Dolar AS Makin "Liar", Siapa yang Bisa Tahan?

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
04 July 2018 09:12
Dollar Index - yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama - sudah menguat 4,86% dalam tiga bulan terakhir.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Keliaran dolar AS dalam sepekan terakhiir semakin menjadi-menjadi. Seluruh mata uang, tak terkecuali rupiah menjadi korban dari kegilaan mata uang Paman Sam tersebut.

Coba tengok Dollar Index - yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama - sudah menguat 4,86% dalam tiga bulan terakhir. Sepanjang tahun berjalan, rupiah sudah tertekan 4,6%.

Bank Indonesia (BI) yang diamanatkan Undang-Undang untuk mencapai dan memelihara stabilitas rupiah langsung bergerak cepat untuk menghentikan 'kegilaan' tersebut dengan menaikan suku bunga acuan.

BI bahkan tak segan menaikan 7 day reverse repo rate sebesar 50 bps, untuk memancing arus modal asing dan menjaga daya saing pasar keuangan Indonesia. Dalam jangka pendek, aliran modal yang masuk diharapkan menjadi pijakan bagi rupiah untuk menguat.

Namun apa yang terjadi? Mata uang Garuda memang sempat terkendali, tapi hanya sementara. Greenback kembali memanas, dan membuat rupiah semakin murah dan terlempar jauh dari fundamentalnya ke level Rp 14.450.

"Kenaikan suku bunga saja tidak cukup. Bagaimana caranya agar kebijakan diarahkan ke ekspor, supaya ekspor meningkat," ungkap Wakil Presiden Jusuf Kalla, merespons pelemahan rupiah.

Ketika 'obat' berupa kenaikkan bunga acuan tak lagi ampuh, maka bauran kebijakan lain diharapkan dapat dioptimalkan. Namun dalam jangka pendek, tidak ada satupun kebijakan - selain dari kebijakan moneter - yang ampu menahan depresiasi rupiah lebih dalam.

"Saya rasa sangat sulit sekali karena ini sudah diluar kendali kita. Apalagi, sekarang semua negara ibaratnya sudah berlomba-lomba menaikkan suku bunga untuk menarik investor masuk," kata Ekonom BCA David Sumual.

"Mungkin kalau dalam jangka panjang, ada kebijakan yang bisa dioptimalkan seperti perbaikan transaksi berjalan. Tapi kalau dalam jangka pendek, saya rasa tidak ada," jelas David.

Tekanan terhadap rupiah, dianggap murni berasal dari dinamika perekonomian global. Namun, proyeksi defisit transaksi berjalan (CAD) yang semakin melebar pada kuartal II-2018 ini menjadi salah satu sentimen negatif dari dalam negeri.

BI, bahkan memperkirakan CAD pada paruh kedua tahun ini bisa di atas 2,5%, seiring dengan akselerasi impor dalam beberapa bulan terakhir. Pada kuartal I-2018, CAD berada di angka 2,15% dari produk domestik bruto (PDB).

Meskipun bank sentral menjamin ekonomi Indonesia tidak dalam kondisi overheating meskipun CAD di atas perkiraan, namun hal ini tentu akan memengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah karena pasokan devisa yang terbatas.

Padahal, aliran devisa dari sektor perdagangan barang dan jasa merupakan sumber devisa yang bisa bertahan lama dibandingkan aliran modal asing alias hot money yang bisa keluar kapan saja tergantung keinginan sang pemilik dana.

Namun, BI menegaskan akan senantiasa berada di pasar keuangan untuk melakukan langkah stabilisasi. Bukan hanya melalui kebijakan suku bunga yang terukur, namun juga melalui intevensi untuk memastikan likuiditas yang memadai.

Pergerakan rupiah ke depan, akan ditentukan oleh dinamika perekonomian global. Jika situasi dunia makin memanas dan tidak jelas, bukan tidak mungkin keliaran greenback akan membawa mata uang Garuda ke level Rp 14.600/US$, seperti tahun 2015 lalu
(hps/hps) Next Article Belum Berhenti Menguat, Rupiah Tembus 13.500-an Per Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular