Tanpa 'Jamu' DMO, Rupiah Lesu di Kurs Acuan dan Pasar Spot
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 July 2018 10:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan melemah tipis. Situasi serupa juga terjadi di pasar spot.
Pada Selasa (31/7/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.413. Rupiah melemah 0,03% dibandingkan sehari sebelumnya.
Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:05 WIB dihargai Rp 14.414. Rupiah pun melemah tipis 0,06%.
Rupiah senasib dengan mata uang utama Asia, tidak ada yang bisa menguat di hadapan dolar AS. Juga senada dengan rupiah, pelemahan mata uang utama Benua Kuning pun relatif terbatas.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 10:10 WIB, mengutip Reuters:
Dolar AS memang sedang menguat. Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama), menguat 0,09% pada pukul 10:13 WIB.
Ada beberapa alasan penguatan dolar AS bisa bertahan sekian lama. Pertama adalah selisih suku bunga. AS bisa dibilang satu-satunya negara maju yang sudah mengimplemetasikan kebijakan moneter ketat.
Tahun ini, The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali. Sementara Uni Eropa baru akan mengurangi stimulus moneter pada September dan mengakhirinya pada Desember. Kenaikan suku bunga acuan paling cepat dieksekusi pertengahan 2019.
Jepang lebih jauh lagi. Bank Sentral Jepang (BoJ) akan mengumumkan suku bunga acuan hari ini, dan pasar memperkirakan tetap bertahan di angka -0,1%. Bahkan BoJ berencana menjadikan stimulus moneter sebagai kebijakan yang berkelanjutan (sustain) untuk mendorong permintaan domestik.
Oleh karena itu, dolar AS menjadi sangat menarik karena ditopang oleh kenaikan suku bunga. Tidak heran greenback menjadi pilihan utama pelaku pasar.
Kedua adalah repatriasi perusahaan AS di luar negeri yang begitu besar. Pada kuartal I-2018, dana repatriasi ini mencapai sekitar US$ 300 miliar (Rp 4.323,42 triliun dengan kurs sekarang). Arus devisa ini tentu membuat fundamental greenback menjadi sangat kuat.
Ketiga adalah perdagangan. Betul bahwa hawa perang dagang yang memanas membuat aliran devisa AS turun. Namun AS bukanlah negara yang menggantungkan diri kepada ekspor.
Dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) AS, ekspor hanya berkontribusi sekitar 12%. Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Dengan berbagai faktor ini, dolar AS berhasil menjadi raja mata uang. Greenback pun mampu perkasa di Asia, dan rupiah adalah salah satu korbannya.
Kemarin, rupiah masih selamat karena tertolong kabar pencabutan kewajiban pemenuhan pasokan domestik (Domestic Market Obligation/DMO) batu bara. Rupiah menjadi satu-satunya mata uang Asia yang menguat.
Namun hari ini, obat kuat itu sudah habis. Pasalnya, kebijakan DMO sendiri masih sangat samar-samar.
Pertama, kemungkinan DMO batu bara bukan dicabut, tetapi dikurangi kadarnya. Selama ini, kewajiban pemenuhan pasokan dalam negeri adalah rata-rata 25% dari total produksi. Rosan Roslani, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang ikut dalam rapat pembahasan DMO mengungkapkan bahwa ke depan bisa saja opsi yang dipilih adalah menurunkan DMO menjadi kurang dari 25%.
Kedua adalah kebijakan DMO (apapun yang dipilih) kemungkinan baru berlaku tahun depan, bukan sekarang atau dalam waktu dekat. Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman, menyebutkan kebijakan ini butuh pembahasan mendalam.
Kebijakan DMO batu bara yang masih meraba-raba membuat investor pikir-pikir untuk kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia. Jamu itu sudah habis, dan rupiah pun tidak punya pijakan kuat sehingga mudah terseret gelombang penguatan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (31/7/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.413. Rupiah melemah 0,03% dibandingkan sehari sebelumnya.
![]() |
Sementara di pasar spot, US$ 1 pada pukul 10:05 WIB dihargai Rp 14.414. Rupiah pun melemah tipis 0,06%.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 10:10 WIB, mengutip Reuters:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 111,07 | -0,01 |
Yuan China | 6,82 | -0,20 |
Won Korea Selatan | 1.118,80 | -0,10 |
Dolar Taiwan | 30,62 | -0,14 |
Dolar Hong Kong | 7,85 | 0,00 |
Riggit Malaysia | 4,06 | -0,12 |
Dolar Singapura | 1,36 | -0,12 |
Baht Thailand | 33,32 | -0,15 |
Peso Filipina | 53,19 | -0,19 |
Dolar AS memang sedang menguat. Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama), menguat 0,09% pada pukul 10:13 WIB.
Ada beberapa alasan penguatan dolar AS bisa bertahan sekian lama. Pertama adalah selisih suku bunga. AS bisa dibilang satu-satunya negara maju yang sudah mengimplemetasikan kebijakan moneter ketat.
Tahun ini, The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali. Sementara Uni Eropa baru akan mengurangi stimulus moneter pada September dan mengakhirinya pada Desember. Kenaikan suku bunga acuan paling cepat dieksekusi pertengahan 2019.
Jepang lebih jauh lagi. Bank Sentral Jepang (BoJ) akan mengumumkan suku bunga acuan hari ini, dan pasar memperkirakan tetap bertahan di angka -0,1%. Bahkan BoJ berencana menjadikan stimulus moneter sebagai kebijakan yang berkelanjutan (sustain) untuk mendorong permintaan domestik.
Oleh karena itu, dolar AS menjadi sangat menarik karena ditopang oleh kenaikan suku bunga. Tidak heran greenback menjadi pilihan utama pelaku pasar.
Kedua adalah repatriasi perusahaan AS di luar negeri yang begitu besar. Pada kuartal I-2018, dana repatriasi ini mencapai sekitar US$ 300 miliar (Rp 4.323,42 triliun dengan kurs sekarang). Arus devisa ini tentu membuat fundamental greenback menjadi sangat kuat.
Ketiga adalah perdagangan. Betul bahwa hawa perang dagang yang memanas membuat aliran devisa AS turun. Namun AS bukanlah negara yang menggantungkan diri kepada ekspor.
Dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) AS, ekspor hanya berkontribusi sekitar 12%. Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Dengan berbagai faktor ini, dolar AS berhasil menjadi raja mata uang. Greenback pun mampu perkasa di Asia, dan rupiah adalah salah satu korbannya.
Kemarin, rupiah masih selamat karena tertolong kabar pencabutan kewajiban pemenuhan pasokan domestik (Domestic Market Obligation/DMO) batu bara. Rupiah menjadi satu-satunya mata uang Asia yang menguat.
Namun hari ini, obat kuat itu sudah habis. Pasalnya, kebijakan DMO sendiri masih sangat samar-samar.
Pertama, kemungkinan DMO batu bara bukan dicabut, tetapi dikurangi kadarnya. Selama ini, kewajiban pemenuhan pasokan dalam negeri adalah rata-rata 25% dari total produksi. Rosan Roslani, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang ikut dalam rapat pembahasan DMO mengungkapkan bahwa ke depan bisa saja opsi yang dipilih adalah menurunkan DMO menjadi kurang dari 25%.
Kedua adalah kebijakan DMO (apapun yang dipilih) kemungkinan baru berlaku tahun depan, bukan sekarang atau dalam waktu dekat. Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman, menyebutkan kebijakan ini butuh pembahasan mendalam.
Kebijakan DMO batu bara yang masih meraba-raba membuat investor pikir-pikir untuk kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia. Jamu itu sudah habis, dan rupiah pun tidak punya pijakan kuat sehingga mudah terseret gelombang penguatan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular