
Rupiah Tertekan, Akankah BI Naikkan Bunga Acuan Lagi?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 July 2018 16:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2018 baru setengah jalan, tetapi Bank Indonesia (BI) sudah menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin. Apakah kenaikan ini cukup untuk menjangkar nilai tukar rupiah agar tidak melemah terlalu dalam?
Menurut kajian Morgan Stanley, lembaga keuangan asal Amerika Serikat (AS), BI diperkirakan sudah selesai dengan siklus kenaikan suku bunga. Sebab jika tujuannya adalah stabilisasi nilai tukar, apa yang dilakukan BI sudah cukup.
"Kami melihat dolar AS akan memasuki tren secular bearish (melemah) pada kuartal IV-2018. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun juga tidak akan bertahan selamanya di 3%," tulis riset Morgan Stanley yang diterima Selasa (3/7/2018).
Meski BI sudah menaikkan suku bunga 7 day reverse repo rate 100 basis poin sepanjang 2018, tetapi rupiah memang belum bisa menguat. Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 5,7% di hadapan greenback.
Namun, Morgan Stanley menilai depresiasi rupiah bukan didominasi faktor domestik. Faktor eksternal yang jauh lebih berperan sehingga rupiah yang menganut rezim devisa bebas tidak bisa menghindar dari penguatan dolar AS yang terjadi secara luas (broadbased).
"Dolar AS memang tetap kuat dan rupiah mengalami tekanan," ujar riset Morgan Stanley. Oleh karena itu, Morgan Stanley memperkirakan BI akan menarik nafas terlebih dulu dengan menghentikan kenaikan suku bunga acuan pada sisa 2018 hingga 2019.
Mengenai kenaikan suku bunga acuan, Morgan Stanley menilai memang bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi domestik. Sebab, selisih antara inflasi dan suku bunga berada di atas tingkat netral.
"Suku bunga kebijakan sebesar 5,25% dan ekspektasi inflasi Morgan Stanley sebesar 3,8% untuk 2019 menempatkan suku bunga kebijakan riil di 1,5%. Memang lebih tinggi dari tingkat suku bunga kebijakan riil netral di 0,75% seperti yang diperkirakan oleh BI. Tingkat suku bunga riil yang lebih tinggi akan membebani pertumbuhan kredit," papar Morgan Stanley.
Namun sejauh ini dampak tersebut bisa dikelola dengan baik sehingga bisa diminimalkan. Penyebabnya adalah BI juga melonggarkan kebijakan makroprudensial berupa penurunan uang muka kredit properti. Kebijakan ini diharapkan mampu mendongrak pertumbuhan kredit.
"Selain itu, dampak dari suku bunga kebijakan bisa jadi tidak efektif akibat mekanisme transmisi suku bunga yang kurang sempurna. Kemudian, data makroekonomi saat ini menunjukkan bahwa perekonomian masih bisa menyerap kenaikan suku bunga," jelas Morgan Stanley.
Ke depan, Morgan Stanley menggarisbawahi beberapa risiko yang membayangi rupiah. Pertama adalah penguatan dolar AS yang mungkin masih bisa berlangsung hingga kuarta IV-2018, kedua adalah potensi kenaikan yield obligasi AS, dan ketiga adalah kenaikan harga mnyak yang bisa membebani transaksi berjalan.
"Dengan suku bunga kebijakan yang fokus kepada stabilitas makro, pembuat kebijakan harus mengoptimalkan relaksasi makroprudensial, pengelolaan likuiditas, dan stimulus fiskal demi mendukung pertumbuhan," sebut Morgan Stanley.
(aji/wed) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Menurut kajian Morgan Stanley, lembaga keuangan asal Amerika Serikat (AS), BI diperkirakan sudah selesai dengan siklus kenaikan suku bunga. Sebab jika tujuannya adalah stabilisasi nilai tukar, apa yang dilakukan BI sudah cukup.
"Kami melihat dolar AS akan memasuki tren secular bearish (melemah) pada kuartal IV-2018. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun juga tidak akan bertahan selamanya di 3%," tulis riset Morgan Stanley yang diterima Selasa (3/7/2018).
Namun, Morgan Stanley menilai depresiasi rupiah bukan didominasi faktor domestik. Faktor eksternal yang jauh lebih berperan sehingga rupiah yang menganut rezim devisa bebas tidak bisa menghindar dari penguatan dolar AS yang terjadi secara luas (broadbased).
"Dolar AS memang tetap kuat dan rupiah mengalami tekanan," ujar riset Morgan Stanley. Oleh karena itu, Morgan Stanley memperkirakan BI akan menarik nafas terlebih dulu dengan menghentikan kenaikan suku bunga acuan pada sisa 2018 hingga 2019.
Mengenai kenaikan suku bunga acuan, Morgan Stanley menilai memang bisa memperlambat laju pertumbuhan ekonomi domestik. Sebab, selisih antara inflasi dan suku bunga berada di atas tingkat netral.
"Suku bunga kebijakan sebesar 5,25% dan ekspektasi inflasi Morgan Stanley sebesar 3,8% untuk 2019 menempatkan suku bunga kebijakan riil di 1,5%. Memang lebih tinggi dari tingkat suku bunga kebijakan riil netral di 0,75% seperti yang diperkirakan oleh BI. Tingkat suku bunga riil yang lebih tinggi akan membebani pertumbuhan kredit," papar Morgan Stanley.
Namun sejauh ini dampak tersebut bisa dikelola dengan baik sehingga bisa diminimalkan. Penyebabnya adalah BI juga melonggarkan kebijakan makroprudensial berupa penurunan uang muka kredit properti. Kebijakan ini diharapkan mampu mendongrak pertumbuhan kredit.
"Selain itu, dampak dari suku bunga kebijakan bisa jadi tidak efektif akibat mekanisme transmisi suku bunga yang kurang sempurna. Kemudian, data makroekonomi saat ini menunjukkan bahwa perekonomian masih bisa menyerap kenaikan suku bunga," jelas Morgan Stanley.
Ke depan, Morgan Stanley menggarisbawahi beberapa risiko yang membayangi rupiah. Pertama adalah penguatan dolar AS yang mungkin masih bisa berlangsung hingga kuarta IV-2018, kedua adalah potensi kenaikan yield obligasi AS, dan ketiga adalah kenaikan harga mnyak yang bisa membebani transaksi berjalan.
"Dengan suku bunga kebijakan yang fokus kepada stabilitas makro, pembuat kebijakan harus mengoptimalkan relaksasi makroprudensial, pengelolaan likuiditas, dan stimulus fiskal demi mendukung pertumbuhan," sebut Morgan Stanley.
(aji/wed) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular