Sri Mulyani Sebut Rupiah Melemah Penerimaan Naik, Benarkah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 July 2018 10:33
Sri Mulyani Sebut Rupiah Melemah Penerimaan Naik, Benarkah?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan pelemahan rupiah bisa mendatangkan tambahan penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Namun, bukan berarti pemerintah bisa nyaman dengan pelemahan rupiah.

Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 6,6% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang mengalami depresiasi lebih dalam ketimbang rupiah.

Reuters

Dalam APBN 2018, rupiah mematok asumsi rata-rata nilai tukar di Rp 13.400/US$. Sejak awal tahun hingga hari ini, rata-rata nilai tukar adalah Rp 13.844,51/US$.

Dolar AS vs rupiah (Reuters)

"Setiap (rupiah) melemah Rp 100/US$, maka akan ada penerimaan Rp 1,7 triliun," kata Sri Mulyani di Gedung DPR RI, kemarin.

Sri Mulyani benar. Mengutip dokumen Nota Keuangan dan APBN 2018, memang ada surplus anggaran sebesar itu setiap rupiah melemah Rp 100/US$. Berikut rincian singkatnya:

Kemenkeu
Surplus anggaran ini disebabkan oleh postur belanja yang sudah berubah. Sebelum 2015, APBN terbeban oleh subsidi, terutama untuk Bahan Bakar Minyak (BBM). Pada puncaknya, subsidi untuk barang ini bisa mencapai lebih dari Rp 300 triliun.

Dengan posisi Indonesia sebagai net importir minyak dan produk-produk turunannya, depresiasi rupiah tentu menjadi masalah buat APBN. Pelemahan rupiah membuat biaya impor minyak membengkak sementara harga BBM tidak boleh sembarangan naik. Selisih yang makin lebar antara biaya pengadaan BBM dan harga jualnya membuat APBN ‘berdarah’.

Akibatnya, depresiasi rupiah menjadi petaka buat APBN. Misalnya dalam APBN 2014, setiap depresiasi rupiah Rp 100/US$ justru membuat defisit anggaran membengkak Rp 0,95-1,23 triliun.

Oleh karena itu, kebijakan reformasi subsidi yang dimulai 2015 sebaiknya perlu dipertahankan atau bahkan diperkuat. Sebab, kebijakan ini terbukti mampu membuat APBN lebih sehat.

Mulai 2015, pemerintah menetapkan harga BBM jenis Premium sesuai harga pasar yang ditentukan setiap 3 bulan. Sementara subsidi solar dibuat tetap Rp 500/liter.

Namun, kini ada tendensi reformasi ini berjalan mundur. Pemerintah kembali menegaskan, Premium harus tersedia dan harganya tidak bisa naik begitu saja. Kemudian subsidi solar dinaikkan menjadi Rp 2.000/liter.

Kebijakan ini membuat beban subsidi seakan bangkit dari kubur. Memang tidak akan tercatat langsung di buku APBN, karena beban ini ditanggung oleh Pertamina. Namun kemudian Pertamina akan menjadikannya sebagai piutang kepada pemerintah yang akan ditagih pada tahun fiskal berikutnya setelah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Utang subsidi pemerintah ke Pertamina bisa membengkak saat rupiah melemah, dan ini sudah tercatat dalam APBN. Menjadi beban bagi pemerintah pada tahun fiskal selanjutnya.

Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa berleha-leha dengan depresiasi rupiah. Dampaknya memang tidak langsung, tetapi beban itu tetap ada dan harus ditanggung pemerintah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji) Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular