Obat Kuat Habis, Rupiah Loyo

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 July 2018 08:54
Obat Kuat Habis, Rupiah Loyo
Foto: REUTERS/Darren Whiteside/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cenderung melemah pada perdagangan pagi ini. Tidak adanya obat kuat dari dalam negeri membuat rupiah terseret arus penguatan greenback. 

Pada Selasa (31/7/2018), US$ 1 dibanderol Rp 14.400 saat pembukaan pasar. Rupiah masih menguat 0,03% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. 

Namun tidak lama setelah pembukaan pasar, rupiah lesu. Pada pukul 08:26 WIB, US$ 1 sudah berada di Rp 14.415, rupiah melemah 0,09%. 

Rupiah terseret arus penguatan dolar AS yang terjadi di Asia. Di antara mata uang utama Asia, sejauh ini hanya yen Jepang yang mampu menguat, itupun hanya dalam rentang tipis. 

Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 08:28 WIB, mengutip Reuters: 

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang111,06+0,02
Yuan China6,81-0,01
Won Korea Selatan1.118,72-0,10
Dolar Taiwan30,59-0,07
Dolar Hong Kong7,850,00
Rupee India68,600,00
Riggit Malaysia4,06-0,12
Dolar Singapura1,36-0,07
Baht Thailand33,34-0,21
Peso Filipina53,19-0,20
 
Dolar AS memang sedang perkasa. Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang utama, menguat 0,06% pada pukul 08:31 WIB. 

Mata uang Negeri Paman Sam menguat seiring penantian investor jelang pertemuan The Federal Reserve/The Fed. Seperti biasa, investor memang cenderung datang ke pelukan greenback jelang rapat Jerome Powell dan kolega. 

Investor berharap The Fed akan mengeluarkan sinyal yang lebih tegas, lebih hawkish, mengenai arah kebijakan moneter ke depan. Pasalnya, data-data perekonomian AS terus positif. 

Teranyar, Kementerian Perdagangan AS merilis pembacaan pertama pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 yang mencapai 4,1%, terbaik sejak 2014. Oleh karena itu, pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan semakin agresif dalam menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga perekonomian AS dari ancaman overheating

Kemungkinan besar The Fed masih menahan suku bunga acuan pada pertemuan Kamis dini hari waktu Indonesia. Probabilitasnya mencapai 97% menurut CME Fedwatch.  

Namun pada September, pelaku pasar meyakini The Fed akan menaikkan suku bunga acuan. Untuk kenaikan 25 basis poin kemungkinannya 88,7% sementara kenaikan 50 basis poin kemungkinannya 2,7%. Investor memperkirakan The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan pada Desember, dengan probabilitas 63,2% untuk kenaikan 25 basis poin dan 5,3% untuk kenaikan 50 basis poin. 

Dengan begitu, investor memperkirakan ada empat kali kenaikan suku bunga acuan sepanjang 2018. Lebih tinggi ketimbangan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali. Pelaku pasar menantikan rapat The Fed pekan ini untuk mendapatkan petunjuk demi memastikan hal tersebut.

Selagi menanti, dolar AS menjadi buruan dan nilainya semakin mahal. Mata uang Asia pun tertekan. 


Kemarin, rupiah masih selamat karena tertolong kabar pencabutan kewajiban pemenuhan pasokan domestik (Domestic Market Obligation/DMO) batu bara. Rupiah menjadi satu-satunya mata uang Asia yang menguat. 

Namun hari ini, obat kuat itu sudah habis. Pasalnya, kebijakan DMO sendiri masih sangat samar-samar. 

Pertama, kemungkinan DMO batu bara bukan dicabut, tetapi dikurangi kadarnya. Selama ini, kewajiban pemenuhan pasokan dalam negeri adalah rata-rata 25% dari total produksi. Rosan Roslani, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, yang ikut dalam rapat pembahasan DMO mengungkapkan bahwa ke depan bisa saja opsi yang dipilih adalah menurunkan DMO menjadi kurang dari 25%. 

Kedua, kebijakan DMO (apapun yang dipilih) kemungkinan baru berlaku tahun depan, bukan sekarang atau dalam waktu dekat. Luhut Binsar Pandjaitan, Menko Kemaritiman, menyebutkan kebijakan ini butuh pembahasan mendalam.  

"Jadi, kita mau lihat peluang berapa besar uang yang bisa kita dapat dari sini karena kita butuh ekspor. Ini kita lagi hitung. Kalaupun jadi, paling tahun depan baru bisa karena butuh sosialisasi, aturan-aturan. Kita hitung dulu, berapa banyak dampaknya pada penerimaan negara," papar Luhut. 

Kebijakan DMO batu bara yang masih meraba-raba membuat investor pikir-pikir untuk kembali masuk ke pasar keuangan Indonesia. Obat kuat itu sudah habis, dan rupiiah pun tidak punya pijakan kuat sehingga mudah terseret gelombang penguatan dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular