Dolar AS Perkasa Lagi, Gara-gara Perang Mata Uang?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 July 2018 08:39
Dolar AS Perkasa Lagi, Gara-gara Perang Mata Uang?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melanjutkan pelemahan yang terjadi sejak penutupan kemarin. Lagi-lagi rupiah dan mata uang Asia terseret arus penguatan greenback yang terjadi secara meluas. 

Pada Selasa (24/7/2018), US$ 1 saat pembukaan pasar spot berada di Rp 14.505. Rupiah melemah 0,14 % dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan, rupiah kian melemah. Pada pukul 08:27 WIB, rupiah melemah 0,28% dan dolar AS dibanderol Rp 14.525.

Kemarin, rupiah sebenarnya hampir saja ditutup menguat. Namun keperkasaan dolar AS jelang akhir perdagangan membuat rupiah terpeleset dan melemah 0,07%. 

Pagi ini, kegagahan greenback berlanjut dan memakan korban di Asia. Yuan China menjadi mata uang yang melemah paling dalam. Namun pelemahan mata uang ini agak mencurigakan, karena Bank Sentral China (PBoC) memang memasang target nilai tukar di level tertentu. Kecurigaan timbul karena China dinilai sengaja melemahkan mata uangnya agar ekspor tetap bisa bersaing di pasar global.

Untuk hari ini, PBoC memasang titik tengah nilai tukar yuan di CNY 6,7891/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 11 Juli 2017, lebih dari setahun lalu. PBoC mengizinkan yuan melemah atau menguat maksimal 2% dari titik tengah tersebut. 

Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 08:17 WIB, mengutip Reuters: 

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang111,12+0,19
Yuan China6,79-0,40
Won Korea Selatan1.136,30-0,28
Dolar Taiwan30,68-0,21
Dolar Hong Kong7,85+0,02
Rupee India68,84-0,16
Dolar Singapura1,37-0,10
Baht Thailand33,48-0,21
Peso Filipina53,54-0,24
 

Penguatan dolar AS disebabkan oleh kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Negeri Adidaya. Pada pukul 08:18 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun berada di 2,9615%, naik tipis 3 basis poin dibandingkan penutupan kemarin. 

Yield obligasi berbanding lurus dengan nilai tukar dolar AS. Kala yield naik, maka dolar AS cenderung menguat karena kenaikan yield pada akhirnya akan memancing investor untuk masuk ke pasar obligasi karena tertarik dengan imbalan yang lebih tinggi. 

Kenaikan yield obligasi AS didorong oleh pernyataan The Federal Reserve/The Fed yang seolah tidak mengindahkan kritik Presiden Trump. The Fed kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi sampai akhir tahun, walau Trump mencak-mencak karena kenaikan suku bunga dinilai menghambat pemulihan ekonomi. 

Sebelumnya, Trump mengkritik The Fed karena terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga yang bisa menghambat pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam. Selain itu, kenaikan suku bunga acuan membuat dolar AS menguat saat mata uang negara-negara mitra dagang AS (terutama China) melemah. Ini membuat ekspor AS kurang kompetitif dan produk impor semakin membanjir. 

"China, Uni Eropa, dan lainnya telah memanipulasi mata uang mereka dan suku bunga ditekan serendah mungkin. Sementara AS menaikkan suku bunga dan dolar AS semakin kuat, menyebabkan kita tidak kompetitif. Seperti biasa, bukan sebuah kesetaraan (level playing field)," cuit Trump melalui Twitter. 

Namun The Fed cukup tenang menghadapi serangan Trump. Bahkan para pejabat The Fed dengan tegas menolak segala bentuk intervensi politik dalam kebijakan moneter. 

"Kami tidak memasukkan faktor politik dalam pertimbangan (kebijakan)," tegas Jerome Powell, Gubernur The Fed, dalam sebuah acara radio, dikutip dari Reuters. 

"Orang-orang boleh berkomentar, termasuk Bapak Presiden dan para politisi lainnya. Namun keputusan dan kebijakan terbaik ditentukan oleh Komite," kata James Bullard, Presiden The Fed St Louis. 

Sikap tegas The Fed menjadi amunisi yang ampuh bagi greenback. Hasilnya, dolar AS menjadi perkasa di Asia dan rupiah menjadi salah satu korbannya.

Selain itu, penguatan dolar AS menjadi nampak mencolok karena yuan melemah cukup dalam. Yuan memang salah satu dari enam mata uang utama dunia yang membentuk Dollar Index. Kala satu dari enam mata uang utama ini melemah cukup dalam, maka dolar AS menjadi terlihat perkasa.

Seperti yang sudah disebut sebelumnya, PBoC memang mematok nilai tukar yuan yang lemah. Kebijakan ini memicu tudingan bahwa China memanipulasi mata uang mereka. Apa yang dilakukan China bisa menjadi perseden bagi negara lain untuk menempuh hal serupa atas nama menjaga kepentingan nasional, yaitu meningkatkan ekspor. Berlomba-lomba melemahkan mata uang ini disebut dengan perang mata uang alias currency war.

AS sudah melayangkan tudingan itu. Dalam wawancara dengan Reuters, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin menyatakan Washington akan merilis laporan negara-negara yang dianggap sebagai manipulator kurs pada 15 Oktober mendatang. Nama China disebut menjadi salah satunya.

Namun Beijing tidak terima dengan tuduhan itu. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan bahwa nilai tukar yuan murni dibentuk oleh panawaran dan permintaan (supply and demand).

"China tidak punya niat untuk menggunakan pelemahan mata uang untuk mendorong ekspor. Kami berharap AS tetap tenang dan rasional," ujar Geng, mengutip Reuters. 


TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular