Kemiskinan Turun & Neraca Perdagangan Surplus, IHSG Kok Loyo?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
17 July 2018 12:41
Inilah kenapa IHSG tidak bisa naik walaupun kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia tercatat turun.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasca kemarin terkoreksi 0,66%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali diperdagangkan melemah pada hari ini. Hingga akhir sesi I, IHSG turun 0,72% ke level 5.862,93.

Padahal, dari dalam negeri ada dua sentimen positif. Tingkat kemiskinan di Indonesia kini berhasil menyentuh level single digit. Kemarin (16/7/2018), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat kemiskinan di Indonesia per Maret 2018 di level 9,82%, turun dari capaian Maret 2017 yang sebesar 10,64% dan juga lebih kecil dari posisi September 2017 yang sebesar 10,12%.

Persentase kemiskinan di perkotaan turun dari 7,26% menjadi 7,02%, sementara persentase kemiskinan di pedesaan turun dari 13,47% menjadi 13,20%.

Sebagai catatan, sejak memasuki era reformasi, baru kali ini tingkat kemiskinan Indonesia berhasil menyentuh level single digit. Sebelumnya, tingkat kemiskinan selalu ada di atas 10%, dengan posisi tertinggi berada di level 23,4% pada tahun 1999.

Turunnya tingkat pengangguran khususnya di pedesaan menandakan bahwa penyaluran dana desa yang menjadi salah satu trademark kepemimpinan Presiden Joko Widodo terbukti ampuh untuk memberantas kemiskinan.

Tak hanya kemiskinan, ketimpangan juga berhasil diperangi oleh pemerintah. Rasio gini Indonesia pada Maret 2018 tercatat sebesar 0,389, terendah sejak 7 tahun terakhir.

Kedua data tersebut sejatinya merupakan data yang high profile, mengingat pentingnya data tersebut dan frekuensi rilisnya yang terbilang jarang: baik data pengangguran maupun ketimpangan hanya diumumkan 2 kali dalam setahun. Harusnya, data tersebut bisa menjadi motor bagi IHSG untuk menguat.

Ada beberapa faktor yang membuat laju IHSG tak tertolong.

Lemahnya Perdagangan Internasional

Faktor pertama yang membuat IHSG harus pasrah bertengger di zona merah adalah data perdagangan internasional yang mengecewakan. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat ekspor tumbuh sebesar 11,47% YoY, sementara impor tumbuh sebesar 12,66% YoY. Kedua data tersebut lebih rendah dari konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, dimana para ekonom memperkirakan ekspor tumbuh 16,38% YoY, sementara impor diperkirakan melesat hingga 30,17% YoY.

Lemahnya pertumbuhan ekspor dan impor menunjukkan lemahnya aktivitas ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Belum juga Indonesia resmi diserang oleh Amerika Serikat (AS) di bidang perdagangan seperti yang dialami oleh China, laju ekspor dan impor sudah terbilang lemah.

Jika pada akhirnya AS benar-benar menghapus sejumlah perlakuan khusus yang diterima oleh Indonesia di bidang perdagangan, aktivitas ekspor-impor Indonesia bisa makin tak bergairah.

Sebagai informasi, saat ini sekitar 124 produk produk asal Indonesia tengah dievaluasi apakah pantas mendapatkan fasilitas generalized system of preference (GSP) atau tidak.

Sebagai negara penerima GSP, Indonesia bisa menikmati pembebasan bea masuk bagi sejumlah produk ekspornya. Apabila GSP dihapus, produk Indonesia akan menjadi lebih mahal sehingga menurunkan permintaan.

Seiring dengan timbulnya persepsi terkait ekonomi Indonesia yang lemah, saham-saham emiten perbankan menjadi sasaran jual investor. Ketika ekonomi berjalan lambat, tentu kinerja dari emiten-emiten perbankan menjadi tak maksimal. Saham-saham emiten perbankan yang dilepas investor diantaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-3,44%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-3,03%), PT Bank Danamon Tbk/BDMN (-2,26%), PT Bank Central Asia Tbk /BBCA (-2,05%), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (-1,61%).

Seiring dengan aksi jual atas saham-saham emiten perbankan, sektor jasa keuangan turun hingga 1,66%, menjadikannya kontributor terbesar bagi pelemahan IHSG.

Konsumsi Ternyata Belum Menggeliat

Masih seputar data perdagangan internasional, terungkap bahwa konsumsi masyarakat Indonesia ternyata belum menggeliat. Sepanjang bulan Juni, BPS mencatat impor barang konsumsi sebesar US$ 1,01 miliar atau turun 9,01% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun 2017 sebesar US$ 1,11 miliar. Lantas, impor barang konsumsi menjadi satu-satunya yang melemah secara tahunan (impor bahan baku naik 14,5% YoY dan impor barang modal melesat 20% YoY).

Kini, persepsi bahwa konsumsi masyarakat Indonesia sudah mulai menggeliat menjadi dipatahkan. Sebelumnya, persepsi ini timbul seiring dengan derasnya impor barang konsumsi periode Mei dan inflasi bulan lalu yang lebih tinggi dari ekspektasi.

Aksi jual pun dilakukan oleh investor atas saham-saham barang konsumsi, sehingga secara sektoral melemah 0,47% dan menjadikannya kontributor terbesar kedua bagi pelemahan IHSG.

Saham-saham sektor barang konsumsi yang dilepas investor diantaranya: PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-2,65%), PT Indofood Sukses Makmur Tbk/INDF (-1,53%), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (-0,57%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,77%), dan PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-0,8%).

IMF Beri Peringatan Mengenai Perang Dagang

Tak kunjung meredanya balas-membalas tarif antara AS dengan mitra dagangnya membuat International Monetary Fund (IMF) angkat bicara. Dalam laporan World Economic Outlook, IMF memperingatkan bahwa perang dagang antara AS dengan mitra dagangnya dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebanyak 0,5% pada tahun 2020. Jika dihitung angka nominalnya, nilainya mencapai sekitar US$ 430 miliar.

Lembaga yang berbasis di Washington tersebut menyebut bahwa AS merupakan pihak yang paling rentan terhadap perang tarif yang kini sedang terjadi.

Belum lama ini, pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkan daftar barang-barang asal China senilai US$ 200 miliar yang akan dikenakan bea masuk baru sebesar 10%. Sementara dengan Uni Eropa, mobil-mobil impor asal Benua Biru berpotensi dikenakan bea masuk tambahan oleh Trump.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(ank/ank) Next Article Neraca Dagang Terparah Sejak RI Merdeka, IHSG Terjun Bebas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular