
Variatif di Asia, Rupiah Berjaya di Eropa
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
18 July 2018 18:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun, tidak hanya terhadap greenback, rupiah pun tidak berdaya di hadapan sejumlah mata uang Asia.
Pada hari Rabu (18/7/2018), rupiah ditutup melemah 0,24% terhadap dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang lainnya pada pukul 16:50 WIB, mengutip data Reuters.
(RHG/RHG) Next Article Rupiah Sempat Beraksi di Level 13.000-an
Pada hari Rabu (18/7/2018), rupiah ditutup melemah 0,24% terhadap dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang lainnya pada pukul 16:50 WIB, mengutip data Reuters.
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 127,42 | -0,14 |
Yuan China | 2.142,6 | -0,1 |
Won Korea Selatan | 12,70 | + 0,24 |
Dolar Taiwan | 469,9 | + 0,02 |
Rupee India | 209,97 | -0,04 |
Dolar Singapura | 10.529,39 | -0,06 |
Ringgit Malaysia | 3.540 | + 0,28 |
Peso Filipina | 269,24 | -0,21 |
Euro | 16.749,21 | + 0,77 |
Poundstreling Inggris | 18.761,76 | + 0,4 |
Dolar AS memang sedang perkasa pada perdagangan hari ini. Dolar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia, menguat 0,36% hingga pukul 16.48 WIB. Indeks ini belum berhenti melaju sejak tadi malam.
Mata uang Negeri Paman Sam mendapatkan angin segar dari paparan Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, di hadapan Senat AS. Pada kesempatan itu, pucuk pimpinan bank sentral AS kembali menegaskan bahwa The Fed masih dalam jalur menaikkan suku bunga secara bertahap.
Meski hal ini sudah diantisipasi oleh pasar sejak rapat The Fed pertengahan Juni lalu, tetapi masih menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Sentimen ini berhasil menjadi bahan bakar bagi penguatan dolar AS pada hari ini. Sebagai informasi, penguatan dolar AS terjadi secara luas, termasuk di Asia. Rupiah pun menjadi korbannya.
Sementara itu, dari dalam negeri, pelaku pasar tengah menantikan pengumuman suku bunga acuan esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan menahan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate di 5,25%.
Meski pasar mengekspektasikan suku bunga ditahan, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk dinaikkan. Sebab, pelemahan rupiah yang sudah mencapai 5,6% sejak awal tahun bisa saja memaksa BI untuk kembali menaikkan suku bunga acuan.
Oleh karena itu, investor pun memilih untuk bermain aman sambil menanti keputusan BI. Sikap ini dilakukan dengan melepas aset-aset berbasis rupiah. Situasi ini ditunjukkan oleh investor yang melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 35,66 miliar di pasar saham.
Kuat di Eropa, Malaysia, dan Korea Selatan
Sisi positifnya, rupiah mampu menguat sebesar 0,77% terhadap mata uang euro pada perdagangan sore ini. Penguatan ini melanjutkan tren sepekan terakhir, di mana rupiah telah menguat hingga 0,44%.
Hal ini nampaknya didukung oleh ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Uni-Eropa terkait perdagangan. Presiden AS Donald Trump di sela-sela jelang pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut Uni Eropa sebagai musuh perdagangan.
Dikutip dari BBC, Trump mengatakan bahwa AS mempunyai banyak musuh, termasuk Rusia dan China, tetapi dirinya menempatkan Uni Eropa di posisi teratas. "Saya rasa Uni Eropa merupakan musuh, (mengingat) apa yang mereka lakukan kepada kami di perdagangan," tegas Trump.
Sebelumnya, mantan taipan properti itu juga menyerang negara-negara Uni Eropa dalam pertemuan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) minggu lalu lantaran dianggap pelit dalam belanja pertahanan. Akibat sejumlah retorika Trump itu, investor pun was-was dengan kondisi Uni Eropa, dan melepas aset-aset berbasis euro.
Tidak hanya dengan Eropa, rupiah juga digdaya di depan ringgit Malaysia Hingga sore ini, MYR 1 di pasar spot ditransaksikan di Rp3.540. Rupiah menguat hingga 0,28% dari penutupan perdagangan kemarin.
Beberapa sentimen menyokong penguatan rupiah terhadap mata uang Negeri Jiran. Pertama, Indonesia membukukan surplus perdagangan di Malaysia hingga US890 juta di semester I-2018. Surplus perdagangan itu menunjukkan aliran devisa dari sektor perdagangan dengan Malaysia masih terjaga.
Kedua, kebijakan moneter di Indonesia lebih antisipatif (ahead the curve) ketimbang Malaysia. Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 100 basis poin sejak awal tahun, dan bukan tidak mungkin ada kenaikan lanjutan.
Sementara, Bank Negara Malaysia (BNM) sudah menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin pada awal tahun. Namun setelah itu tidak ada kenaikan lanjutan dan belum terdengar tanda-tanda ke arah sana.
Ini membuat rupiah sepertinya lebih diapresiasi, karena terdongkrak sentimen kenaikan suku bunga. Berinvestasi di rupiah menjanjikan keuntungan yang lebih ketimbang ringgit.
Sebagai tambahan, rupiah juga menguat terhadap won Korea Selatan. Mata uang Negeri Ginseng memang menjadi mata uang Asia yang melemah paling dalam terhadap dolar AS, pada sore ini.
Lesunya won banyak dipengaruhi oleh loyonya ekonomi China di kuartal II-2018. Seperti diketahui, Negeri Tirai Bambu merupakan mitra dagang utama dari Korea Selatan.
Perekonomian Negeri Tirai Bambu tercatat tumbuh sebesar 6,7% YoY, sama dengan konsensus yang dihimpun oleh Reuters. Namun, nilai itu lebih rendah dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar 6,9% YoY. Juga lebih rendah dari pertumbuhan pada kuartal I-2018 sebesar 6,8% YoY.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Juni di China tumbuh sebesar 9% YoY, juga sama dengan ekspektasi pasar. Namun, output industri untuk periode Juni hanya tumbuh sebesar 6% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,5% YoY.
Melambatnya ekonomi China tentu akan memberikan sentimen negatif bagi arus perdagangan Korea Selatan dan China. Hal ini lantas membuat investor cenderung berperilaku defensif, dan melepas aset-aset berbasis won.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Meski hal ini sudah diantisipasi oleh pasar sejak rapat The Fed pertengahan Juni lalu, tetapi masih menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Pelaku pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan perkiraan sebelumnya yaitu tiga kali.
Sentimen ini berhasil menjadi bahan bakar bagi penguatan dolar AS pada hari ini. Sebagai informasi, penguatan dolar AS terjadi secara luas, termasuk di Asia. Rupiah pun menjadi korbannya.
Sementara itu, dari dalam negeri, pelaku pasar tengah menantikan pengumuman suku bunga acuan esok hari. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan Bank Indonesia (BI) masih akan menahan suku bunga acuan 7 day reverse repo rate di 5,25%.
Meski pasar mengekspektasikan suku bunga ditahan, bukan berarti tidak ada kemungkinan untuk dinaikkan. Sebab, pelemahan rupiah yang sudah mencapai 5,6% sejak awal tahun bisa saja memaksa BI untuk kembali menaikkan suku bunga acuan.
Oleh karena itu, investor pun memilih untuk bermain aman sambil menanti keputusan BI. Sikap ini dilakukan dengan melepas aset-aset berbasis rupiah. Situasi ini ditunjukkan oleh investor yang melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 35,66 miliar di pasar saham.
Kuat di Eropa, Malaysia, dan Korea Selatan
Sisi positifnya, rupiah mampu menguat sebesar 0,77% terhadap mata uang euro pada perdagangan sore ini. Penguatan ini melanjutkan tren sepekan terakhir, di mana rupiah telah menguat hingga 0,44%.
Hal ini nampaknya didukung oleh ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Uni-Eropa terkait perdagangan. Presiden AS Donald Trump di sela-sela jelang pertemuannya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut Uni Eropa sebagai musuh perdagangan.
Dikutip dari BBC, Trump mengatakan bahwa AS mempunyai banyak musuh, termasuk Rusia dan China, tetapi dirinya menempatkan Uni Eropa di posisi teratas. "Saya rasa Uni Eropa merupakan musuh, (mengingat) apa yang mereka lakukan kepada kami di perdagangan," tegas Trump.
Sebelumnya, mantan taipan properti itu juga menyerang negara-negara Uni Eropa dalam pertemuan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) minggu lalu lantaran dianggap pelit dalam belanja pertahanan. Akibat sejumlah retorika Trump itu, investor pun was-was dengan kondisi Uni Eropa, dan melepas aset-aset berbasis euro.
Tidak hanya dengan Eropa, rupiah juga digdaya di depan ringgit Malaysia Hingga sore ini, MYR 1 di pasar spot ditransaksikan di Rp3.540. Rupiah menguat hingga 0,28% dari penutupan perdagangan kemarin.
Beberapa sentimen menyokong penguatan rupiah terhadap mata uang Negeri Jiran. Pertama, Indonesia membukukan surplus perdagangan di Malaysia hingga US890 juta di semester I-2018. Surplus perdagangan itu menunjukkan aliran devisa dari sektor perdagangan dengan Malaysia masih terjaga.
Kedua, kebijakan moneter di Indonesia lebih antisipatif (ahead the curve) ketimbang Malaysia. Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 100 basis poin sejak awal tahun, dan bukan tidak mungkin ada kenaikan lanjutan.
Sementara, Bank Negara Malaysia (BNM) sudah menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin pada awal tahun. Namun setelah itu tidak ada kenaikan lanjutan dan belum terdengar tanda-tanda ke arah sana.
Ini membuat rupiah sepertinya lebih diapresiasi, karena terdongkrak sentimen kenaikan suku bunga. Berinvestasi di rupiah menjanjikan keuntungan yang lebih ketimbang ringgit.
Sebagai tambahan, rupiah juga menguat terhadap won Korea Selatan. Mata uang Negeri Ginseng memang menjadi mata uang Asia yang melemah paling dalam terhadap dolar AS, pada sore ini.
Lesunya won banyak dipengaruhi oleh loyonya ekonomi China di kuartal II-2018. Seperti diketahui, Negeri Tirai Bambu merupakan mitra dagang utama dari Korea Selatan.
Perekonomian Negeri Tirai Bambu tercatat tumbuh sebesar 6,7% YoY, sama dengan konsensus yang dihimpun oleh Reuters. Namun, nilai itu lebih rendah dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu, yakni sebesar 6,9% YoY. Juga lebih rendah dari pertumbuhan pada kuartal I-2018 sebesar 6,8% YoY.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Juni di China tumbuh sebesar 9% YoY, juga sama dengan ekspektasi pasar. Namun, output industri untuk periode Juni hanya tumbuh sebesar 6% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,5% YoY.
Melambatnya ekonomi China tentu akan memberikan sentimen negatif bagi arus perdagangan Korea Selatan dan China. Hal ini lantas membuat investor cenderung berperilaku defensif, dan melepas aset-aset berbasis won.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/RHG) Next Article Rupiah Sempat Beraksi di Level 13.000-an
Most Popular