Harga Minyak Labil, Saat Krisis Turki & Sanksi Iran

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
13 August 2018 09:19
Harga minyak masih bergerak labil, pasca di sepanjang pekan lalu tertekan cukup signifikan.
Foto: REUTERS/MORTEZA NIKOUBAZL
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Oktober 2018 turun 0,14% ke level US$72,71/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak September 2018 masih mampu naik tipis 0,09% ke US$67,69/barel pada perdagangan hari ini Senin (13/08/2018) hingga pukul 08.15 WIB.

Harga minyak masih bergerak labil, pasca di sepanjang pekan lalu tertekan cukup signifikan. Dalam seminggu terakhir, harga light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) terkoreksi 1,26%, sementara brent yang menjadi acuan di eropa juga turun 0,55%. Dengan capaian itu, harga minyak AS bahkan mencetak performa mingguan negatif selama 6 pekan berturut-turut.

Harga Minyak Labil, Saat Krisis Turki & Sanksi IranFoto: CNBC Indonesia/Raditya Hanung


Sejumlah sentimen negatif memang mewarnai pergerakan harga sang emas hitam pada pekan lalu. Pertama, China pada hari Rabu (08/08/2018) mengumumkan akan memberlakukan bea masuk baru sebesar 25% bagi importasi produk-produk AS senilai US$16 miliar. Beberapa produk yang akan terkena bea masuk tersebut adalah bahan bakar minyak (BBM), produk baja, kendaraan bermotor, dan peralatan kesehatan. Total ada 333 produk made in USA yang menjadi korban.

Kementerian Perdagangan China menyebutkan bea masuk baru ini mulai berlaku efektif pada 23 Agustus. Pada hari yang sama, AS memang berencana mengenakan bea masuk 25% untuk importasi produk China sebesar US$16 miliar. Jadi, langkah China adalah counter-attack atas serangan Negeri Paman Sam.

Perang dagang (bila berlangsung lama) akan membuat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia terancam. Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi melambat, maka permintaan energi pun ikut turun. Persepsi ini membuat harga minyak terjun bebas.

Kedua, impor minyak mentah China yang masih lemah. Impor minyak mentah Negeri Panda memang naik tipis pada bulan Juli 2018, dari bulan sebelumnya sebesar 8,36 juta barel/hari menjadi 8,48 juta barel/hari. Namun, jumlah tersebut masih merupakan salah satu yang terendah di tahun ini.

Penyebab kenaikan impor minyak China yang terbatas tersebut adalah permintaan yang menurun dari kilang minyak independen, yang dikenal dengan nama "teko/the teapot", yang dipandang pasar sebagai indikator dari permintaan riil untuk negara pengkonsumsi minyak terbesar di dunia tersebut.

Ketiga, US Energy Information Administration (EIA) mengumumkan bahwa cadangan minyak mentah AS turun sebesar 1,4 juta barel pada pekan lalu, lebih sedikit dari konsensus Reuters yang meramal penurunan sebesar 3,3 juta barel. Selain itu, stok BBM dan produk distilasi (termasuk diesel dan minyak pemanas) AS malah naik 2,9 juta barel, lebih kencang dari ekspektasi pasar yang memprediksi penurunan sebesar 1,7 juta barel.

Kemudian, perusahaan minyak asal AS menambah sumur pengeboran aktif sebanyak 10 unit, menjadi total 869 unit, dalam sepekan yang berakhir tanggal 10 Agustus 2018. Jumlah sebanyak itu merupakan yang tertinggi sejak Maret 2015. Hal ini lantas menjadi indikasi bahwa produksi minyak mentah negeri adidaya masih akan moncer ke depannya.

Ketiga sentimen tersebut nampaknya masih menghantui pergerakan minyak pada awal pekan ini. Meski demikian, harga minyak mendapatkan dukungan dari sanksi AS terhadap Iran yang resmi diaktifkan kembali pada 7 Agustus 2018 lalu. Meski sejauh ini kebijakan ini mendapat perlawanan dari Uni Eropa, China, dan India, namun pelaku pasar memperkirakan negara-negara tersebut pada akhirnya akan tunduk pada tekanan dari Negeri Paman Sam.

Sanksi AS pada Iran sejauh ini belum mengincar secara langsung minyak Iran, meskipun Presiden AS Donald Trump ingin sebanyak mungkin negara berhenti total mengimpor minyak mentah dari Negeri Persia. Akan tetapi, apabila Teheran tidak mau bernegosiasi, maka 4 November akan menjadi tenggat waktu untuk jatuhnya sanksi yang lebih berat. Setelah 4 November, bisa-bisa Iran benar-benar tidak bisa melakukan ekspor minyak.

Situasi ini lantas memicu kekhawatiran akan teputusnya pasokan minyak dari Iran, salah satu pengekspor minyak mentah utama di dunia. Analis memperkirakan ekspor minyak mentah Negeri Persia antara 500.000 hingga 1,3 juta barel/hari, seperti dikutip dari Reuters. Jumlah pengurangan ini tergantung dari apakah pembeli minyak Iran mendapatkan keringanan untuk bisa melakukan impor atau tidak.

Turki menjadi perhatian utama setelah sejak awal tahun, mata uang lira anjlok 31,7% terhadap dolar AS dan menyentuh posisi terlemahnya sepanjang sejarah. 

Penyebabnya adalah kebijakan AS kepada Turki. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Turki sebesar 50%. Aluminium juga kena bea masuk 20%. 

"Saya telah menyetujui penggandaan tarif bea masuk untuk baja dan aluminium kepada Turki, karena mata uang mereka melemah terhadap dolar AS kami yang begitu kuat! Hubungan kami dengan Turki tidak baik pada saat ini!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/hps) Next Article Stok AS Capai Rekor Tertinggi, Harga Minyak Jatuh Lemas

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular