Neraca Pembayaran Tekor, Dolar AS Bisa Tembus Rp 14.500?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2018 11:53
Neraca Pembayaran Tekor, Dolar AS Bisa Tembus Rp 14.500?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat. Pekan ini, bukan tidak mungkin rupiah berbalik arah seiring cuaca global dan domestik yang kurang mendukung. 

Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat 0,14%. Rupiah terapresiasi dalam 4 hari perdagangan beruntun sebelum melemah 0,45% pada perdagangan akhir pekan. 



Penguatan rupiah pekan lalu disokong oleh situasi global dan domestik yang mendukung. Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2018 sebesar 5,27%. Angka ini lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,125%. 

Berbagai faktor pembentuk Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II pun positif. Di sisi produksi, sektor pertanian tumbuh mengesankan karena pergeseran panen dari kuartal I ke kuartal II. Sektor ini pun tumbuh 4,76%, tercepat dalam empat kuartal terakhir. 

Pertumbuhan sektor pertanian yang impresif turut menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Maklum, sektor ini adalah penyumbang terbesar kedua dalam pembentukan PDB dengan kontribusi 13,63%. 

Lalu di sisi pengeluaran, pertumbuhan konsumsi rumah tangga sangat menggembirakan. Setelah 6 kuartal, akhirnya konsumsi rumah tangga bisa tumbuh di kisaran 5%. Pada kuartal II-2018, konsumsi rumah tangga tumbuh 5,14%. 

Pertumbuhan konsumsi rumah tangga sangat penting, karena menjadi penyumbang utama pembentukan PDB. Pada kuartal II-2018, konsumsi rumah tangga menyumbang 55,43% dari PDB. 
 

Sementara dari sisi eksternal, sepertiya dolar AS memang sedang bosan menguat. Maklum, greenback sudah terlalu lama menguat seolah tanpa jeda. 

Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mengukur dolar AS secara relatif di hadapan enam mata uang utama) menguat 1,18%. Selama sebulan ke belakang, penguatannya mencapai 1,63% dan sejak awal tahun sudah menanjak 4,5%. 



Mata uang Negeri Paman Sam juga minim data-data pendukung. Pekan lalu hampir tidak ada data kuat yang bisa mendorong apresiasi greenback. Dolar AS malah tertekan di Asia seiring penguatan yuan China akibat langkah Bank Sentral Negeri Tirai Bambu (PBoC).  

Namun untuk pekan depan, arah angin mungkin akan berubah. Ini sudah terlihat pada akhir pekan lalu, di mana momentum penguatan rupiah terputus. Kemungkinan pelemahan rupiah masih akan berlanjut. 

Situasi domestik dan global kurang memihak rupiah. Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akhir pekan lalu mengumumkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal II-2018 defisit US$ 4,31 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,85 miliar apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$ 739 juta. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan (current account) masih tekor US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari PDB. Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 5,72 miliar (2,21% PDB) atau periode yang sama pada 2017 yang sebesar US$ 4,7 miliar (1,86% PDB). 

Sedangkan transaksi modal dan finansial juga mengalami defisit US$ 4,01 miliar. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar minus US$ 3,27 miliar apalagi periode yang sama pada 2017 yang surplus US$ 637 juta. 

NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia bisa dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya sokongan devisa. 

Hal ini bisa diperparah saat BPS mengumumkan data perdagangan internasional periode Juli 2018 pada 15 Agustus mendatang. Konsensus awal yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan neraca perdagangan Juli diperkirakan mencatat defisit US$ 587,15 juta.  

Artinya, nasib transaksi berjalan pada kuartal III-2018 di ujung tanduk. Kalau defisit itu hampir sangat pasti, tetapi ada kemungkinan defisitnya membengkak. 

Hal ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Mata uang Tanah Air tidak punya pijakan yang kuat untuk terapresiasi.  

Selain itu, persepsi investor akan cenderung negatif bila ekonomi Indonesia rentan yang tercemin dari tekornya NPI. Berinvestasi di instrumen berbasis rupiah akan kurang menguntungkan kala mata uang ini cenderung depresiatif. Arus modal keluar akan semakin melemahkan posisi rupiah. 


Sementara dari eksternal, dolar AS sedang menjadi buruan akibat gonjang-ganjing di Turki. Sejak awal tahun, mata uang lira anjlok 31,7% terhadap dolar AS dan menyentuh posisi terlemahnya sepanjang sejarah. 

Penyebabnya adalah kebijakan AS kepada Turki. Akhir pekan lalu, Presiden AS Donald Trump menyetujui pengenaan bea masuk bagi impor baja asal Turki sebesar 50%. Aluminium juga kena bea masuk 20%. 

"Saya telah menyetujui penggandaan tarif bea masuk untuk baja dan aluminium kepada Turki, karena mata uang mereka melemah terhadap dolar AS kami yang begitu kuat! Hubungan kami dengan Turki tidak baik pada saat ini!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter. 

Selain itu, pasar juga menghukum Turki karena campur tangan Presiden Recep Tayyip Erdogan yang dianggap terlalu dalam terhadap kebijakan ekonomi. Hal ini ditunjukkan dengan memilih menantunya, Berat Albayrak, sebagai Menteri Keuangan. 

Bursa saham dan mata uang dunia berguguran karena kekhawatiran 'huru'hara' di Turki bisa merambat ke mana-mana. Akibatnya, investor pun kembali ke pelukan dolar AS. 

Greenback yang tengah menjadi primadona investor pun terapresiasi tajam. Pada penutupan pasar akhir pekan lalu, Dollar Index mampu menguat sampai 0,8%. 

Pekan depan juga ada beberapa rilis data kunci yang bisa melambungkan dolar AS. Misalnya inflasi, perdagangan internasional, penjualan ritel, sampai penjualan properti. Bila data-data ini positif, maka kemungkinan kenaikan suku bunga acuan yang lebih agresif akan semakin besar.

Pasar kini berekspektasi The Federal Reserve/The Fed akan menaikkan suku bunga acuan total empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang proyeksi awal yaitu tiga kali. Jika data-data ekonomi Negeri Adidaya terus positif, maka kemungkinan ke arah sana akan semakin tinggi.

Dengan situasi yang sangat tidak menguntungkan ini, sepertinya akan sulit bagi rupiah untuk mengulangi pencapaian pekan lalu. Jika tidak ada sentimen positif (terutama dari dalam negeri), maka bukan tidak mungkin dolar AS akan kembali ke jalur pendakian dan menembus level psikologis Rp 14.500.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular