Sentimen Eksternal Mendominasi, IHSG ke Zona Merah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 August 2018 12:40
IHSG melemah 0,19% ke level 6.021,82 pada akhir sesi 1.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca dibuka naik tipis 0,11%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,19% ke level 6.021,82 pada akhir sesi 1. Pelemahan IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga diperdagangkan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,99%, indeks Shanghai turun 2,6%, indeks Hang Seng turun 2,32%, indeks Strait Times turun 1,4%, dan indeks Kospi turun 1,46%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 4,06 triliun dengan volume sebanyak 6,34 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 247.626 kali.

Dari sisi eksternal, sentimen memang tak mendukung bagi bursa saham Benua Kuning, seiring dengan perang dagang yang kembali membara dan semakin mencuatnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh the Federal Reserve.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah meminta pejabat tinggi bidang perdagangan untuk mempertimbangkan menaikkan bea masuk terhadap produk China senilai US$200 miliar (Rp 2.889 triliun) menjadi 25%, dari 10% yang saat ini sedang dikaji, menurut pengumuman Kantor Perwakilan Perdagangan AS pada hari Rabu (1/8/2018).

Tidak ada langkah khusus China yang membuat presiden mengajukan rekomendasi itu, kata seorang pejabat senior yang menolak disebutkan namanya dalam sebuah telekonferensi dengan wartawan.

Meminta Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer untuk mempertimbangkan kenaikan bea masuk adalah upaya pemerintah untuk mendorong China membuka pasarnya, menaikkan persaingan, dan mencabut tarif balasannya ke AS, kata pejabat tersebut.

"Pekan ini, Presiden telah memberi arahan agar saya mempertimbangkan menaikkan usulan bea masuk tambahan dari 10% menjadi 25%. Bea masuk 25% akan dikenakan terhadap daftar barang-barang yang diusulkan yang telah diumumkan pada 10 Juli lalu," kata Lighthizer dalam sebuah pernyataan.

"Pemerintahan Trump terus mendorong China untuk menghentikan praktik tidak adilnya, membuka pasar, dan terlibat dalam kompetisi pasar yang sebenarnya. Kami telah sangat jelas mengenai perubahan spesifik apa yang China harus lakukan. Sangat disesalkan bahwa alih-alih mengubah sikap berbahayanya, China justru telah secara ilegal membalas pekerja, petani, peternak, dan bisnis AS," tambahnya.

Pemerintah AS akan memperpanjang masa komentar publik terhadap usulan tarif itu hingga 5 September dari sebelumnya 30 Agustus untuk mendapatkan masukan mengenai tarif seperti apa yang seharusnya diterapkan Gedung Putih.

Beijing pun merespons dengan keras. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menilai langkah AS sebagai upaya pemerasan. China pun siap membalas jika AS betul-betul memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk asal Negeri Tirai Bambu.

"Tekanan dan pemerasan AS tidak akan berpengaruh. Jika AS benar-benar menempuh kebijakan lanjutan, maka China akan melakukan balasan untuk melindungi kepentingan nasional," kata Geng, mengutip Reuters.

Jika perang dagang dalam skala besar benar-benar terjadi antara AS dan China, laju perekonomian dunia menjadi taruhannya.

Kemudian, hasil pertemuan The Federal Reserve mengindikasikan bahwa bank sentral akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 2 kali lagi pada tahun ini (4 kali secara total).

"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.

Kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif dikhawatirkan justru bisa 'mematikan' laju perekonomian Negeri Paman Sam. Terlebih, risiko perang dagang masih terus mengintai.

Sentimen positif dari dalam negeri berupa rilis data inflasi periode Juli yang lebih rendah dari ekspektasi terbukti tak mampu mengangkat IHSG seperti kemarin (1/8/2018). Saham-saham emiten barang konsumsi yang kemarin diburu investor kini justru dilepas, seperti PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-2,21%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (-0,78%), dan PT Indofarma Tbk/INAF (-0,64%).

Seiring dengan aksi jual atas saham-saham barang konsumsi, indeks sektor barang konsumsi melemah sebesar 0,6% dan menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi koreksi IHSG.

Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Juli 2018 terjadi inflasi sebesar 3,18% YoY, lebih rendah dari median konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 3,2% YoY.

Rendahnya inflasi mengindikasikan bahwa pelemahan nilai tukar yang terjadi sepanjang bulan Juli belum begitu mempengaruhi harga-harga barang dan jasa di dalam negeri, salah satunya karena intervensi pemerintah dalam menekan kenaikan harga bahan makanan.

Sepanjang bulan Juli, inflasi bahan makanan tercatat sebesar 0,86% MoM, sementara inflasi makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau tercatat sebesar 0,45% MoM.

Seiring dengan rendahnya inflasi, ke depannya konsumsi masyarakat Indonesia diharapkan meningkat dan menopang kinerja dari emiten-emiten sektor barang konsumsi.

Namun, sentimen eksternal yang kini menyelimuti membuat pelaku pasar bermain aman dengan melepas saham-saham barang konsumsi.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/wed) Next Article IHSG Jatuh Lagi ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular