
Dolar AS 'Dibekingi' The Fed, Rupiah Kian Lemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 August 2018 12:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah pada perdagangan hari ini. Bahkan depresiasi rupiah tampak semakin dalam.
Pada Kamis (2/8/2018) pukul 12:03 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.463. Rupiah melemah 0,19% dibandingkan perdagangan sehari sebelumnya.
Padahal rupiah dibuka stagnan di Rp 14.435/US$. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah. Hingga siang ini, posisi terlemah rupiah ada di Rp 14.463/US$ dan terkuatnya di Rp 14.435/US$.
Dolar AS bergerak variatif cenderung menguat terhadap mata uang utama Asia. Depresiasi terdalam masih dialami won Korea Selatan. Kemudian disusul dolar Singapura, baht Thailand, dan rupiah berada di posisi keempat.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 12:11 WIB, mengutip Reuters:
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Kamis (2/8/2018) pukul 12:03 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.463. Rupiah melemah 0,19% dibandingkan perdagangan sehari sebelumnya.
Padahal rupiah dibuka stagnan di Rp 14.435/US$. Namun seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah. Hingga siang ini, posisi terlemah rupiah ada di Rp 14.463/US$ dan terkuatnya di Rp 14.435/US$.
Dolar AS bergerak variatif cenderung menguat terhadap mata uang utama Asia. Depresiasi terdalam masih dialami won Korea Selatan. Kemudian disusul dolar Singapura, baht Thailand, dan rupiah berada di posisi keempat.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 12:11 WIB, mengutip Reuters:
Dolar AS masih setia di jalur pendakian. Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,12% pada pukul 12:18 WIB.
Penguatan dolar AS semakin mencolok karena sebenarnya yuan 'didongkrak' oleh Bank Sentral China (PBoC). Hari ini, PBoC menetapkan nilai tengah yuan di CNY 6,7942/US$. Lebih kuat dibandingkan posisi kemarin yaitu CNY 6,8293/US$.
Hal ini sepertinya dilakukan untuk meredakan ketegangan perang dagang dengan AS. Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan segera mengumumkan pengenaan bea masuk 25% terhadap impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar.
Menurut Robert Robert Lighthizer, Kepala US Trade Representative, langkah ini dilakukan untuk menekan China agar mengubah kebijakannya supaya dapat menciptakan pasar yang lebih adil. Sepertinya apa yang dikatakan Lighthizer sudah menuai hasil, karena memaksa PBoC menguatkan yuan. Selama ini China dituding sengaja melemahkan nilai tukarnya agar produk-produk Negeri Tirai Bambu menjadi lebih murah di pasar global.
Di tengah pelemahan yuan pun dolar AS masih perkasa. Dorongan luar biasa bagi greenback masih datang dari hasil rapat The Federal Reserve/The Fed. Meski masih menahan suku bunga acuan di 1,75-2%, tetapi The Fed mengeluarkan pernyataan bernada hawkish.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 91,2%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 64,2%.
Mendapat beking kenaikan suku bunga oleh The Fed, dolar AS pun jumawa. Memegang dolar AS akan menguntungkan saat suku bunga naik. Sebab, nilai mata uang ini akan naik karena ekspektasi inflasi terkendali. Selain itu, aset-aset berbasis dolar AS juga menjadi seksi karena menawarkan imbalan yang lebih tinggi.
Untuk saat ini, dolar AS masih masih sulit ditandingi. Tanpa sentimen domestik yang signifikan, rupiah pun terseret arus apresiasi greenback yang terjadi secara massal.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Penguatan dolar AS semakin mencolok karena sebenarnya yuan 'didongkrak' oleh Bank Sentral China (PBoC). Hari ini, PBoC menetapkan nilai tengah yuan di CNY 6,7942/US$. Lebih kuat dibandingkan posisi kemarin yaitu CNY 6,8293/US$.
Hal ini sepertinya dilakukan untuk meredakan ketegangan perang dagang dengan AS. Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan segera mengumumkan pengenaan bea masuk 25% terhadap impor produk-produk China senilai US$ 200 miliar.
Menurut Robert Robert Lighthizer, Kepala US Trade Representative, langkah ini dilakukan untuk menekan China agar mengubah kebijakannya supaya dapat menciptakan pasar yang lebih adil. Sepertinya apa yang dikatakan Lighthizer sudah menuai hasil, karena memaksa PBoC menguatkan yuan. Selama ini China dituding sengaja melemahkan nilai tukarnya agar produk-produk Negeri Tirai Bambu menjadi lebih murah di pasar global.
Di tengah pelemahan yuan pun dolar AS masih perkasa. Dorongan luar biasa bagi greenback masih datang dari hasil rapat The Federal Reserve/The Fed. Meski masih menahan suku bunga acuan di 1,75-2%, tetapi The Fed mengeluarkan pernyataan bernada hawkish.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun. Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 91,2%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 64,2%.
Mendapat beking kenaikan suku bunga oleh The Fed, dolar AS pun jumawa. Memegang dolar AS akan menguntungkan saat suku bunga naik. Sebab, nilai mata uang ini akan naik karena ekspektasi inflasi terkendali. Selain itu, aset-aset berbasis dolar AS juga menjadi seksi karena menawarkan imbalan yang lebih tinggi.
Untuk saat ini, dolar AS masih masih sulit ditandingi. Tanpa sentimen domestik yang signifikan, rupiah pun terseret arus apresiasi greenback yang terjadi secara massal.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular