
Bergerak Malu-malu, Rupiah Terlemah Ketiga di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 July 2018 12:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak agak malu-malu hingga perdagangan tengah hari ini. Investor sepertinya wait and see untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia, sehingga rupiah pun minim dinamika.
Pada Jumat (27/7/2017) puku 12:14 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.460. Rupiah melemah tipis cenderung datar yaitu 0,03%.
Saat pembukaan pasar, rupiah tidak berubah dibandingkan posisi penutupan kemarin alias stagnan. Setelah pembukaan, rupiah memang melemah tetapi dalam rentang tipis.
Sementara mata uang utama Asia cenderung menguat terhadap dolar AS. Oleh karena itu, rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam ketiga di Asia meski hanya terdepresiasi 0,03%.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 12:18 WIB, mengutip Reuters:
Dolar AS memang sedang melemah, dan itu dimanfaatkan oleh sebagian besar mata uang Benua Kuning. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang utama) melemah tipis 0,01%.
Greenback agak tertekan setelah The Federal Reserve/The Fed merilis proyeksi terbarunya untuk pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. Untuk periode kuartal II-2018, The Fed memperkirakan ekonomi AS tumbuh 3,8% dalam pembacaan 26 Juli. Turun dibandingkan proyeksi sebelumnya yang dirilis 18 Juli yaitu 4,5%. Juga lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 4,1%.
Padahal investor optimistis menantikan rilis data pertumbuhan ekonomi AS yang akan keluar malam ini waktu Indonesia. Namun suasana berubah muram dengan proyeksi baru dari The Fed. Ternyata kemungkinan ekonomi Negeri Adidaya tidak tumbuh sesuai harapan.
Perkembangan ini membuat dolar AS mendapat tekanan jual. Investor pun mengalihkan dananya ke Asia, yang membuat mata uang kawasan cenderung menguat.
Situasi regional yang kondusif membuat pelemahan rupiah lebih didorong oleh sentimen domestik. Di pasar saham, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 62,1 miliar pada penutupan perdagangan Sesi I.
Sementara di pasar obligasi, tekanan jual juga terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan. Pada pukul 12:31 WIB, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 1,9 basis poin menjadi 7,752%. Kenaikan yield menujukkan harga sedang turun, pertanda sedang ada aksi jual.
Namun, aksi jual di pasar saham maupun obligasi sepertinya tipis saja. Situasi ini menunjukkan sebenarnya pasar sedang kurang dinamis, kurang semarak.
Penyebabnya bisa jadi investor tengah menantikan hasil dari kebijakan penyelematan rupiah baik oleh Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah. BI sudah berupaya dengan menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin dalam 3 bulan untuk memancing arus modal asing, yang bisa menjadi pijakan penguatan rupiah.
Sementara pemerintah mewacanakan untuk menunda proyek-proyek infrastruktur non-prioritas untuk mengurangi beban impor. Tingginya impor adalah salah satu penyebab utama depresiasi rupiah, karena banyak devisa yang 'terbang' ke luar negeri.
Penundaan ini bisa saja berdampak negatif terhadap saham-saham infrastruktur dan konstruksi serta industri-industri pendukungnya seperti baja atau semen. Permintaan akan berkurang sehingga laba bisa tertekan. Nampaknya investor ingin memantau dampak ini terlebih dulu, apakah bernar-benar terjadi atau hanya persepsi.
Perilaku investor yang masih wait and see ini kemudian membuat rupiah juga bergerak malu-malu. Menguat tidak, melemah pun sangat tipis cenderung stagnan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Jumat (27/7/2017) puku 12:14 WIB, US$ 1 di pasar spot dihargai Rp 14.460. Rupiah melemah tipis cenderung datar yaitu 0,03%.
Saat pembukaan pasar, rupiah tidak berubah dibandingkan posisi penutupan kemarin alias stagnan. Setelah pembukaan, rupiah memang melemah tetapi dalam rentang tipis.
![]() |
Sementara mata uang utama Asia cenderung menguat terhadap dolar AS. Oleh karena itu, rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam ketiga di Asia meski hanya terdepresiasi 0,03%.
Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 12:18 WIB, mengutip Reuters:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 111,10 | +0,11 |
Yuan China | 6,80 | -0,23 |
Won Korea Selatan | 1.119,30 | +0,36 |
Dolar Taiwan | 30,58 | +0,03 |
Dolar Hong Kong | 7,85 | -0,01 |
Rupee India | 68,59 | +0,09 |
Riggit Malaysia | 4,07 | -0,20 |
Dolar Singapura | 1,36 | +0,05 |
Baht Thailand | 33,41 | +0,03 |
Peso Filipina | 53,31 | +0,15 |
Dolar AS memang sedang melemah, dan itu dimanfaatkan oleh sebagian besar mata uang Benua Kuning. Dollar Index (yang mengukur posisi greenback terhadap enam mata uang utama) melemah tipis 0,01%.
Greenback agak tertekan setelah The Federal Reserve/The Fed merilis proyeksi terbarunya untuk pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam. Untuk periode kuartal II-2018, The Fed memperkirakan ekonomi AS tumbuh 3,8% dalam pembacaan 26 Juli. Turun dibandingkan proyeksi sebelumnya yang dirilis 18 Juli yaitu 4,5%. Juga lebih rendah dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun Reuters yaitu 4,1%.
Padahal investor optimistis menantikan rilis data pertumbuhan ekonomi AS yang akan keluar malam ini waktu Indonesia. Namun suasana berubah muram dengan proyeksi baru dari The Fed. Ternyata kemungkinan ekonomi Negeri Adidaya tidak tumbuh sesuai harapan.
Perkembangan ini membuat dolar AS mendapat tekanan jual. Investor pun mengalihkan dananya ke Asia, yang membuat mata uang kawasan cenderung menguat.
Situasi regional yang kondusif membuat pelemahan rupiah lebih didorong oleh sentimen domestik. Di pasar saham, investor asing mencatatkan jual bersih Rp 62,1 miliar pada penutupan perdagangan Sesi I.
Sementara di pasar obligasi, tekanan jual juga terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan. Pada pukul 12:31 WIB, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun naik 1,9 basis poin menjadi 7,752%. Kenaikan yield menujukkan harga sedang turun, pertanda sedang ada aksi jual.
Namun, aksi jual di pasar saham maupun obligasi sepertinya tipis saja. Situasi ini menunjukkan sebenarnya pasar sedang kurang dinamis, kurang semarak.
Penyebabnya bisa jadi investor tengah menantikan hasil dari kebijakan penyelematan rupiah baik oleh Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah. BI sudah berupaya dengan menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin dalam 3 bulan untuk memancing arus modal asing, yang bisa menjadi pijakan penguatan rupiah.
Sementara pemerintah mewacanakan untuk menunda proyek-proyek infrastruktur non-prioritas untuk mengurangi beban impor. Tingginya impor adalah salah satu penyebab utama depresiasi rupiah, karena banyak devisa yang 'terbang' ke luar negeri.
Penundaan ini bisa saja berdampak negatif terhadap saham-saham infrastruktur dan konstruksi serta industri-industri pendukungnya seperti baja atau semen. Permintaan akan berkurang sehingga laba bisa tertekan. Nampaknya investor ingin memantau dampak ini terlebih dulu, apakah bernar-benar terjadi atau hanya persepsi.
Perilaku investor yang masih wait and see ini kemudian membuat rupiah juga bergerak malu-malu. Menguat tidak, melemah pun sangat tipis cenderung stagnan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular