
Cuaca Mendukung, IHSG Terkuat di Asia Pekan Ini
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
14 July 2018 14:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan Indeks Saham Harga Gabungan (IHSG) cukup impresif sepanjang pekan ini. Pasalnya, selama seminggu terakhir, IHSG berhasil mencatatkan penguatan sebesar 4,38%, mampu berbalik arah dari pelemahan sebesar 1,79% pada sepekan sebelumnya.
Penguatan IHSG sejalan dengan bursa regional yang juga mampu mencatatkan performa mingguan positif. Apabila ditelaah lebih lanjut, penguatan IHSG sebesar 4% lebih ternyata menjadi yang terkuat dibandingkan bursa saham lainnya di kawasan.
Sepekan terakhir, indeks Shanghai naik 3,06%, Hang Seng tumbuh 0,74%, Nikkei menanjak 3,71%, Strait Times menguat 2,15%, KLCI (Malaysia) bertambah 3,49%, SET (Thailand) naik 1,78%, dan KOSPI melambung 1,67%.
Catatan positif lainnya, investor asing mencatatkan net buy sebesar Rp678,4 miliar. Meski demikian, di sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), masih terjadi outflow di pasar saham domestik sebesar Rp 600 miliar. IHSG pun masih tercatat terkoreksi di kisaran 6%.
Sejumlah sentimen positif dari domestik memang mampu menghembuskan angin segar bagi IHSG di pekan ini.
Pertama, di awal pekan ini, Bank Indonesia (BI) memperkirakan neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2018 mencatat surplus US$900 juta. Jika terwujud, maka tren defisit yang terjadi dalam dua bulan sebelumnya akan terputus.
"Saya kira neraca perdagangan akan surplus. Kurang lebih US$ 900 juta," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI.
Penyataan ini lantas menjadi obat kuat bagi rupiah, dan akhirnya mampu menjadi motor bagi IHSG. Surplus neraca perdagangan akan membawa persepsi bahwa aliran devisa ke Indonesia tetap terjaga sehingga mampu menopang penguatan mata uang Tanah Air.
Sebagai informasi, berdasarkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia pada hari Jumat (13/07/2018), memperkirakan ekspor tumbuh 17,525% secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara impor masih tumbuh lebih cepat yaitu 31,285% YoY. Namun, neraca perdagangan bisa mencatat surplus yang diestimasi sebesar US$ 559 juta.
Kedua, BI melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juni 2018 sebesar 128,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 125,1. Sebagai catatan, nilai IKK bulan Juni merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Kenaikan IKK didorong oleh seluruh komponen pembentuknya, yaitu indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang naik menjadi 120,8 dari 116,1. Sementara itu, Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) naik menjadi 135,4 dari 134,1.
Ketiga, masih dari sentimen perbaikan konsumsi masyarakat, BI mencatat indeks Penjualan Riil (IPR) tumbuh hingga 8,3% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh mengungguli capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,3% YoY. Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan Juni 2018 diperkirakan 6,8% YoY, mengungguli capaian periode Juni 2017 yang sebesar 6,3% YoY.
Kenaikan IKK dan IPR lantas memberi harapan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia akan terus membaik. Sebelumnya, perbaikan konsumsi masyarakat ditunjukkan oleh derasnya impor barang konsumsi periode Mei dan inflasi bulan lalu yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Tidak hanya sentimen dari dalam negeri, sentimen eksternal pun cukup kondusif untuk membawa bursa saham regional, termasuk IHSG, bergerak di zona hijau.
Pekan ini, sebenarnya bara perang dagang ini kembali menyala, pasca pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengumumkan daftar barang-barang asal China senilai US$ 200 miliar (Rp 2.875 triliun) yang akan dikenakan bea masuk baru sebesar 10%.
China pun kembali merespons dengan keras. Beijing menuding AS melakukan kebiasaannya, yaitu mem-bully negara lain. Oleh karena itu, Negeri Tirai Bambu pun siap melancarkan serangan balasan. China bahkan akan melaporkan kelakuan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Tidak hanya mengenakan bea masuk terhadap produk-produk AS, China juga mengancam membalas dengan kebijakan kualitatif. Misalnya membatasi kunjungan turis China ke AS, yang bisa mendatangkan devisa US$ 115 miliar bagi Negeri Paman Sam.
Meski demikian, sentimen negatif ini ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan pada pasar. Pasalnya, kini muncul pesimisme bahwa rencana AS untuk menerapkan bea masuk 10% kepada importasi produksi China senilai US$ 200 miliar itu bisa terwujud.
Sebab, rencana ini masih perlu digodok dan dibicarakan dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Sepertinya proses tersebut tidak akan mulus karena mendapat tentangan dari legislatif, bahkan yang berasal dari Partai Republik pengusung Trump.
"Pengumuman pemerintah sepertinya sangat gegabah. Lagi pula, sepertinya ini bukan pendekatan yang fokus," ujar Orrin Hatch, Ketua Komite Keuangan Senat AS dari Partai Republik, dikutip dari Reuters.
"China memang menjalankan praktik perdagangan yang tidak adil. Namun saya rasa bea masuk bukan jalan keluarnya," kata Ketua Kongres AS Paul Ryan yang juga dari Partai Republik.
Jika tidak disetujui oleh legislatif, maka rencana ini tidak akan terwujud. Dengan begitu, ada kemungkinan perang dagang AS-China tidak bertambah panas.
Kemudian, pada akhir pekan ini, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin mengatakan Washington siap membuka kembali negosiasi perdagangan dengan China. Syaratnya, Negeri Tirai Bambu harus melakukan perubahan struktural dalam perekonomiannya.
"Apabila China berkomitmen melakukan perubahan struktural, maka pemerintah siap setiap saat untuk berdiskusi," papar Mnuchin seperti dikutip dari Reuters.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pemerintahan AS terus mengkaji dampak dari penerapan bea masuk.
"Kami memonitor dampak negatif dari bea masuk dengan seksama. Kami terus melakukan itu," kata Mnuchin.
Pernyataan Mnuchin menegaskan bahwa bahwa AS menyadari adanya konsekuensi negatif yang harus ditanggung kala menerapkan bea masuk bagi produk-produk impor asal China. Jika dampak negatif dirasa lebih besar dari manfaat yang didapat, bukan tidak mungkin Presiden Donald Trump berpikir ulang dan membatalkan rencananya tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Penguatan IHSG sejalan dengan bursa regional yang juga mampu mencatatkan performa mingguan positif. Apabila ditelaah lebih lanjut, penguatan IHSG sebesar 4% lebih ternyata menjadi yang terkuat dibandingkan bursa saham lainnya di kawasan.
Sepekan terakhir, indeks Shanghai naik 3,06%, Hang Seng tumbuh 0,74%, Nikkei menanjak 3,71%, Strait Times menguat 2,15%, KLCI (Malaysia) bertambah 3,49%, SET (Thailand) naik 1,78%, dan KOSPI melambung 1,67%.
![]() |
Sejumlah sentimen positif dari domestik memang mampu menghembuskan angin segar bagi IHSG di pekan ini.
Pertama, di awal pekan ini, Bank Indonesia (BI) memperkirakan neraca perdagangan Indonesia pada Juni 2018 mencatat surplus US$900 juta. Jika terwujud, maka tren defisit yang terjadi dalam dua bulan sebelumnya akan terputus.
"Saya kira neraca perdagangan akan surplus. Kurang lebih US$ 900 juta," ungkap Perry Warjiyo, Gubernur BI.
Penyataan ini lantas menjadi obat kuat bagi rupiah, dan akhirnya mampu menjadi motor bagi IHSG. Surplus neraca perdagangan akan membawa persepsi bahwa aliran devisa ke Indonesia tetap terjaga sehingga mampu menopang penguatan mata uang Tanah Air.
Sebagai informasi, berdasarkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia pada hari Jumat (13/07/2018), memperkirakan ekspor tumbuh 17,525% secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara impor masih tumbuh lebih cepat yaitu 31,285% YoY. Namun, neraca perdagangan bisa mencatat surplus yang diestimasi sebesar US$ 559 juta.
Kedua, BI melaporkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juni 2018 sebesar 128,1. Naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 125,1. Sebagai catatan, nilai IKK bulan Juni merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Kenaikan IKK didorong oleh seluruh komponen pembentuknya, yaitu indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) yang naik menjadi 120,8 dari 116,1. Sementara itu, Indeks Ekspektasi Kondisi Ekonomi (IEK) naik menjadi 135,4 dari 134,1.
Ketiga, masih dari sentimen perbaikan konsumsi masyarakat, BI mencatat indeks Penjualan Riil (IPR) tumbuh hingga 8,3% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh mengungguli capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,3% YoY. Lebih lanjut, angka sementara untuk pertumbuhan Juni 2018 diperkirakan 6,8% YoY, mengungguli capaian periode Juni 2017 yang sebesar 6,3% YoY.
Kenaikan IKK dan IPR lantas memberi harapan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia akan terus membaik. Sebelumnya, perbaikan konsumsi masyarakat ditunjukkan oleh derasnya impor barang konsumsi periode Mei dan inflasi bulan lalu yang lebih tinggi dari ekspektasi.
Tidak hanya sentimen dari dalam negeri, sentimen eksternal pun cukup kondusif untuk membawa bursa saham regional, termasuk IHSG, bergerak di zona hijau.
Pekan ini, sebenarnya bara perang dagang ini kembali menyala, pasca pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali mengumumkan daftar barang-barang asal China senilai US$ 200 miliar (Rp 2.875 triliun) yang akan dikenakan bea masuk baru sebesar 10%.
China pun kembali merespons dengan keras. Beijing menuding AS melakukan kebiasaannya, yaitu mem-bully negara lain. Oleh karena itu, Negeri Tirai Bambu pun siap melancarkan serangan balasan. China bahkan akan melaporkan kelakuan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Tidak hanya mengenakan bea masuk terhadap produk-produk AS, China juga mengancam membalas dengan kebijakan kualitatif. Misalnya membatasi kunjungan turis China ke AS, yang bisa mendatangkan devisa US$ 115 miliar bagi Negeri Paman Sam.
Meski demikian, sentimen negatif ini ternyata tidak memberikan dampak yang signifikan pada pasar. Pasalnya, kini muncul pesimisme bahwa rencana AS untuk menerapkan bea masuk 10% kepada importasi produksi China senilai US$ 200 miliar itu bisa terwujud.
Sebab, rencana ini masih perlu digodok dan dibicarakan dengan seluruh pemangku kepentingan (stakeholders). Sepertinya proses tersebut tidak akan mulus karena mendapat tentangan dari legislatif, bahkan yang berasal dari Partai Republik pengusung Trump.
"Pengumuman pemerintah sepertinya sangat gegabah. Lagi pula, sepertinya ini bukan pendekatan yang fokus," ujar Orrin Hatch, Ketua Komite Keuangan Senat AS dari Partai Republik, dikutip dari Reuters.
"China memang menjalankan praktik perdagangan yang tidak adil. Namun saya rasa bea masuk bukan jalan keluarnya," kata Ketua Kongres AS Paul Ryan yang juga dari Partai Republik.
Jika tidak disetujui oleh legislatif, maka rencana ini tidak akan terwujud. Dengan begitu, ada kemungkinan perang dagang AS-China tidak bertambah panas.
Kemudian, pada akhir pekan ini, Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin mengatakan Washington siap membuka kembali negosiasi perdagangan dengan China. Syaratnya, Negeri Tirai Bambu harus melakukan perubahan struktural dalam perekonomiannya.
"Apabila China berkomitmen melakukan perubahan struktural, maka pemerintah siap setiap saat untuk berdiskusi," papar Mnuchin seperti dikutip dari Reuters.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa pemerintahan AS terus mengkaji dampak dari penerapan bea masuk.
"Kami memonitor dampak negatif dari bea masuk dengan seksama. Kami terus melakukan itu," kata Mnuchin.
Pernyataan Mnuchin menegaskan bahwa bahwa AS menyadari adanya konsekuensi negatif yang harus ditanggung kala menerapkan bea masuk bagi produk-produk impor asal China. Jika dampak negatif dirasa lebih besar dari manfaat yang didapat, bukan tidak mungkin Presiden Donald Trump berpikir ulang dan membatalkan rencananya tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/dru) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Most Popular