Mata Uang Asia Lesu di Hadapan Dolar AS, Tapi Rupiah Terlemah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 August 2018 12:38
Mata Uang Asia Lesu di Hadapan Dolar AS, Tapi Rupiah Terlemah
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih terus melemah. Mata uang utama Asia pun cenderung melemah, tetapi rupiah menjadi yang terdalam. 

Pada Senin (13/8/2018) pukul 12:02 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.610. Rupiah melemah 0,97% dan menyentuh titik terlemah sejak Oktober 2015. 

Pada pembukaan pasar, rupiah melemah 0,14%. Seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam dan sempat menyentuh 1%. 

Hingga siang ini, posisi terlemah rupiah berada di Rp 14.615/US$. Sementara terkuatnya adalah Rp 14.490/US$ yaitu saat pembukaan pasar. 

 

Rupiah bergerak searah dengan mata uang utama Asia yang juga melemah. Namun harus diakui bahwa depresiasi rupiah adalah yang terdalam karena nyaris mencapai 1%. 

Berikut perkembangan nilai tukar beberapa mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 12:12 WIB: 

 

Sejak akhir pekan lalu, pasar keuangan dunia memang 'meleleh'. Mata uang Asia berjatuhan dan dolar AS begitu perkasa.  

Kekuatan dolar AS bertahan hingga saat ini. Pada pukul 12:13 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif di hadapan enam mata uang utama) masih menguat 0,10%.  

Dengan demikian, Dollar Index sudah menguat 1,15% dalam sepekan terakhir. Sementara dalam sebulan terakhir, kenaikannya mencapai 1,8% dan sejak awal tahun mencapai 4,7%.

 

Investor tengah dibuat defensif menyikapi perkembangan terbaru, utamanya dari Turki. Pelaku pasar semakin mencemaskan nilai tukar lira Turki yang terus melemah.

Pada pukul 12:18 WIB, lira melemah 2,08% terhadap dolar AS. Sebenarnya agak membaik karena akhir pekan lalu depresiasinya mencapai 15,97%. 

Ketika lira terus melemah, dikhawatirkan utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak. Dalam satu titik, potensi gagal bayar (default) massal tidak bisa diabaikan. 

Jika default itu terjadi, maka dampaknya bisa meluas. Sebab, perusahaan-perusahaan asal Turki banyak meminjam uang di bank luar negeri.  

Data dari Bank for Internasional Settlements (BIS) menunjukkan, perbankan di Spanyol meminjamkan US$ 83,3 miliar kepada perusahaan Turki. Sementara perbankan Prancis mengutangi US$ 38,4 miliar, Italia US$ 17 miliar, dan Inggris US$ 19,2 miliar. 

Tidak hanya di Eropa, bank-bank AS dan Jepang juga banyak meminjamkan uang ke perusahaan di Turki. Utang perusahaan Turki di perbankan AS mencapai US$ 18 miliar dan di Jepang US$ 14 miliar. 

Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Risiko ini yang kemudian membuat investor memasang mode risk-off, ogah mengambil risiko. 

Jika tidak menempatkan dana di instrumen berisiko seperti pasar saham negara berkembang, maka tujuan investor adalah aset-aset aman (safe haven). Ini yang menyebabkan yen Jepang masih mampu menguat, karena statusnya sebagai safe haven bersama franc Swiss dan emas. 

Namun dalam kadar tertentu, dolar AS pun bisa berlaku sebagai safe haven karena dinilai aman dan juga menjanjikan imbal hasil tinggi akibat potensi kenaikan suku bunga acuan. The Federal Reserve/The Fed diperkirakan lebih agresif dengan menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan perkiraan awal yaitu tiga kali. 

Hasil dari berbagai dinamika tersebut adalah dolar AS mampu menjadi raja di Asia. Namun tidak di hadapan yen.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular