
Arab Saudi Pangkas Produksi di Juli, Harga Minyak Rebound
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 August 2018 08:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Oktober 2018 naik 0,37% ke level US$72,88/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak September 2018 juga tumbuh 0,45% ke US$67,48/barel pada perdagangan hari ini Selasa (14/08/2018) hingga pukul 08.27 WIB.
Harga minyak mampu rebound, pasca di kemarin kompak ditutup di zona merah. Pada penutupan perdagangan hari Senin (13/08/2018), harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) terkoreksi 0,63%, sementara brent yang menjadi acuan di eropa juga turun 0,27%.
Pada perdagangan kemarin, penurunan light sweet yang lebih dalam dibandingkan brent merupakan akibat dari peningkatan cadangan minyak AS. Mengutip Reuters, cadangan minyak di Cushing (Oklahoma) pada pekan pekan lalu diperkirakan naik 1,7 juta barel.
Hal ini terjadi karena fasilitas milik Syncrude di Kanada sudah mulai beroperasi terbatas sehingga bisa memasok si emas hitam. Operasi penuh dijadwalkan pada bulan depan.
Kemudian, sentimen negatif lainnya bagi harga sang emas hitam datang dari krisis finansial Turki. Sejak akhir pekan lalu, lira melemah tajam di hadapan dolar AS. Kejatuhan lira terjadi pasca Presiden AS Donald Trump menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Turki sebesar 50% dan aluminium sebesar 20%.
Kebijakan Trump ini merupakan balasan terhadap langkah Turki yang menahan seorang pastur asal AS, Andrew Brunson. Pemerintah Turki menuding Brunson sebagai salah satu pendukung upaya kudeta pada 2016. Brunson menolak tuduhan tersebut, tetapi nasibnya masih terkatung-katung.
Ketika lira terus melemah, dikhawatirkan utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak. Dalam satu titik, potensi gagal bayar (default) massal pun tidak bisa diabaikan. Jika default itu terjadi, maka dampaknya bisa meluas. Sebab, perusahaan-perusahaan asal Turki banyak meminjam uang di bank luar negeri.
Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Pada akhirnya, hal ini bisa membatasi pertumbuhan ekonomi (khususnya di negara berkembang) dan mengurangi permintaan energi. Persepsi ini membuat harga minyak tertekan.
Situasi di Turki lantas memperburuk panasnya tensi dagang antara AS, China, dan Uni Eropa. Perang dagang (bila berlangsung lama) akan membuat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia terancam. Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi melambat, maka permintaan energi juga akan ikut turun.
Meski demikian, pagi ini harga minyak mendapat kekuatan dari laporan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang mengonfirmasi bahwa Arab Saudi telah memangkas produksi minyak mentahnya untuk menghindari ancaman oversupplay.
Pada Juli 2018, Arab Saudi melaporkan bahwa mereka telah mengurangi produksi minyak mentah sebesar 200.000 barel/hari ke 10,288 juta bph. Padahal, baru pada bulan Juni 2018, Saudi menyatakan rencana untuk menambah pasokan minyak global secara bertahap.
Nampaknya, Negeri Padang Pasir mengantisipasi proyeksi perlambatan permintaan minyak global.
Laporan OPEC mengekspektasikan permintaan minyak dunia akan tumbuh 1,43 juta barrel/hari pada 2019, turun dari 1,64 juta barrel.hari pada 2018. Perlambatan permintaan tersebut akan datang bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi global yang lebih rendah akibat perang dagang AS-China.
Meski demikan, secara keseluhan laporan OPEC menyatakan permintaan minyak global masih dalam status "sehat".
Selain itu, harga minyak juga masih mendapatkan dukungan dari sanksi AS terhadap Iran yang resmi diaktifkan kembali pada 7 Agustus 2018 lalu. Meski sejauh ini kebijakan ini mendapat perlawanan dari Uni Eropa, China, dan India, namun pelaku pasar memperkirakan negara-negara tersebut pada akhirnya akan tunduk pada tekanan dari Negeri Paman Sam.
Sanksi AS pada Iran sejauh ini belum mengincar secara langsung minyak Iran, meskipun Presiden AS Donald Trump ingin sebanyak mungkin negara berhenti total mengimpor minyak mentah dari Negeri Persia. Akan tetapi, apabila Teheran tidak mau bernegosiasi, maka 4 November akan menjadi tenggat waktu untuk jatuhnya sanksi yang lebih berat. Setelah 4 November, bisa-bisa Iran benar-benar tidak bisa melakukan ekspor minyak.
Situasi ini lantas memicu kekhawatiran akan teputusnya pasokan minyak dari Iran, salah satu pengekspor minyak mentah utama di dunia. Analis memperkirakan ekspor minyak mentah Negeri Persia antara 500.000 hingga 1,3 juta barel/hari, seperti dikutip dari Reuters. Jumlah pengurangan ini tergantung dari apakah pembeli minyak Iran mendapatkan keringanan untuk bisa melakukan impor atau tidak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/hps) Next Article Stok AS Capai Rekor Tertinggi, Harga Minyak Jatuh Lemas
Harga minyak mampu rebound, pasca di kemarin kompak ditutup di zona merah. Pada penutupan perdagangan hari Senin (13/08/2018), harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) terkoreksi 0,63%, sementara brent yang menjadi acuan di eropa juga turun 0,27%.
![]() |
Pada perdagangan kemarin, penurunan light sweet yang lebih dalam dibandingkan brent merupakan akibat dari peningkatan cadangan minyak AS. Mengutip Reuters, cadangan minyak di Cushing (Oklahoma) pada pekan pekan lalu diperkirakan naik 1,7 juta barel.
Kemudian, sentimen negatif lainnya bagi harga sang emas hitam datang dari krisis finansial Turki. Sejak akhir pekan lalu, lira melemah tajam di hadapan dolar AS. Kejatuhan lira terjadi pasca Presiden AS Donald Trump menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Turki sebesar 50% dan aluminium sebesar 20%.
Kebijakan Trump ini merupakan balasan terhadap langkah Turki yang menahan seorang pastur asal AS, Andrew Brunson. Pemerintah Turki menuding Brunson sebagai salah satu pendukung upaya kudeta pada 2016. Brunson menolak tuduhan tersebut, tetapi nasibnya masih terkatung-katung.
Ketika lira terus melemah, dikhawatirkan utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak. Dalam satu titik, potensi gagal bayar (default) massal pun tidak bisa diabaikan. Jika default itu terjadi, maka dampaknya bisa meluas. Sebab, perusahaan-perusahaan asal Turki banyak meminjam uang di bank luar negeri.
Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Pada akhirnya, hal ini bisa membatasi pertumbuhan ekonomi (khususnya di negara berkembang) dan mengurangi permintaan energi. Persepsi ini membuat harga minyak tertekan.
Situasi di Turki lantas memperburuk panasnya tensi dagang antara AS, China, dan Uni Eropa. Perang dagang (bila berlangsung lama) akan membuat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia terancam. Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi melambat, maka permintaan energi juga akan ikut turun.
Meski demikian, pagi ini harga minyak mendapat kekuatan dari laporan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) yang mengonfirmasi bahwa Arab Saudi telah memangkas produksi minyak mentahnya untuk menghindari ancaman oversupplay.
Pada Juli 2018, Arab Saudi melaporkan bahwa mereka telah mengurangi produksi minyak mentah sebesar 200.000 barel/hari ke 10,288 juta bph. Padahal, baru pada bulan Juni 2018, Saudi menyatakan rencana untuk menambah pasokan minyak global secara bertahap.
Nampaknya, Negeri Padang Pasir mengantisipasi proyeksi perlambatan permintaan minyak global.
Laporan OPEC mengekspektasikan permintaan minyak dunia akan tumbuh 1,43 juta barrel/hari pada 2019, turun dari 1,64 juta barrel.hari pada 2018. Perlambatan permintaan tersebut akan datang bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi global yang lebih rendah akibat perang dagang AS-China.
Meski demikan, secara keseluhan laporan OPEC menyatakan permintaan minyak global masih dalam status "sehat".
Selain itu, harga minyak juga masih mendapatkan dukungan dari sanksi AS terhadap Iran yang resmi diaktifkan kembali pada 7 Agustus 2018 lalu. Meski sejauh ini kebijakan ini mendapat perlawanan dari Uni Eropa, China, dan India, namun pelaku pasar memperkirakan negara-negara tersebut pada akhirnya akan tunduk pada tekanan dari Negeri Paman Sam.
Sanksi AS pada Iran sejauh ini belum mengincar secara langsung minyak Iran, meskipun Presiden AS Donald Trump ingin sebanyak mungkin negara berhenti total mengimpor minyak mentah dari Negeri Persia. Akan tetapi, apabila Teheran tidak mau bernegosiasi, maka 4 November akan menjadi tenggat waktu untuk jatuhnya sanksi yang lebih berat. Setelah 4 November, bisa-bisa Iran benar-benar tidak bisa melakukan ekspor minyak.
Situasi ini lantas memicu kekhawatiran akan teputusnya pasokan minyak dari Iran, salah satu pengekspor minyak mentah utama di dunia. Analis memperkirakan ekspor minyak mentah Negeri Persia antara 500.000 hingga 1,3 juta barel/hari, seperti dikutip dari Reuters. Jumlah pengurangan ini tergantung dari apakah pembeli minyak Iran mendapatkan keringanan untuk bisa melakukan impor atau tidak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/hps) Next Article Stok AS Capai Rekor Tertinggi, Harga Minyak Jatuh Lemas
Most Popular