
Melesat 1,77%, IHSG Paling Bersinar di Asia
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2018 16:32

Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat anjlok hingga 1,36% dan meninggalkan level 5.600, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru ditutup menguat 1,77% ke level 5.733,64. Dengan penguatan tersebut, IHSG menjadi bursa saham dengan performa terbaik di kawasan Asia sampai dengan berita ini diturunkan.
Indeks Strait Times naik 0,33%, indeks SET (Thailand) naik 0,23%, indeks KLCI (Malaysia) naik 0,48%, indeks Nikkei turun 0,31%, indeks Shanghai turun 0,94%, indeks Hang Seng turun 1,06%, dan indeks Kospi turun 0,32%.
Nilai transaksi tercatat sebesar 7,09 triliun dengan volume sebanyak 8,17 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 404.129 kali.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi penguatan IHSG diantaranya: PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (+5,48%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+3,03%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+4,03%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+4,35%), dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (+3,53%).
Penguatan rupiah menjadi motor utama penggerak IHSG. Hingga akhir perdagangan, rupiah menguat 0,19% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.347.
Penguatan rupiah dipicu oleh posisi dolar AS yang memang sedang lemah lantaran sepinya perdagangan, seiring dengan peringatan hari kemerdekaan AS yang jatuh pada tanggal 4 Juli. Kemarin (3/7/2018), perdagangan di Wall Street hanya dibuka setengah hari.
Dari sisi fundamental, sebenarnya prospek rupiah masih terbilang suram, seiring dengan proyeksi Bank Indonesia (BI) bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kuartal-II 2018 bisa berada di atas 2,5% dari PDB. Padahal, CAD kuartal-I hanya sebesar 2,15% dari PDB.
Ditengah modal portfolio yang terus mengalir keluar dari Indonesia, membengkaknya CAD tentu akan semakin menekan Neraca Perdagangan Indonesia (NPI). Pada kuartal-I kemarin, NPI membukukan defisit sebesar US$ 3,85 miliar, jauh lebih buruk dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu surplus US$ 4,51 miliar. Pada akhirnya, nilai tukar rupiah menjadi taruhannya.
Kekhawatiran tersebut memaksa investor asing melakukan jual bersih senilai 67,6 miliar. Penguatan rupiah yang seharusnya mendorong investor asing melakukan aksi beli tak berlaku pada hari ini.
Dari sisi eksternal, sentimen terbilang cukup kondusif. Sebagai usaha untuk mendorong konsumsi dan mengurangi ketimpangan, parlemen China telah menerbitkan draf dari undang-undang pemotongan pajak yang akan mengurangi pajak penghasilan bagi mayoritas masyarakat China.
Dalam draf tersebut, batas atas bagi 3 tarif pajak penghasilan terendah (3%,10%, dan 20%) akan dinaikkan. Batas atas penghasilan untuk masyarakat yang membayar pajak penghasilan senilai 20% dinaikkan hingga hampir 3 kali lipat, dari US$ 16.000 menjadi US$ 45.000.
Sementara itu, tingkat Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan dari US$ 6.300 menjadi US$ 9.000. Dengar pendapat mengenai kebijakan ini akan digelar hingga 28 Juli mendatang, sementara penerapannya diharapkan mulai efektif pada Oktober.
Lebih lanjut, sentimen positif juga datang dari kebijakan pemerintahan AS yang memperbolehkan ZTE untuk melakukan kegiatan yang dibutuhkan guna memelihara jaringan dan peralatannya di AS. Pelonggaran ini akan diberikan bagi ZTE sampai dengan 1 Agustus mendatang.
Relaksasi bagi ZTE lantas membuka kemungkinan bahwa AS tak jadi menerapkan bea masuk baru bagi senilai US$ 34 miliar produk asal China pada 6 Juli mendatang, walaupun peluangnya terbilang kecil.
(ank/ank) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS
Indeks Strait Times naik 0,33%, indeks SET (Thailand) naik 0,23%, indeks KLCI (Malaysia) naik 0,48%, indeks Nikkei turun 0,31%, indeks Shanghai turun 0,94%, indeks Hang Seng turun 1,06%, dan indeks Kospi turun 0,32%.
Nilai transaksi tercatat sebesar 7,09 triliun dengan volume sebanyak 8,17 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 404.129 kali.
Penguatan rupiah menjadi motor utama penggerak IHSG. Hingga akhir perdagangan, rupiah menguat 0,19% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.347.
Penguatan rupiah dipicu oleh posisi dolar AS yang memang sedang lemah lantaran sepinya perdagangan, seiring dengan peringatan hari kemerdekaan AS yang jatuh pada tanggal 4 Juli. Kemarin (3/7/2018), perdagangan di Wall Street hanya dibuka setengah hari.
Dari sisi fundamental, sebenarnya prospek rupiah masih terbilang suram, seiring dengan proyeksi Bank Indonesia (BI) bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kuartal-II 2018 bisa berada di atas 2,5% dari PDB. Padahal, CAD kuartal-I hanya sebesar 2,15% dari PDB.
Ditengah modal portfolio yang terus mengalir keluar dari Indonesia, membengkaknya CAD tentu akan semakin menekan Neraca Perdagangan Indonesia (NPI). Pada kuartal-I kemarin, NPI membukukan defisit sebesar US$ 3,85 miliar, jauh lebih buruk dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu surplus US$ 4,51 miliar. Pada akhirnya, nilai tukar rupiah menjadi taruhannya.
Kekhawatiran tersebut memaksa investor asing melakukan jual bersih senilai 67,6 miliar. Penguatan rupiah yang seharusnya mendorong investor asing melakukan aksi beli tak berlaku pada hari ini.
Dari sisi eksternal, sentimen terbilang cukup kondusif. Sebagai usaha untuk mendorong konsumsi dan mengurangi ketimpangan, parlemen China telah menerbitkan draf dari undang-undang pemotongan pajak yang akan mengurangi pajak penghasilan bagi mayoritas masyarakat China.
Dalam draf tersebut, batas atas bagi 3 tarif pajak penghasilan terendah (3%,10%, dan 20%) akan dinaikkan. Batas atas penghasilan untuk masyarakat yang membayar pajak penghasilan senilai 20% dinaikkan hingga hampir 3 kali lipat, dari US$ 16.000 menjadi US$ 45.000.
Sementara itu, tingkat Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan dari US$ 6.300 menjadi US$ 9.000. Dengar pendapat mengenai kebijakan ini akan digelar hingga 28 Juli mendatang, sementara penerapannya diharapkan mulai efektif pada Oktober.
Lebih lanjut, sentimen positif juga datang dari kebijakan pemerintahan AS yang memperbolehkan ZTE untuk melakukan kegiatan yang dibutuhkan guna memelihara jaringan dan peralatannya di AS. Pelonggaran ini akan diberikan bagi ZTE sampai dengan 1 Agustus mendatang.
Relaksasi bagi ZTE lantas membuka kemungkinan bahwa AS tak jadi menerapkan bea masuk baru bagi senilai US$ 34 miliar produk asal China pada 6 Juli mendatang, walaupun peluangnya terbilang kecil.
(ank/ank) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular