
Dolar AS Sudah Rp 14.500, Pertumbuhan Ekonomi Harus Mengalah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 July 2018 09:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin melemah. Agar rupiah tidak terus melemah, Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit. Pilih stabilitas atau pertumbuhan ekonomi?
Pada Jumat (20/7/2018) pukul 09:00 WIB, US$ 1 di pasar spot ditransaksikan di Rp 14.515. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin.
Sejak awal tahun, mata uang Tanah Air sudah melemah 5,8%. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang terdepresiasi lebih dalam ketimbang rupiah.
Dalam jangka pendek, upaya stabilisasi atau penguatan nilai tukar rupiah bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah mengundang aliran modal di sektor keuangan alias hot money.
Investasi portofolio ini memang tidak bisa diharapkan dalam jangka panjang. Dana-dana ini bisa datang dan pergi sesuka hati, yang kemudian menimbulkan risiko kerentanan di pasar.
Namun tidak ada cara lain, rupiah memang sangat membutuhkan pasokan devisa dari sektor in. Pasalnya, kontribusi sektor perdagangan sedang tidak bisa diharapkan.
Sepanjang Januari-Juni 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 1,02 miliar. Sangat jauh dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang bisa membukukan surplus US$ 7,67 miliar.
Artinya, sektor perdagangan justru menjadi beban bagi rupiah, bukan memberikan sumbangsih. Di sektor ini, devisa lebih banyak yang melayang ke luar negeri ketimbang yang masuk. Kebutuhan devisa untuk impor ini menjadi pemberat langkah rupiah.
Untuk memancing arus modal di sektor keuangan, cara yang lumayan ampuh adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Inilah yang mendasari Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sampai 100 basis poin dalam 3 bulan terakhir. Agar pasar keuangan Indonesia lebih atraktif dan berdaya saing sehingga investor (terutama asing) berkenan untuk datang.
Namun, menaikkan suku bunga acuan bukan tanpa konsekuensi. Ketika suku bunga acuan naik, maka biaya dana di perbankan pun ikut terkerek ke atas.
Tanda-tanda ke sana sudah mulai terlihat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25% untuk rupiah, 1,5% untuk valas, dan 8,75% untuk rupiah di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kenaikan ini ditempuh sebagai respons atas kenaikan suku bunga acuan.
Saat suku bunga simpanan naik, maka akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit. Dengan suku bunga yang sekarang saja pertumbuhan kredit masih ngos-ngosan.
Pada Mei 2018, BI menyebut pertumbuhan kredit berada di 10,3% year-on-year (YoY). Baru mencapai batas bawah target BI yaitu 10-12% untuk 2018.
Ketika kredit lesu, pertumbuhan ekonomi pun terancam. Dunia usaha akan berpikir ulang untuk mengajukan kredit karena biaya bunga yang tinggi. Pembayaran bunga pinjaman yang sudah diambil juga bisa naik sehingga membuat beban usaha meningkat. Hasilnya adalah ekspansi sulit terwujud. Pertumbuhan investasi, yang menyumbang sekitar 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dipertaruhkan.
Tidak hanya dunia usaha, masyarakat pun akan gentar mengambil kredit baru. Bagi yang sudah punya cicilan, pembayarannya akan naik karena bunga bergerak ke atas. Akibatnya, konsumsi rumah tangga akan tertahan. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dari pembentukan PDB.
BI menyebut kenaikan suku bunga acuan sebagai jamu pahit. Kalau melihat potensi dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, rasanya memang pahit. Namun jamu ini mau tidak mau dibutuhkan agar rupiah bisa kembali perkasa.
Sementara obat kedua adalah suka tidak suka impor harus dikurangi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tingginya impor menyebabkan tekanan terhadap rupiah karena devisa yang melayang meninggalkan Indonesia.
Namun, mengurangi impor juga berpotensi mengerem pertumbuhan ekonomi. Sebab dalam kondisi Indonesia yang sekarang, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi juga membutuhkan impor yang lebih tinggi. Pasalnya, industri dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang meningkat, terutama bahan baku dan barang modal.
Namun lagi-lagi demi rupiah, sepertinya kecanduan terhadap impor juga harus ditekan. Walau ini akan berdampak kepada penurunan pasokan yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Stabilitas rupiah sudah diputuskan menjadi prioritas dalam jangka pendek, baik oleh BI maupun pemerintah. Demi menyelamatkan rupiah, suka tidak suka pertumbuhan ekonomi memang perlu sedikit direm.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2018 berada di kisaran 5,2%, di bawah asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yaitu 5,4%. Sementara BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di batas bawah kisaran target 5,1-5,5%.
Demi rupiah, semua harus mengalah...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Jumat (20/7/2018) pukul 09:00 WIB, US$ 1 di pasar spot ditransaksikan di Rp 14.515. Rupiah melemah 0,31% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin.
Sejak awal tahun, mata uang Tanah Air sudah melemah 5,8%. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang terdepresiasi lebih dalam ketimbang rupiah.
![]() |
Dalam jangka pendek, upaya stabilisasi atau penguatan nilai tukar rupiah bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama adalah mengundang aliran modal di sektor keuangan alias hot money.
Investasi portofolio ini memang tidak bisa diharapkan dalam jangka panjang. Dana-dana ini bisa datang dan pergi sesuka hati, yang kemudian menimbulkan risiko kerentanan di pasar.
Namun tidak ada cara lain, rupiah memang sangat membutuhkan pasokan devisa dari sektor in. Pasalnya, kontribusi sektor perdagangan sedang tidak bisa diharapkan.
Sepanjang Januari-Juni 2018, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia defisit US$ 1,02 miliar. Sangat jauh dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang bisa membukukan surplus US$ 7,67 miliar.
Artinya, sektor perdagangan justru menjadi beban bagi rupiah, bukan memberikan sumbangsih. Di sektor ini, devisa lebih banyak yang melayang ke luar negeri ketimbang yang masuk. Kebutuhan devisa untuk impor ini menjadi pemberat langkah rupiah.
Untuk memancing arus modal di sektor keuangan, cara yang lumayan ampuh adalah dengan menaikkan suku bunga acuan. Inilah yang mendasari Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan sampai 100 basis poin dalam 3 bulan terakhir. Agar pasar keuangan Indonesia lebih atraktif dan berdaya saing sehingga investor (terutama asing) berkenan untuk datang.
Namun, menaikkan suku bunga acuan bukan tanpa konsekuensi. Ketika suku bunga acuan naik, maka biaya dana di perbankan pun ikut terkerek ke atas.
Tanda-tanda ke sana sudah mulai terlihat. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menaikkan suku bunga penjaminan sebesar 25 basis poin menjadi 6,25% untuk rupiah, 1,5% untuk valas, dan 8,75% untuk rupiah di Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kenaikan ini ditempuh sebagai respons atas kenaikan suku bunga acuan.
Saat suku bunga simpanan naik, maka akan diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit. Dengan suku bunga yang sekarang saja pertumbuhan kredit masih ngos-ngosan.
Pada Mei 2018, BI menyebut pertumbuhan kredit berada di 10,3% year-on-year (YoY). Baru mencapai batas bawah target BI yaitu 10-12% untuk 2018.
Ketika kredit lesu, pertumbuhan ekonomi pun terancam. Dunia usaha akan berpikir ulang untuk mengajukan kredit karena biaya bunga yang tinggi. Pembayaran bunga pinjaman yang sudah diambil juga bisa naik sehingga membuat beban usaha meningkat. Hasilnya adalah ekspansi sulit terwujud. Pertumbuhan investasi, yang menyumbang sekitar 30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dipertaruhkan.
Tidak hanya dunia usaha, masyarakat pun akan gentar mengambil kredit baru. Bagi yang sudah punya cicilan, pembayarannya akan naik karena bunga bergerak ke atas. Akibatnya, konsumsi rumah tangga akan tertahan. Padahal konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% dari pembentukan PDB.
BI menyebut kenaikan suku bunga acuan sebagai jamu pahit. Kalau melihat potensi dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, rasanya memang pahit. Namun jamu ini mau tidak mau dibutuhkan agar rupiah bisa kembali perkasa.
Sementara obat kedua adalah suka tidak suka impor harus dikurangi. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, tingginya impor menyebabkan tekanan terhadap rupiah karena devisa yang melayang meninggalkan Indonesia.
Namun, mengurangi impor juga berpotensi mengerem pertumbuhan ekonomi. Sebab dalam kondisi Indonesia yang sekarang, pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi juga membutuhkan impor yang lebih tinggi. Pasalnya, industri dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan yang meningkat, terutama bahan baku dan barang modal.
Namun lagi-lagi demi rupiah, sepertinya kecanduan terhadap impor juga harus ditekan. Walau ini akan berdampak kepada penurunan pasokan yang menghambat laju pertumbuhan ekonomi.
Stabilitas rupiah sudah diputuskan menjadi prioritas dalam jangka pendek, baik oleh BI maupun pemerintah. Demi menyelamatkan rupiah, suka tidak suka pertumbuhan ekonomi memang perlu sedikit direm.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2018 berada di kisaran 5,2%, di bawah asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yaitu 5,4%. Sementara BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di batas bawah kisaran target 5,1-5,5%.
Demi rupiah, semua harus mengalah...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular