
Cadangan AS Melonjak, Harga Minyak Drop Lebih 1%
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
06 July 2018 09:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) `ditutup melemah 1,27% ke US$72,94/barel, sementara Brent yang menjadi acuan di Benua Eropa juga turun 1,09% ke US$77,39/barel, pada perdagangan hari Kamis (05/07/2108).
Biang keladi utama dari pelemahan ini adalah meningkatnya cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam secara tidak terduga. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan, cadangan minyak AS pada minggu yang berakhir 29 Juni naik 1,24 juta barel. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan ada penurunan 3,5 juta barel.
Pasalnya, kenaikan ini terjadi kala pasokan minyak ke penyimpanan di Cushing (Oklahoma) sedang bermasalah. Pasokan minyak dari Kanada menurun karena kerusakan di fasilitas produksi milik Syncrude. Pasokan dari Syncrude bisa mencapai 350.000 barel/hari.
(hps) Next Article Tahan Lama! Harga Minyak Naik Lagi Meski Sudah Nanjak 2 Bulan
Biang keladi utama dari pelemahan ini adalah meningkatnya cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam secara tidak terduga. US Energy Information Administration (EIA) melaporkan, cadangan minyak AS pada minggu yang berakhir 29 Juni naik 1,24 juta barel. Jauh dibandingkan konsensus pasar yang memperkirakan ada penurunan 3,5 juta barel.
![]() |
Pasalnya, kenaikan ini terjadi kala pasokan minyak ke penyimpanan di Cushing (Oklahoma) sedang bermasalah. Pasokan minyak dari Kanada menurun karena kerusakan di fasilitas produksi milik Syncrude. Pasokan dari Syncrude bisa mencapai 350.000 barel/hari.
"Peningkatan tidak terduga dari cadangan minyak mentah komersial AS telah memicu aksi ambil untung," ujar Abhishek Kumar, Analis Energi Senior di Interfax Energy, seperti dikutip dari CNBC International.
Sejatinya, sebelum pengumuman data EIA, harga minyak masih diperdagangkan di dekat level tertingginya sejak akhir November 2014, didukung oleh ekspektasi disrupsi pasokan dari Iran.
Pemerintah AS berencana untuk menghentikan ekspor minyak Iran, dengan cara mengancam perusahaan-perusahaan asing untuk menghentikan pembelian minyak dari Negeri Persia per awal November 2018. Jika tidak menurut, AS siap meluncurkan sanksi yang berat.
"Tujuan kami adalah untuk meningkatkan tekanan bagi rezim Iran dengan cara mereduksi pendapatannya dari penjualan minyak mentah hingga titik nol. Kita akan bekerja untuk meminimalkan disrupsi ke pasar global, tapi kita percaya bahwa akan ada kapasitas produksi minyak global yang mencukupi," ujar Brian Hook, Direktur Perencanaan Kebijakan Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip dari CNBC International.
Kebijakan AS yang lebih keras dari yang diperkirakan akan menyebabkan produksi Iran turun 1,1 juta barel per hari di saat permintaan minyak global sedang tinggi, mengutip riset dari Morgan Stanley.
Meski demikian, Negeri Persia dikabarkan tidak gentar. Presiden Hassan Rouhani menegaskan Iran tidak segan untuk menganggu pengiriman minyak dari negara-negara tetangganya.
"AS mengklaim mereka akan menghentikan ekspor minyak Iran. Tidak mungkin Iran tidak bisa mengekspor sementara negara lain di kawasan ini tetap bisa mengekspor. Mengasumsikan Iran menjadi satu-satunya produsen minyak yang tidak bisa mengekspor adalah sebuah kesalahan. AS tidak akan bisa menghambat pendapatan Iran dari minyak," papar Rouhani dalam sebuah video di situs kepresidenan seperti dikutip Reuters.
Sejumlah pejabat teras di Iran sebelumnya mengancam akan memblokade Selat Hormuz jika AS masih bertindak semena-mena. Selat Hormuz merupakan salah satu rute pengiriman utama.
Perkembangan ini lantas memicu persepsi bahwa pasokan minyak dunia masih akan seret. Hal ini lantas sempat menjadi penyokong harga minyak pada perdagangan kemarin, sebelum akhirnya tertekan oleh rilis data cadangan minyak mentah AS.
Faktor lain yang menjadi sentimen negatif bagi harga minyak datang dari Presiden AS Donald Trump yang menyalahkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) atas kenaikan harga minyak.
"Monopoli OPEC harus ingat bahwa (saat ini) harga bensin sedang naik, dan mereka hampir tidak melakukan apa-apa untuk membantu. Mereka mendorong harga minyak naik di saat AS membela kepentingan sejumlah anggota mereka hampir secara cuma-cuma. Hal ini harus berjalan dua arah. TURUNKAN HARGA (MINYAK) SEKARANG!" tulis Trump di media sosial Twitter.
Seperti diketahui, OPEC dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) memang sepakat memangkas produksi mentah mereka sejak awal 2017 lalu, dalam rangka mengerek harga minyak naik. Namun, dalam merespon potensi kelangkaan pasokan minyak global saat ini, OPEC kemudian memutuskan meningkatkan produksi minyak mentah sekitar 1 juta barel per hari (bph) per Bulan Juli 2018, pada pertemuan di Wina akhir Juni lalu.
Namun, nampaknya orang no. 1 di AS tersebut belum puas dengan keputusan OPEC tersebut. Pelaku pasar memang menilai kenaikan produksi 1 juta barel/hari tidak terlalu besar. Bahkan secara riil di lapangan, kenaikan produksi mungkin hanya sekitar 770.000 barel/hari karena beberapa negara seperti Venezuela atau Iran akan sulit menaikkan produksi minyak.
Oleh karena itu, kenaikan produksi tersebut diperkirakan bisa diserap oleh pasar sehingga tidak akan ada kelebihan pasokan yang terlampau besar. Sentimen negatif naiknya cadangan minyak mentah AS dan cuitan Trump tersebut juga nampaknya masih akan membebani harga minyak hari ini.
Hingga pukul 08.07 WIB hari ini, harga light sweet terkoreksi 0,27% ke US$72,74/barel, sementara brent juga melemah 0,37% ke US$77,1/barel.
Pemerintah AS berencana untuk menghentikan ekspor minyak Iran, dengan cara mengancam perusahaan-perusahaan asing untuk menghentikan pembelian minyak dari Negeri Persia per awal November 2018. Jika tidak menurut, AS siap meluncurkan sanksi yang berat.
"Tujuan kami adalah untuk meningkatkan tekanan bagi rezim Iran dengan cara mereduksi pendapatannya dari penjualan minyak mentah hingga titik nol. Kita akan bekerja untuk meminimalkan disrupsi ke pasar global, tapi kita percaya bahwa akan ada kapasitas produksi minyak global yang mencukupi," ujar Brian Hook, Direktur Perencanaan Kebijakan Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip dari CNBC International.
Kebijakan AS yang lebih keras dari yang diperkirakan akan menyebabkan produksi Iran turun 1,1 juta barel per hari di saat permintaan minyak global sedang tinggi, mengutip riset dari Morgan Stanley.
Meski demikian, Negeri Persia dikabarkan tidak gentar. Presiden Hassan Rouhani menegaskan Iran tidak segan untuk menganggu pengiriman minyak dari negara-negara tetangganya.
"AS mengklaim mereka akan menghentikan ekspor minyak Iran. Tidak mungkin Iran tidak bisa mengekspor sementara negara lain di kawasan ini tetap bisa mengekspor. Mengasumsikan Iran menjadi satu-satunya produsen minyak yang tidak bisa mengekspor adalah sebuah kesalahan. AS tidak akan bisa menghambat pendapatan Iran dari minyak," papar Rouhani dalam sebuah video di situs kepresidenan seperti dikutip Reuters.
Sejumlah pejabat teras di Iran sebelumnya mengancam akan memblokade Selat Hormuz jika AS masih bertindak semena-mena. Selat Hormuz merupakan salah satu rute pengiriman utama.
Perkembangan ini lantas memicu persepsi bahwa pasokan minyak dunia masih akan seret. Hal ini lantas sempat menjadi penyokong harga minyak pada perdagangan kemarin, sebelum akhirnya tertekan oleh rilis data cadangan minyak mentah AS.
Faktor lain yang menjadi sentimen negatif bagi harga minyak datang dari Presiden AS Donald Trump yang menyalahkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) atas kenaikan harga minyak.
"Monopoli OPEC harus ingat bahwa (saat ini) harga bensin sedang naik, dan mereka hampir tidak melakukan apa-apa untuk membantu. Mereka mendorong harga minyak naik di saat AS membela kepentingan sejumlah anggota mereka hampir secara cuma-cuma. Hal ini harus berjalan dua arah. TURUNKAN HARGA (MINYAK) SEKARANG!" tulis Trump di media sosial Twitter.
![]() |
Seperti diketahui, OPEC dan mitra produsen non-OPEC (termasuk Rusia) memang sepakat memangkas produksi mentah mereka sejak awal 2017 lalu, dalam rangka mengerek harga minyak naik. Namun, dalam merespon potensi kelangkaan pasokan minyak global saat ini, OPEC kemudian memutuskan meningkatkan produksi minyak mentah sekitar 1 juta barel per hari (bph) per Bulan Juli 2018, pada pertemuan di Wina akhir Juni lalu.
Namun, nampaknya orang no. 1 di AS tersebut belum puas dengan keputusan OPEC tersebut. Pelaku pasar memang menilai kenaikan produksi 1 juta barel/hari tidak terlalu besar. Bahkan secara riil di lapangan, kenaikan produksi mungkin hanya sekitar 770.000 barel/hari karena beberapa negara seperti Venezuela atau Iran akan sulit menaikkan produksi minyak.
Oleh karena itu, kenaikan produksi tersebut diperkirakan bisa diserap oleh pasar sehingga tidak akan ada kelebihan pasokan yang terlampau besar. Sentimen negatif naiknya cadangan minyak mentah AS dan cuitan Trump tersebut juga nampaknya masih akan membebani harga minyak hari ini.
Hingga pukul 08.07 WIB hari ini, harga light sweet terkoreksi 0,27% ke US$72,74/barel, sementara brent juga melemah 0,37% ke US$77,1/barel.
(hps) Next Article Tahan Lama! Harga Minyak Naik Lagi Meski Sudah Nanjak 2 Bulan
Most Popular