Pekan Ini, Cermati Kebijakan BI Sampai APBN di Tahun Politik

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2018 16:15
Pekan Ini, Cermati Kebijakan BI Sampai APBN di Tahun Politik
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami periode yang cukup baik. Namun untuk pekan ini, sepertinya cukup menantang buat pasar keuangan domestik. 

IHSG menguat 1,16% sepanjang pekan lalu. Bursa saham Indonesia bergerak searah dengan kawasan, di mana indeks Hang Seng melonjak 2,49%, Shanghai Composite naik 2%, dan Straits Time bertambah 0,58%. 



Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat 0,14%. Rupiah terapresiasi dalam 4 hari perdagangan beruntun sebelum melemah 0,45% pada perdagangan akhir pekan. 

 

Laju IHSG dan rupiah dimotori oleh rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2018 yang di atas ekspektasi. Sepanjang kuartal-II, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,27%, mengalahkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,125%. Capaian ini juga lebih baik ketimbang kuartal-I 2018 yang sebesar 5,06% dan kuartal-II 2017 yaitu 5,01%.

Positifnya angka pertumbuhan ekonomi menghapus kekhawatiran investor bahwa laju ekonomi tahun ini akan lesu seperti 2017, walaupun angka pertumbuhan ekonomi kuartal-III dan IV akan menjadi penentuan. Pasalnya, laju perekonomian pada kuartal-II ditopang oleh momentum Ramadan-Idul Fitri yang jatuh pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni.

Pekan ini sepertinya akan menjadi periode yang sibuk bagi pelaku pasar. Sejumlah sentimen akan mewarnai jalannya perdagangan, dan bukan tidak mungkin memunculkan aura negatif yang bisa menjerumuskan IHSG dan rupiah ke teritori negatif. 

Berikut sejumlah sentimen yang perlu diwaspadai pada pekan depan. 

Pertama adalah dampak dari pengumuman data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis NPI mengalami defisit US$ 4,31 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,85 miliar apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$ 739 juta. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan (current account) masih tekor US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari PDB. Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 5,72 miliar (2,21% PDB) atau periode yang sama pada 2017 yang sebesar US$ 4,7 miliar (1,86% PDB). 

Sedangkan transaksi modal dan finansial juga mengalami defisit US$ 4,01 miliar. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar minus US$ 3,27 miliar apalagi periode yang sama pada 2017 yang surplus US$ 637 juta. 

NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia bisa dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya sokongan devisa. 

Hal ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Mata uang Tanah Air tidak punya pijakan yang kuat untuk terapresiasi.  

Saat rupiah melemah, IHSG pun akan terimbas dampak negatif. Aset-aset berbasis rupiah akan kurang seksi kala rupiah berpotensi melemah karena ke depannya nilai aset ini akan cenderung turun. Jika sampai terjadi aksi jual (terutama oleh Investor asing), maka IHSG pun terancam. 

Kedua adalah rilis data realisasi investasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 14 Agustus. Data ini bisa menjadi rujukan apakah Indonesia masih menjadi favorit para penanam modal di sektor riil. 

Thomas Trikasih Lembong, Kepala BKPM, memberi gambaran bahwa kemungkinan realisasi investasi akan sulit tumbuh tinggi. Ini tercermin dari pertumbuhan Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) yang pada kuartal II-2018 hanya 5,87%, terlambat sejak kuartal III-2017. 

Data ini bisa menjadi sentimen negatif di pasar. Sebab, jika benar ada perlambatan, maka akan menjadi gambaran bahwa ada kelesuan di kalangan dunia usaha. Ekspansi usaha maupun investasi baru yang lesu tentu bukan berita gembira.

Ketiga adalah, masih dari dalam negeri, yaitu rilis data perdagangan internasional oleh BPS periode Juli pada 15 Agustus. Konsensus awal yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan neraca perdagangan Juli diperkirakan mencatat defisit US$ 641 juta.  

Artinya, nasib transaksi berjalan pada kuartal III-2018 di ujung tanduk. Kalau defisit itu hampir sangat pasti, tetapi ada kemungkinan defisitnya membengkak. 

Defisit transaksi berjalan yang masih besar tentu bukan kabar baik. Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Sifat devisa ini lebih berkesinambungan (sustainable) ketimbang arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money

Kala pijakan devisa dari perdagangan ini tidak mendukung, maka posisi rupiah akan mudah goyah. Rupiah hanya mengandalkan arus modal hot money yang datang dan pergi sesuka hati.

Volatilitas rupiah bisa membuat pelaku pasar cemas dan menanggalkan aset-aset berbasis mata uang ini. Rupiah dan IHSG pun akan kian terancam. 

Keempat, pada hari yang sama, BI juga akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Agustus 2018. Dalam konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia, BI diperkirakan masih menahan suku bunga acuan di 5,25%. 

Keputusan suku bunga acuan dan berbagai petunjuk arah kebijakan moneter dari Perry Wajiyo dan kolega akan sangat mempengaruhi pasar. Investor akan memantau apakah BI masih preemtif, front loading, dan ahead the curve dengan menaikkan suku bunga, atau cooling down terlebih dulu karena The Federal Reserve/The Fed pun masih menahan suku bunga acuan. 

Mengutip CME Fedwatch, pelaku pasar memperkirakan The Fed baru menaikkan suku bunga pada rapat September dengan probabilitas 96%. Kenaikan berikutnya diprediksi terjadi pada Desember dengan kemungkinan 65,3%. 

Oleh karena itu, mungkin BI pun baru kenaikkan suku bunga acuan 7 day repo rate pada bulan-bulan tersebut. Seperti halnya The Fed, pelaku pasar memperkirakan BI juga akan menaikkan suku bunga 50 basis poin lagi. 

Namun kepastian itu mungkin baru bisa didapat dari hasil RDG pekan ini. Oleh karena itu, pelaku pasar akan menyimak dengan seksama bagaimana langkah BI selanjutnya. 


Sentimen kelima, lagi-lagi dari domestik, adalah penyampaian Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019 pada 16 Agustus. Berdasarkan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2019, pertumbuhan ekonomi diperkirakan berada di kisaran 5,4-5,8%.  

Kemudian inflasi diperkirkaan 2,5-4,5%, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan 4,6-5,2%, nilai tukar Rp 13.700-14.000/US$, harga minyak Indonesia US$ 60-70/barel, lifting minyak 772-805 ribu barel/hari, dan lifting gas 1,2-1,3 juta barel setara minyak/hari. Angka-angka ini akan menjadi patokan dalam penyusunan RAPBN 2019. 

Menarik untuk melihat arah kebijakan fiskal pada 2019. Pasalnya, tahun depan merupakan tahun politik dengan adanya Pileg dan Pilpres. Patut dicermati apa saja prioritas anggaran pada 2019.

Apakah pemerintah masih akan mengerem belanja infrastruktur demi menyelamatkan rupiah? Apakah akan ada kenaikan anggaran bantuan sosial (bansos), yang sering dituding sebagai alat kampanye? Mari kita nantikan penjelasan Presiden Joko Widodo (Jokowi). 

Sentimen keenam, kali ini dari luar negeri, adalah rilis-rilis data dari AS. Pekan ini, sejumlah data yang akan dirilis adalah inflasi, perdagangan internasional, penjualan ritel, pertumbuhan produksi manufaktur, penjualan properti, sampai klaim tunjangan pengangguran. Bila data-data ini positif, maka kemungkinan kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif akan semakin besar. 

Pasar kini berekspektasi The Fed akan menaikkan suku bunga acuan total empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang proyeksi awal yaitu tiga kali. Jika data-data ekonomi Negeri Adidaya terus positif, maka kemungkinan ke arah sana akan semakin tinggi. 

Ketujuh adalah data-data dari China. Beberapa data yang akan dirilis adalah pertumbuhan kredit, penjualan ritel, sampai indeks harga properti. Data-data ini menjadi penting karena akan menunjukkan seberapa kuat perekonomian China di tengah pusaran perang dagang dengan AS. 

Kedelapan, juga dari eksteral, adalah data-data di Jepang. Pekan ini akan dirilis antara lain produksi industrial, perdagangan internasional, dan indeks Tankan (menggambarkan optimisme dunia usaha). Berbagai data ini akan memberikan arah perkembangan ekonomi di Negeri Sakura dan seberapa cepat Bank Sentral Jepang (BoJ) akan mulai memperketat kebijakan moneter. 

Kesembilan adalah data-data yang dirilis di Uni Eropa. Beberapa data itu adalah pembacaan awal pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018, perdagangan internasional, transaksi berjalan, dan inflasi. Seperti halnya di Jepang, data-data ini bisa menjadi penentu arah kebijakan moneter Bank Sentral Uni Eropa (ECB) ke depan. 

Ada sembilan sentimen, dan ini mungkin belum semua. Sepertinya pekan ini akan menjadi periode sibuk dan penuh kewaspasdaan. Sebab, ada banyak sentimen negatif yang bisa membuat  IHSG dan rupiah terjebak di zona merah.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular