
Suku Bunga Acuan Tetap, Rupiah Variatif di Eropa dan Asia
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
19 July 2018 17:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah cukup dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS), merespon pengumuman suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Sementara itu, rupiah masih bergerak variatif terhadap sejumlah mata uang Asia dan Eropa, hingga sore ini.
Pada hari Kamis (19/7/2018), rupiah ditutup melemah 0,49% terhadap mata uang Negeri Paman Sam ke Rp 14.470/US$. Berikut perkembangan nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang lainnya pada pukul 16:58 WIB, mengutip data Reuters:
(RHG/RHG) Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya
Pada hari Kamis (19/7/2018), rupiah ditutup melemah 0,49% terhadap mata uang Negeri Paman Sam ke Rp 14.470/US$. Berikut perkembangan nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang lainnya pada pukul 16:58 WIB, mengutip data Reuters:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 128,03 | - 0,37 |
Yuan China | 2.134,03 | + 0,36 |
Won Korsel | 12,7 | + 0,16 |
Dolar Taiwan | 470,95 | - 0,14 |
Rupee India | 209,8 | + 0,01 |
Dolar Singapura | 10.551,26 | - 0,09 |
Ringgit Malaysia | 3.550 | - 0,28 |
Peso Filipina | 269,77 | - 0,3 |
Euro | 16.793,78 | - 0,27 |
Poundsterling Inggris | 18.805,21 | + 0,08 |
Dolar AS memang sedang perkasa pada perdagangan hari ini. Dalam paparannya di depan Kongres AS, Gubernur The Federal Reserve/The Fed Jerome Powell mengulangi apa yang disampaikan di hadapan Senat. Meski minim kejutan, Powell terus menegaskan perekonomian AS akan terus tumbuh sampai beberapa tahun ke depan. Oleh karena itu, kenaikan suku bunga acuan secara bertahap masih menjadi pilihan kebijakan.
Pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi, atau empat kali sepanjang 2018. Lebih banyak ketimbang perkiraan awal yaitu tiga kali. Akibatnya, dolar AS melaju kencang. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di aset-aset berbasis dolar AS menguntungkan karena mendapat imbal hasil lebih tinggi.
Di hadapan enam mata uang utama yang ditunjukkan dengan Dollar Index, terjadi kenaikan sebesar 0,37% pada pukul 16:56 WIB. Hal ini kemudian mampu menekan pergerakan mata uang di Asia, termasuk rupiah.
Selain itu, dari dalam negeri, rupiah nampaknya terbebani oleh keputusan BI untuk menahan suku bunga acuan di angka 5,25%. Rupiah sebenarnya dibuka stagnan pada perdagangan hari ini. Seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah. Namun pergerakan rupiah terjadi dalam rentang tipis, terlihat bahwa investor cenderung hati-hati. Nampaknya investor mewaspadai pengumuman suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate, sehingga memasang mode wait and see.
Setelah momen yang ditunggu-tunggu itu tiba, depresiasi rupiah justru semakin dalam. Kemungkinan pelaku pasar kurang mengapresiasi keputusan BI yang mempertahankan suku bunga acuan.
Pasar sepertinya berharap BI lebih menunjukkan sinyal yang agresif. Pasalnya, The Fed dalam 2 hari hari terakhir terus memberi sinyal kebijakan yang cenderung hawkish.
Akibatnya, rupiah pun melemah di sejumlah besar mata uang di Asia, dari mulai yen Jepang, dolar Taiwan, dolar Singapura, peso Filipina, hingga mata uang tetangga ringgit Malaysia.
Sisi positifnya, mata uang garuda masih mampu menguat terhadap mata uang kawasan lainnya, misalnya Yuan China. Mata uang di negara berpenduduk terbanyak di dunia ini memang menjadi mata uang Benua Kuning yang melemah paling dalam hari ini. Sentimen perang dagang nampaknya masih menghantui pergerakan Yuan China.
Seperti diketahui, AS tengah mengkaji kemungkinan penambahan bea masuk sebesar 10% terhadap produk-produk impor asal Negeri Tirai Bambu sebesar US$ 200 miliar. Saat ini, sebenarnya proses negosiasi kedua negara masih terus berjalan, namun nampaknya masih menemui jalan buntu.
Dari perkembangan teranyar, Larry Kudlow, penasihat ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menghambat kemajuan negosiasi perdagangan antara AS-China. Padahal, bawahan Xi, termasuk penasihat ekonomi senior Liu He, sudah sepakat dengan AS. Xi diklaim telah menolak untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan transfer teknologi China, dan kebijakan perdagangan lainnya.
"Sejauh yang kita ketahui, Presiden Xi, saat ini, tidak ingin melakukan kesepakatan," kata Kudlow saat menghadiri konferensi Delivering Alpha, seperti dikutip dari Reuters.
Faktor lain yang mendorong pelemahan Yuan China adalah kebijakan bank sentral China, People's Bank of China (PBoC) yang sengaja melemahnya kurs tengah mata uangnya. Pada hari ini, PBoC menetapkan kurs tengah di CNY 6.7066 atau melemah 0,22% dibandingkan kemarin.
Dari data ekonomi, pertumbuhan Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment/FDI) di China hanya sebesar 1,1% pada bulan Juni 2018. Angka tersebut turun 20 basis poin dibandingkan pada bulan Mei 2018. Sentimen seretnya aliran modal asing ke Negeri Panda akhirnya sukses memperparah kejatuhan Yuan China.
Beralih ke Benua Eropa, rupiah juga tidak berdaya terhadap euro. Penyebabnya adalah mulai terciumnya aura perdamaian antara AS dan Uni Eropa di sektor perdagangan. Pekan depan, para pemimpin Uni Eropa dijadwalkan bertandang ke Washington untuk menyelesaikan kesepakatan terkait ancaman bea masuk mobil Uni Eropa sebesar 25%.
"Mereka (pemimpin Eropa) akan datang pada 25 Juli untuk bernegosiasi dengan kita. Kita nyatakan apabila tidak ada negosiasi yang adil, maka kita akan mengambil retribusi besar yang tidak ingin kita lakukan, tapi kita punya kekuatan besar untuk itu," ujar Trump pada wartawan di Gedung Putih pada Rabu (18/07/2018), seperti dilansir Reuters.
Sinyal aura perdamaian antara AS-Uni Eropa ini lantas menjadi sentimen positif bagi prospek perekonomian Uni Eropa dan juga mendorong para investor global untuk mengoleksi mata uang kawasan tersebut.
Di sisi lain, sentimen penguatan euro juga datang dari rilis data terbaru inflasi Juni 2018. Eurostat mengeluarkan rilis data inflasi per Juni 2018 yang tumbuh 2%. Angka tersebut telah mencapai target inflasi yang ditetapkan bank sentral Eropa, European Central Bank (ECB).
Sebelumnya, ECB memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga acuan, setidaknya hingga 2019. Namun, dengan kondisi inflasi yang telah mencapai target, terbuka peluang ECB merevisi keputusan tersebut.
Sebaliknya, rupiah masih mampu menguat terhadap mata uang poundsterling Inggris. Mata uang Negeri Ratu Elizabeth memang sedang mendapatkan tekanan dari ingkat inflasi tahunan Inggris di bulan Juni yang berada di posisi 2,4%, atau merupakan level terendah dalam 15 bulan terakhir. Data itu pun menurunkan prospek kenaikan suku bunga Inggris bulan depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Di hadapan enam mata uang utama yang ditunjukkan dengan Dollar Index, terjadi kenaikan sebesar 0,37% pada pukul 16:56 WIB. Hal ini kemudian mampu menekan pergerakan mata uang di Asia, termasuk rupiah.
Selain itu, dari dalam negeri, rupiah nampaknya terbebani oleh keputusan BI untuk menahan suku bunga acuan di angka 5,25%. Rupiah sebenarnya dibuka stagnan pada perdagangan hari ini. Seiring perjalanan pasar, rupiah terus melemah. Namun pergerakan rupiah terjadi dalam rentang tipis, terlihat bahwa investor cenderung hati-hati. Nampaknya investor mewaspadai pengumuman suku bunga acuan BI 7 day reverse repo rate, sehingga memasang mode wait and see.
Setelah momen yang ditunggu-tunggu itu tiba, depresiasi rupiah justru semakin dalam. Kemungkinan pelaku pasar kurang mengapresiasi keputusan BI yang mempertahankan suku bunga acuan.
Pasar sepertinya berharap BI lebih menunjukkan sinyal yang agresif. Pasalnya, The Fed dalam 2 hari hari terakhir terus memberi sinyal kebijakan yang cenderung hawkish.
Akibatnya, rupiah pun melemah di sejumlah besar mata uang di Asia, dari mulai yen Jepang, dolar Taiwan, dolar Singapura, peso Filipina, hingga mata uang tetangga ringgit Malaysia.
Sisi positifnya, mata uang garuda masih mampu menguat terhadap mata uang kawasan lainnya, misalnya Yuan China. Mata uang di negara berpenduduk terbanyak di dunia ini memang menjadi mata uang Benua Kuning yang melemah paling dalam hari ini. Sentimen perang dagang nampaknya masih menghantui pergerakan Yuan China.
Seperti diketahui, AS tengah mengkaji kemungkinan penambahan bea masuk sebesar 10% terhadap produk-produk impor asal Negeri Tirai Bambu sebesar US$ 200 miliar. Saat ini, sebenarnya proses negosiasi kedua negara masih terus berjalan, namun nampaknya masih menemui jalan buntu.
Dari perkembangan teranyar, Larry Kudlow, penasihat ekonomi Gedung Putih, menyatakan bahwa Presiden China Xi Jinping telah menghambat kemajuan negosiasi perdagangan antara AS-China. Padahal, bawahan Xi, termasuk penasihat ekonomi senior Liu He, sudah sepakat dengan AS. Xi diklaim telah menolak untuk melakukan perubahan terhadap kebijakan transfer teknologi China, dan kebijakan perdagangan lainnya.
"Sejauh yang kita ketahui, Presiden Xi, saat ini, tidak ingin melakukan kesepakatan," kata Kudlow saat menghadiri konferensi Delivering Alpha, seperti dikutip dari Reuters.
Faktor lain yang mendorong pelemahan Yuan China adalah kebijakan bank sentral China, People's Bank of China (PBoC) yang sengaja melemahnya kurs tengah mata uangnya. Pada hari ini, PBoC menetapkan kurs tengah di CNY 6.7066 atau melemah 0,22% dibandingkan kemarin.
Dari data ekonomi, pertumbuhan Penanaman Modal Asing (Foreign Direct Investment/FDI) di China hanya sebesar 1,1% pada bulan Juni 2018. Angka tersebut turun 20 basis poin dibandingkan pada bulan Mei 2018. Sentimen seretnya aliran modal asing ke Negeri Panda akhirnya sukses memperparah kejatuhan Yuan China.
Beralih ke Benua Eropa, rupiah juga tidak berdaya terhadap euro. Penyebabnya adalah mulai terciumnya aura perdamaian antara AS dan Uni Eropa di sektor perdagangan. Pekan depan, para pemimpin Uni Eropa dijadwalkan bertandang ke Washington untuk menyelesaikan kesepakatan terkait ancaman bea masuk mobil Uni Eropa sebesar 25%.
"Mereka (pemimpin Eropa) akan datang pada 25 Juli untuk bernegosiasi dengan kita. Kita nyatakan apabila tidak ada negosiasi yang adil, maka kita akan mengambil retribusi besar yang tidak ingin kita lakukan, tapi kita punya kekuatan besar untuk itu," ujar Trump pada wartawan di Gedung Putih pada Rabu (18/07/2018), seperti dilansir Reuters.
Sinyal aura perdamaian antara AS-Uni Eropa ini lantas menjadi sentimen positif bagi prospek perekonomian Uni Eropa dan juga mendorong para investor global untuk mengoleksi mata uang kawasan tersebut.
Di sisi lain, sentimen penguatan euro juga datang dari rilis data terbaru inflasi Juni 2018. Eurostat mengeluarkan rilis data inflasi per Juni 2018 yang tumbuh 2%. Angka tersebut telah mencapai target inflasi yang ditetapkan bank sentral Eropa, European Central Bank (ECB).
Sebelumnya, ECB memutuskan untuk tidak menaikkan suku bunga acuan, setidaknya hingga 2019. Namun, dengan kondisi inflasi yang telah mencapai target, terbuka peluang ECB merevisi keputusan tersebut.
Sebaliknya, rupiah masih mampu menguat terhadap mata uang poundsterling Inggris. Mata uang Negeri Ratu Elizabeth memang sedang mendapatkan tekanan dari ingkat inflasi tahunan Inggris di bulan Juni yang berada di posisi 2,4%, atau merupakan level terendah dalam 15 bulan terakhir. Data itu pun menurunkan prospek kenaikan suku bunga Inggris bulan depan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/RHG) Next Article Rupiah Anjlok buat Money Changer Antre, Segini Harga Jualnya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular