Sempat Tinggalkan 5.600, IHSG Menguat Sendirian di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
04 July 2018 12:25
Sempat anjlok hingga 1,36% dan meninggalkan level 5.600, IHSG ditutup menguat 0,18% sampai dengan akhir sesi 1.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat anjlok hingga 1,36% dan meninggalkan level 5.600, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,18% sampai dengan akhir sesi 1 ke level 5.643,94.

Nilai transaksi tercatat sebesar 3,84 triliun dengan volume sebanyak 5,27 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 217.105 kali.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi penguatan IHSG diantaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+2,31%), PT Astra International Tbk/ASII (+3,28%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (+1,37%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,58%), dan PT Dian Swastatika Sentosa Tbk/DSSA (+8,95%).

Penguatan rupiah menjadi motor utama penggerak IHSG. Hingga siang hari ini, rupiah menguat 0,17% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.350. Namun, pelaku pasar masih sangat hati-hati dalam berbelanja di pasar saham.

Pasalnya, penguatan rupiah bukan dipicu oleh faktor fundamental, melainkan terbantu posisi dolar AS yang sedang lemah lantaran sepinya perdagangan, seiring dengan peringatan hari kemerdekaan AS yang jatuh pada tanggal 4 Juli. Kemarin (3/7/2018), perdagangan di Wall Street hanya dibuka setengah hari.

Prospek rupiah kedepannya malah bisa dikatakan masih buruk, seiring dengan proyeksi Bank Indonesia (BI) bahwa defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) kuartal-II 2018 bisa berada di atas 2,5% dari PDB. Padahal, CAD kuartal-I hanya sebesar 2,15% dari PDB.

Ditengah modal portfolio yang terus mengalir keluar dari Indonesia, membengkaknya CAD tentu akan semakin menekan Neraca Perdagangan Indonesia (NPI). Pada kuartal-I kemarin, NPI membukukan defisit sebesar US$ 3,85 miliar, jauh lebih buruk dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu surplus US$ 4,51 miliar. Pada akhirnya, nilai tukar rupiah menjadi taruhannya.

Kekhawatiran tersebut berujung pada aksi jual investor asing dengan nilai bersih sebesar Rp 22,1 miliar.

Dari sisi eksternal, sentimen terbilang cukup kondusif. Sebagai usaha untuk mendorong konsumsi dan mengurangi ketimpangan, parlemen China telah menerbitkan draf dari undang-undang pemotongan pajak yang akan mengurangi pajak penghasilan bagi mayoritas masyarakat China.

Dalam draf tersebut, batas atas bagi 3 tarif pajak penghasilan terendah (3,10, dan 20%) akan dinaikkan. Batas atas penghasilan untuk masyarakat yang membayar pajak penghasilan senilai 20% dinaikkan hingga hampir 3 kali lipat, dari US$ 16.000 menjadi US$ 45.000.

Sementara itu, tingkat Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dinaikkan dari US$ 6.300 menjadi US$ 9.000.

Dengar pendapat mengenai kebijakan ini akan digelar hingga 28 Juli mendatang, sementara penerapannya diharapkan akan mulai efektif pada Oktober.

Lebih lanjut, sentimen positif juga datang dari kebijakan pemerintahan AS yang memperbolehkan ZTE untuk melakukan kegiatan yang dibutuhkan guna memelihara jaringan dan peralatannya di AS. Pelonggaran ini akan diberikan bagi ZTE sampai dengan 1 Agustus mendatang.

Hal ini sedikit memberikan kelegaan bagi pelaku pasar selepas kemarin terungkap bahwa pemerintahan AS berupaya untuk memblokir China Mobile dalam menawarkan jasa telekomunikasi antara AS dengan negara-negara lainnya.

Namun, isu perang dagang belum sepenuhnya hilang. Pada 6 Juli mendatang, bea masuk baru bagi senilai US$ 34 miliar produk asal China akan mulai diberlakukan oleh AS. Negeri Panda pun sudah menyiapkan tarif balasan bagi produk-produk asal AS dengan nilai yang sama dan juga akan mulai berlaku pada 6 Juli.
(ank/hps) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular