIB. 

Kekhawatiran pelaku pasar terhadap perkembangan di Turki yang kemarin mereda sekarang muncul lagi.  Tensi Washington-Ankara yang masih tinggi membuat pelaku pasar grogi.  

Presiden Recep Tayyip Erdogan dengan tegas menyebut guncangan ekonomi di negaranya adalah buah dari perang ekonomi. Bahkan Erdogan kini melancarkan kampanye boikot produk elektronik asal AS. 

Selain itu, Presiden AS Donald Trump juga dikabarkan mulai frustrasi karena Turki tidak kunjung membebaskan Andrew Brunson. Pastur asal AS ini ditahan karena tuduhan ikut mendukung gerakan percobaan kudeta pada 2016 lalu. Brunson memang sudah tidak dipenjara, tetapi kini masih berstatus tahanan rumah. 

Oleh karena itu, pelaku pasar masih harus waspada karena situasi di Turki masih bergejolak. Hal ini bisa berakibat melemahnya kembali nilai tukar lira.  

Apabila lira sampai terdepresiasi dalam, maka Turki lagi-lagi akan membuat pasar keuangan global 'kebakaran'. Dalam kondisi 'huru-hara', investor akan cenderung lari ke pelukan dolar AS yang mengakibatkan mata uang ini semakin jumawa. 

Sementara di dalam negeri, rilis data perdagangan internasional membuat pelaku pasar terkejut. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekspor tumbuh 19,33% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara impor naik 31,56% YoY menjadi US$18,27 miliar. Sehingga defisit neraca perdagangan bulan lalu mencapai US$ 2,03 miliar, terdalam sejak 5 tahun terakhir. 

Defisit neraca perdagangan yang sangat dalam membuat transaksi berjalan (current account) pada kuartal III-2018 di ujung tanduk. Padahal pada kuartal sebelumnya, transaksi berjalan sudah mencatatkan defisit yang cukup dalam yaitu US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Catatan tersebut merupakan yang terdalam sejak kuartal III-2014. 

Transaksi berjalan adalah bagian dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) bersama dengan transaksi modal dan finansial. NPI menggambarkan arus devisa yang masuk ke sebuah negara.  

Namun transaksi berjalan lebih mendapat perhatian. Sebab, transaksi berjalan mewakili arus devisa yang berasal dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustain) dibandingkan modal asing portofolio di sektor keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi sesuka hati. 

Ketika transaksi berjalan defisit, ada persepsi suatu mata uang kurang dukungan devisa yang memadai. Oleh karena itu, mata uang menjadi rentan melemah. 

Indonesia patut waspada ketika neraca perdagangan kembali defisit. Ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah, membuat ruang penguatan semakin tipis. 

Namun, pelemahan rupiah sampai saat ini masih tertahan karena pelaku pasar menantikan rilis data berikutnya yaitu suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7 Day Reverse Repo Rate. Konsensus pasar memperkirakan BI masih menahan suku bunga di 5,25%.

Namun dengan defisit neraca perdagangan yang sangat dalam (plus ancaman defisit transaksi berjalan), bukan tidak mungkin bank sentral tergerak hatinya untuk menaikkan suku bunga acuan. Langkah ini, jika ditempuh, bisa menjadi bantalan yang menahan arus modal keluar.

Oleh karena itu, suku bunga acuan akan sangat ditunggu oleh investor. Jika BI benar-benar menaikkan suku bunga acuan, maka bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah karena meningkatkan potensi masuknya arus modal asing. 

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular