
Ingin Selamatkan Rupiah? Pariwisata RI Harus Tiru Thailand
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
01 August 2018 08:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejauh ini, tahun 2018 menjadi tahun yang suram bagi mata uang Benua Asia, termasuk Rupiah. Mata uang garuda bahkan menjadi salah satu mata uang Asia yang mengalami tekanan paling dahsyat.
Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) hingga tanggal 30 Juli 2018, rupiah sudah terdepresiasi hingga 6,19%.
Sebagai catatan, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Semakin dalamnya defisit transaksi berjalan disebabkan oleh peningkatan impor seiring perbaikan ekonomi domestik. Sementara kinerja ekspor agak sulit diandalkan karena harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang menjadi andalan sedang dalam tren turun. Harga CPO kontrak acuan di Bursa Derivatif Malaysia memang sudah melemah sebesar 12,89% secara YTD hingga tanggal 30 Juli 2018.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mencari cara lain untuk menambal kekurangan pasokan devisa dari perdagangan. Pertanyaannya dari sektor mana? Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita tengok siapa saja penyumbang terbesar devisa RI.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Pariwisata (Kemenpar), pada tahun 2016 terdapat tiga sektor utama yang menyumbangkan devisa ke dalam negeri. Sektor-sektor tersebut adalah CPO, Pariwisata, dan Minyak dan Gas (migas).
Uniknya, dari ketiga sektor utama tersebut, hanya pariwisata saja yang mampu mencatatkan pertumbuhan positif dalam setahun terakhir. Pada tahun 2016, sektor pariwisata diperkirakan menyumbang devisa negara sebesar US$13,57 miliar, atau naik 11,05% dari capaian tahun 2015.
Bandingkan dengan sumbangan devisa dari CPO dan Migas yang menurun masing-masing sebesar -2,86% dan 29,46% di periode yang sama. Bahkan, tak tanggung-tanggung, sektor pariwisata diproyeksikan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia pada tahun 2020.
Pada umumnya, ekspor komoditas memang tidak mampu menghasilkan devisa yang optimal. Saat harga komoditas jatuh, seperti harga CPO saat ini, mau tidak mau aliran devisa pun melempem.
Beda ceritanya apabila Indonesia menjual produk olahan, yang harganya berkali lipat. Pastinya juga akan menghasilkan devisa yang berlipat. Memang beberapa sektor industri pengolahan masuk ke 10 besar penyumbang devisa negara di tahun 2016. Sayangnya, jumlahnya belum signifikan.
Sebagai contoh, sektor industri pakaian jadi yang menduduki posisi ke-5 penyumbang devisa terbesar di Indonesia, hanya mampu memberikan US$6,23 miliar. Tidak sampai setengahnya dari sumbangan devisa CPO.
Industrialisasi harus menjadi motor utama dalam menggenjot devisa nasional. Namun, harus diakui bahwa memajukan industri memerlukan waktu yang tidak sedikit. Katakan saja, menggenjot investasi di sektor industri pengolahan saat ini, mungkin hasilnya baru terasa tiga tahun ke depan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan rupiah di jangka pendek, sektor pariwisata yang bisa menjadi harapan.
Pertanyaannya, sudah sejauh apa perkembangan pariwisata di Indonesia? Bisa dibilang cukup positif. Jumlah kunjungan wisatawan asing terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, jumlah kunjungan wisatawan asing meningkat 21,87% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka 14,04 juta kunjungan.
Kemudian, pada periode Jan-Mei 2018 pun, jumlah kunjungan wisatawan asing juga masih naik sebesar 11,89% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2017. Hal ini lantas menjelaskan pertumbuhan devisa dari sektor pariwisata yang terus positif, dibandingkan dengan sektor CPO dan Migas yang justru melambat.
Tidak hanya dari data di atas, pemerintah pun sebenarnya sudah merencanakan perkembangan sektor ini dengan apik.
Kesepuluh destinasi baru ini dituangkan dalam 10 destinasi wisata prioritas di dalam rencana kerja pemerintah. Khusus untuk Mandalika, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, dan Morotai bahkan ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata.
Dengan segala pencapaian dan keseriusan pemerintah tersebut, peringkat daya saing pariwisata di Indonesia pun terkerek naik.
Lalu, bisa berpuas dirikah Indonesia? Jawabannya tidak. Pasalnya, capaian Indonesia masih di bawah negara tetangga Thailand. Negara yang luasnya hanya sekitar seperempat dari luas Indonesia. Hal itu juga diakui Deputi Gubernur Senior BI.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai bahwa pengembangan sektor pariwisata Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan pemerintah Thailand. Sektor pariwisata di negara tersebut, bahkan mampu membiaya transaksi berjalan.
"Thailand itu hanya mengandalkan pariwisata saja, current account bisa surplus. Karakter kita memang sama seperti India dan Filipina, tapi Thailand bisa jadi contoh," kata Josua kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/7/2018).
Mengutip data dari World Travel and Tourism Council, sektor pariwisata Negeri Gajah Putih menyumbang 3,23 triliun Baht (sekitar Rp1.400 triliun) bagi aktivitas ekonomi negara pada tahun 2017. Jumlah itu setara dengan 21,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand.
Sementara, mengutip sumber yang sama, sektor pariwisata Indonesia hanya menyumbang Rp787,1 triliun pada tahun 2017, atau hanya sekitar 5,8% dari PDB Indonesia. Jumlah itu hanya sekitar setengahnya dari Thailand.
Kesenjangan pariwisata Thailand dan Indonesia juga hanya terlihat dari jumlah Visitor Export. Sebagai informasi, indikator Visitor Export mengukur pengeluaran turis asing untuk keperluan wisata dan bisnis di suatu negara. Ukuran ini juga mencakup pengeluaran untuk transportasi.
Tercatat, Thailand menghasilkan visitor export sebesar 2,03 triliun Baht (Rp880,6 triliun) pada tahun 2018, empat kali lipat lebih besar dari capaian Indonesia yang hanya Rp192,61 triliun di periode yang sama.
Oleh karena itu, terlepas dari perkembangan sektor pariwisata yang ada, sebenarnya Pekerjaan Rumah (PR) Indonesia masih cukup banyak.
Kuncinya ada di investasi. Jika memang ingin mengungguli negara tetangga, investasi ke sektor pariwisata harus digenjot. Tidak hanya secara jumlah, investasi juga harus merata secara lokasi. Kemudian, tidak hanya untuk pembangunan hotel atau restoran, investasi di transportasi hingga infrastruktur di sekitar lokasi pariwisata juga perlu digalakkan.
Jika memang semua berjalan lancar, bukan tidak mungkin sektor pariwisata mampu menjadi "mesin baru" pertumbuhan ekonomi, dan juga mampu menjadi penyelamat nilai tukar rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD) hingga tanggal 30 Juli 2018, rupiah sudah terdepresiasi hingga 6,19%.
Capaian itu hanya lebih baik dari mata uang Rupee India yang melemah hingga 7,47%. Apabila dibandingkan dengan negara tetangga, Ringgit Malaysia (-0,27%) dan Baht Thailand (-2,21%), pelemahan rupiah memang jauh lebih dalam.
Untuk bisa menguat, pijakan bagi rupiah pun sebenarnya tidak kuat.
Mirza Adityaswara, Deputi Senior Bank Indonesia (BI), memprediksi bahwa transaksi berjalan (current account) tahun ini akan mengalami defisit sebesar US$25 miliar. Jauh lebih dalam dibandingkan tahun 2017 yang sebesar US$17,3 miliar.
![]() |
Mirza Adityaswara, Deputi Senior Bank Indonesia (BI), memprediksi bahwa transaksi berjalan (current account) tahun ini akan mengalami defisit sebesar US$25 miliar. Jauh lebih dalam dibandingkan tahun 2017 yang sebesar US$17,3 miliar.
Sebagai catatan, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Semakin dalamnya defisit transaksi berjalan disebabkan oleh peningkatan impor seiring perbaikan ekonomi domestik. Sementara kinerja ekspor agak sulit diandalkan karena harga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) yang menjadi andalan sedang dalam tren turun. Harga CPO kontrak acuan di Bursa Derivatif Malaysia memang sudah melemah sebesar 12,89% secara YTD hingga tanggal 30 Juli 2018.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mencari cara lain untuk menambal kekurangan pasokan devisa dari perdagangan. Pertanyaannya dari sektor mana? Sebelum menjawab pertanyaan itu, mari kita tengok siapa saja penyumbang terbesar devisa RI.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Pariwisata (Kemenpar), pada tahun 2016 terdapat tiga sektor utama yang menyumbangkan devisa ke dalam negeri. Sektor-sektor tersebut adalah CPO, Pariwisata, dan Minyak dan Gas (migas).
Uniknya, dari ketiga sektor utama tersebut, hanya pariwisata saja yang mampu mencatatkan pertumbuhan positif dalam setahun terakhir. Pada tahun 2016, sektor pariwisata diperkirakan menyumbang devisa negara sebesar US$13,57 miliar, atau naik 11,05% dari capaian tahun 2015.
Bandingkan dengan sumbangan devisa dari CPO dan Migas yang menurun masing-masing sebesar -2,86% dan 29,46% di periode yang sama. Bahkan, tak tanggung-tanggung, sektor pariwisata diproyeksikan menjadi penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia pada tahun 2020.
![]() |
Beda ceritanya apabila Indonesia menjual produk olahan, yang harganya berkali lipat. Pastinya juga akan menghasilkan devisa yang berlipat. Memang beberapa sektor industri pengolahan masuk ke 10 besar penyumbang devisa negara di tahun 2016. Sayangnya, jumlahnya belum signifikan.
Sebagai contoh, sektor industri pakaian jadi yang menduduki posisi ke-5 penyumbang devisa terbesar di Indonesia, hanya mampu memberikan US$6,23 miliar. Tidak sampai setengahnya dari sumbangan devisa CPO.
Industrialisasi harus menjadi motor utama dalam menggenjot devisa nasional. Namun, harus diakui bahwa memajukan industri memerlukan waktu yang tidak sedikit. Katakan saja, menggenjot investasi di sektor industri pengolahan saat ini, mungkin hasilnya baru terasa tiga tahun ke depan. Oleh karena itu, untuk menyelamatkan rupiah di jangka pendek, sektor pariwisata yang bisa menjadi harapan.
Pertanyaannya, sudah sejauh apa perkembangan pariwisata di Indonesia? Bisa dibilang cukup positif. Jumlah kunjungan wisatawan asing terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2017, jumlah kunjungan wisatawan asing meningkat 21,87% secara tahunan (year-on-year/YoY) ke angka 14,04 juta kunjungan.
Kemudian, pada periode Jan-Mei 2018 pun, jumlah kunjungan wisatawan asing juga masih naik sebesar 11,89% dibandingkan dengan periode yang sama di tahun 2017. Hal ini lantas menjelaskan pertumbuhan devisa dari sektor pariwisata yang terus positif, dibandingkan dengan sektor CPO dan Migas yang justru melambat.
![]() |
Pemerintah merencanakan penciptaan "10 Bali Baru" yang terdiri dari Tanjung Kelayang, Borobudur, Labuan Bajo, Danau Toba, Tanjung Lesung, Bromo Tengger Semeru (BTS), Wakatobi, Kepulauan Seribu, Mandalika, dan Morotai.
Kesepuluh destinasi baru ini dituangkan dalam 10 destinasi wisata prioritas di dalam rencana kerja pemerintah. Khusus untuk Mandalika, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, dan Morotai bahkan ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata.
Dengan segala pencapaian dan keseriusan pemerintah tersebut, peringkat daya saing pariwisata di Indonesia pun terkerek naik.
Berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF), Travel and Tourism Competitiveness Index (TTCI) Indonesia naik dari peringkat 70 pada tahun 2013 ke peringkat 50 tahun 2015, dan melesat ke ranking 42 pada tahun 2017.
![]() |
"Kita kan sekarang turis cuma 14 juta tahun lalu, Thailand 30 juta. Oleh karena itu, pemerintah sudah benar dorong pariwisata, dengan pengeluaran satu orang US$1.000," kata Mirza di kantornya, Jumat (27/7/2018).
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menilai bahwa pengembangan sektor pariwisata Indonesia bisa mencontoh apa yang dilakukan pemerintah Thailand. Sektor pariwisata di negara tersebut, bahkan mampu membiaya transaksi berjalan.
"Thailand itu hanya mengandalkan pariwisata saja, current account bisa surplus. Karakter kita memang sama seperti India dan Filipina, tapi Thailand bisa jadi contoh," kata Josua kepada CNBC Indonesia, Jumat (27/7/2018).
Mengutip data dari World Travel and Tourism Council, sektor pariwisata Negeri Gajah Putih menyumbang 3,23 triliun Baht (sekitar Rp1.400 triliun) bagi aktivitas ekonomi negara pada tahun 2017. Jumlah itu setara dengan 21,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Thailand.
Sementara, mengutip sumber yang sama, sektor pariwisata Indonesia hanya menyumbang Rp787,1 triliun pada tahun 2017, atau hanya sekitar 5,8% dari PDB Indonesia. Jumlah itu hanya sekitar setengahnya dari Thailand.
Kesenjangan pariwisata Thailand dan Indonesia juga hanya terlihat dari jumlah Visitor Export. Sebagai informasi, indikator Visitor Export mengukur pengeluaran turis asing untuk keperluan wisata dan bisnis di suatu negara. Ukuran ini juga mencakup pengeluaran untuk transportasi.
Tercatat, Thailand menghasilkan visitor export sebesar 2,03 triliun Baht (Rp880,6 triliun) pada tahun 2018, empat kali lipat lebih besar dari capaian Indonesia yang hanya Rp192,61 triliun di periode yang sama.
![]() |
Dengan 17.000 pulau yang dimiliki, lautan yang terhampar luas, keanekaragaman hayati yang melimpah, dan nyaris 100.000 kilometer garis pantai yang dimiliki, Indonesia sebenarnya punya potensi untuk menyalip Thailand.
Kuncinya ada di investasi. Jika memang ingin mengungguli negara tetangga, investasi ke sektor pariwisata harus digenjot. Tidak hanya secara jumlah, investasi juga harus merata secara lokasi. Kemudian, tidak hanya untuk pembangunan hotel atau restoran, investasi di transportasi hingga infrastruktur di sekitar lokasi pariwisata juga perlu digalakkan.
Jika memang semua berjalan lancar, bukan tidak mungkin sektor pariwisata mampu menjadi "mesin baru" pertumbuhan ekonomi, dan juga mampu menjadi penyelamat nilai tukar rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular