Selamatkan Rupiah dengan Stop Impor Ferrari Cs, Efektifkah?

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
05 August 2018 13:57
Pelarangan impor mobil mewah seperti Ferrari akan membantu mengurangi defisit neraca perdagangan, namun dampaknya tidak signifikan.
Foto: REUTERS/Willy Kurniawan
Jakarta, CNBC IndonesiaWakil Presiden Jusuf Kalla mencetuskan ide bahwa Indonesia harus mengurangi impor barang mewah. Salah satunya, kata JK, RI bisa menghentikan impor mobil mewah seperti Ferrari dan Lamborghini.

"Saya malah mengusulkan sudah kita hentikan impor mobil yang di atas 3.000 cc."

"Tak usah impor Ferrari, tak usah impor Lamborghini. Contohnya macam-macam itu supaya mengurangi faktor-faktor impor tadi," kata dia.

Adapun, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mendukung penuh usulan JK menyetop impor mobil mewah ini.

"Kalau Pak JK bilang gitu, saya dukung saja. Kalau demi kepentingan nasional, apapun kita lakukan. Negara butuh dolar, kita lakukan," kata dia, Jumat (3/8/2018).

"Kepentingan nasional kita pegang. Karena, Presiden sudah bilang negara butuh dolar kan. Kita sudah lama terlalu senang impor," tegas Luhut.

Tujuan pemerintah menghentikan impor mobil mewah ini tidak lain guna menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).

Transaksi berjalan adalah sebuah neraca yang menggambarkan arus devisa di sebuah negara dari sektor riil. Ketika transaksi berjalan surplus, maka devisa yang tersedia cukup memadai sementara ketika defisit maka yang terjadi adalah sebaliknya. Neraca ini dibentuk oleh dua komponen, yakni neraca perdagangan dan neraca jasa.

Transaksi berjalan seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Ketika devisa di suatu negara cukup memadai, maka bisa menjadi bantalan untuk menahan guncangan. Oleh karena itu, mata uang negara dengan transaksi berjalan yang defisit biasanya mudah berfluktuasi karena pasokan valas bergantung kepada investasi portofolio yang bisa datang dan pergi kapan saja.

Sayangnya, CAD Indonesia di Kuartal I-2018 mencapai US$5,5 miliar, meningkat 152,29% dari capaian kuartal I-2018 yang sebesar US$2,18 miliar. Bahkan, CAD di tiga bulan pertama tahun ini merupakan yang terparah sejak kuartal I-2013. Wajar saja jika pemerintah pun ketar-ketir. Dengan CAD yang semakin membesar, mata uang garuda pun tidak punya fundamental yang solid untuk menguat.



Pertanyaannya, seberapa besar kebijakan setop impor mobil mewah akan membantu meringankan CAD? Mengutip data dari UN Comtrade Database, impor mobil dengan kapasitas silinder melebihi 3.000 cc (kode HS 870324) hanya mencapai US$18,35 juta (Rp256,90 miliar) pada tahun 2017. Jumlah itu mengalami penurunan sebesar 47,59% dibandingkan dengan tahun 2016.

Jika dibandingkan dengan capaian 5 tahun lalu, nilai impor mobil di atas 3.000 cc pada tahun 2017 bahkan sudah anjlok hingga 86,46%. Artinya, setidaknya dalam 5 tahun terakhir, impor mobil di atas 3.000 cc sebenarnya terus mengalami tren penurunan.



Lantas, seberapa besar impor mobil di atas 3.000 cc berkontribusi terhadap total impor Indonesia? Pada tahun 2017, hanya menyumbang 0,01% saja bagi total impor RI yang mencapai US$157,39 miliar (Rp 2.203,46 triliun). Bahkan, dalam 5 tahun terakhir, sampai 0,1% saja belum pernah. Hal ini lantas mengindikasikan bahwa kebijakan untuk menghentikan impor mobil mewah hanya akan memberi dampak yang amat minim untuk menekan defisit neraca perdagangan tanah air. Apalagi tren impornya terus mengalami penurunan.

Nilai impor mobil mewah memang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan komoditas impor utama Indonesia, yakni minyak mentah dan produk minyak. Apabila dibandingkan dengan impor minyak mentah pada tahun lalu yang mencapai US$6,16 miliar (Rp86,24 triliun), nilai impor mobil mewah yang hanya sebesar Rp256,9 miliar pun terlihat kerdil.

Kesimpulannya, pelarangan impor mobil mewah seperti Ferrari atau Lamborghini memang akan membantu mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia (yang akan memangkas CAD), namun dampaknya tidak akan signifikan. Bahkan bisa dibilang amat minim.

Jika ingin mengurangi beban impor tanah air, pemerintah harus berfokus pada mengurangi ketergantungan kita terhadap impor minyak mentah dan produk minyak. Kewajiban penggunaan minyak sawit sebanyak 20% ke dalam solar (B20) menjadi langkah yang perlu diapresiasi. Akan tetapi, secara jangka panjang, investasi untuk memperkuat produksi minyak mentah dalam negeri, kapasitas kilang minyak, serta penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) harus menjadi garda terdepan dalam menyelamatkan CAD.



(RHG/RHG) Next Article Layanan Daring, Topang Penjualan Mobil Mewah Saat Pandemi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular