Senasib dengan Mata Uang Asia, Rupiah Lesu Lawan Dolar AS

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 June 2018 17:03
Senasib dengan Mata Uang Asia, Rupiah Lesu Lawan Dolar AS
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah pada perdagangan hari ini. Rupiah berjalan searah dengan mata uang kawasan yang juga terdepresiasi di hadapan greenback. 

Pada Selasa (26/6/2018) pukul 16:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.173. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan penutupan hari sebelumnya. 

Rupiah dibuka menguat 0,18% pagi tadi. Namun penguatan itu tidak bertahan lama, dan rupiah melemah hampir sepanjang hari. Posisi terlemah rupiah ada di Rp 14.180/US$. 

Reuters

Rupiah tidak sendiri, karena mata uang Asia pun cenderung terdepresiasi terhadap dolar AS. Dengan pelemahan 0,16%, rupiah menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam keempat setelah yuan China, peso Filipina, dan baht Thailand. Sebenarnya tidak terlalu jelek, masih sejalan dengan mata uang regional.

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap beberapa mata uang Asia pada pukul 16:10 WIB, mengutip Reuters:

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang109,67-0,08
Yuan China6,56+0,39
Won Korea Selatan1.115,58+0,10
Dolar Taiwan30,41+0,16
Rupee India68,16+0,08
Dolar Singapura1,36-0,04
Ringgit Malaysia4,02+0,10
Baht Thailand32,98+0,18
Peso Filipina53,59+0,22
 
Dolar AS memang sedang perkasa. Terhadap mata uang utama, yang dicerminkan oleh Dollar Index, greenback menguat 0,21% pada pukul 16:17 WIB. 

Greenback mendapat momentum penguatan seiring kenaikan imbal hasil (yield) obligasi negara AS. Untuk tenor 10 tahun, yield obligasi AS saat ini berada di 2,8894%. Naik dibandingkan hari sebelumnya yaitu 2,875%. 

Kemungkinannya ada kenaikan ekspektasi inflasi karena perang dagang. Akibat kebijakan Presiden AS Donald Trump yang proteksionis, kini impor dari Kanada, Meksiko, sampai Uni Eropa kena bea masuk sehingga lebih mahal.  

Importasi yang lebih mahal bisa membuat harga di tingkat konsumen ikut naik. Ujungnya adalah tekanan inflasi. 

Kala laju inflasi terakselerasi, maka ada kebutuhan bank sentral untuk mengeremnya melalui kenaikan suku bunga acuan. Mata uang akan mendapat angin segar dengan berita kenaikan suku bunga. Dolar AS pun mendapat suntikan tenaga. 

Sentimen positif bagi dolar AS membuat investor melepas kepemilikannya di obligasi untuk masuk ke pasar valas agar tidak ketinggalan kereta. Tekanan jual di obligasi membuat yield terdorong ke atas. 

Penguatan dolar AS membuat berbagai mata uang tertekan, termasuk di Asia. Rupiah pun menjadi salah satu korbannya. 

Dari dalam negeri, tidak ada sentimen yang bisa memperkuat rupiah. Teranyar, data yang dirilis kurang menggembirakan. Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Mei 2018 defisit cukup dalam yaitu US$ 1,52 miliar. 

Nasib transaksi berjalan (current account) Indonesia pun dipertanyakan. Pasalnya, sudah dua bulan terakhir neraca perdagangan defisit lumayan besar. 

Sokongan devisa dari perdagangan yang minim membuat rupiah sulit menguat. Apalagi aliran modal asing di pasar keuangan juga seret. Hari ini, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 453,06 miliar di pasar saham.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular