Minus 0,53%, Pelemahan Rupiah Terdalam Ketiga di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 June 2018 16:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tertekan pada hari ini. Selain faktor eksternal, perkembangan di dalam negeri pun kurang kondusif bagi rupiah.
Pada Senin (25/6/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.150 pada penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,53% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Sejak pembukaan, rupiah sudah melemah. Namun seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam.
Posisi terlemah rupiah pada perdagangan hari ini adalah Rp 14.160/US$. Sementara posisi terkuatnya ada di Rp 14.098.
Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang Asia pun tidak berdaya di hadapan dolar AS. Dengan depresiasi 0,53%, rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam ketiga di Asia. rupiah hanya lebih baik dari yuan China dan won Korea Selatan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:15 WIB, dikutip dari Reuters:
Sentimen perang dagang yang bergelora menekan mata uang Asia, termasuk rupiah. Bagi negara-negara Asia yang banyak mengandalkan ekspor sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, perang dagang tentu bukan kabar yang menggembirakan.
"Perang dagang AS-China sepertinya akan masih membebani mata uang Asia pada pekan ini. Apalagi dikabarkan AS akan membatasi investasi China," sebut riset OCBC.
Wall Street Journal melaporkan Kementerian Keuangan AS tengah menyusun regulasi untuk membatasi aktivitas perusahaan China di Negeri Paman Sam. Perusahaan yang punya kepemilikan minimal 25% oleh pihak China akan dilarang untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan teknologi strategis di AS.
Langkah ini dilakukan untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual AS. Tidak hanya itu Dewan Keamanan Nasional AS dan Kementerian Perdagangan AS juga tengah merancang peraturan untuk mengontrol ekspor AS ke China untuk menghindari produk-produk berteknologi strategis dikirim ke Negeri Tirai Bambu.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar lagi-lagi tidak nyaman. Perang dagang kini sudah merambat ke perang investasi, dan dampaknya bisa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dunia.
Sementara dari dalam negeri, sentimen yang ada memang tidak mendukung penguatan rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional, dan pada Mei 2018 Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan yang cukup besar yaitu US$ 1,52 miliar.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar mengkhawatirkan prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia. Pada kuartal I-2018, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit US$ 5,5 miliar atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada April pun neraca perdagangan sudah defisit sangat dalam, yaitu US$ 1,61 miliar. Dengan defisit perdagangan yang menganga dalam dua bulan terakhir, wajar jika pasar mempertanyakan nasib transaksi berjalan pada kuartal II. Sangat mungkin transaksi berjalan pada kuartal II mencatat defisit yang lebih lebar ketimbang kuartal sebelumnya.
Tanpa sokongan devisa dari sektor perdagangan, maka nasib rupiah pun terombang-ambing. Investor pun kemudian melepas aset-aset berbasis rupiah sehingga membuat mata uang ini terdepresiasi kian dalam.
Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 815,48 miliar. Sementara aksi jual di pasar obligasi terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield).
Pada pukul 16:27 WIB, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di 7,564%. Naik dibandingkan akhir pekan lalu yaitu 7,509%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Senin (25/6/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.150 pada penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,53% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Sejak pembukaan, rupiah sudah melemah. Namun seiring perjalanan pasar, pelemahan rupiah semakin dalam.
![]() |
Tidak hanya rupiah, berbagai mata uang Asia pun tidak berdaya di hadapan dolar AS. Dengan depresiasi 0,53%, rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam ketiga di Asia. rupiah hanya lebih baik dari yuan China dan won Korea Selatan.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 16:15 WIB, dikutip dari Reuters:
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109,44 | -0,47 |
Yuan China | 6,54 | +0,58 |
Won Korea Selatan | 1.117,19 | +0,56 |
Dolar Taiwan | 30,41 | +0,38 |
Rupee India | 68,12 | +0,38 |
Dolar Singapura | 1,36 | +0,33 |
Ringgit Malaysia | 4,02 | +0,40 |
Baht Thailand | 32,95 | +0,12 |
Peso Filipina | 53,46 | +0,47 |
Sentimen perang dagang yang bergelora menekan mata uang Asia, termasuk rupiah. Bagi negara-negara Asia yang banyak mengandalkan ekspor sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi, perang dagang tentu bukan kabar yang menggembirakan.
"Perang dagang AS-China sepertinya akan masih membebani mata uang Asia pada pekan ini. Apalagi dikabarkan AS akan membatasi investasi China," sebut riset OCBC.
Wall Street Journal melaporkan Kementerian Keuangan AS tengah menyusun regulasi untuk membatasi aktivitas perusahaan China di Negeri Paman Sam. Perusahaan yang punya kepemilikan minimal 25% oleh pihak China akan dilarang untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan teknologi strategis di AS.
Langkah ini dilakukan untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual AS. Tidak hanya itu Dewan Keamanan Nasional AS dan Kementerian Perdagangan AS juga tengah merancang peraturan untuk mengontrol ekspor AS ke China untuk menghindari produk-produk berteknologi strategis dikirim ke Negeri Tirai Bambu.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar lagi-lagi tidak nyaman. Perang dagang kini sudah merambat ke perang investasi, dan dampaknya bisa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dunia.
Sementara dari dalam negeri, sentimen yang ada memang tidak mendukung penguatan rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perdagangan internasional, dan pada Mei 2018 Indonesia membukukan defisit neraca perdagangan yang cukup besar yaitu US$ 1,52 miliar.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar mengkhawatirkan prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia. Pada kuartal I-2018, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit US$ 5,5 miliar atau 2,15% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pada April pun neraca perdagangan sudah defisit sangat dalam, yaitu US$ 1,61 miliar. Dengan defisit perdagangan yang menganga dalam dua bulan terakhir, wajar jika pasar mempertanyakan nasib transaksi berjalan pada kuartal II. Sangat mungkin transaksi berjalan pada kuartal II mencatat defisit yang lebih lebar ketimbang kuartal sebelumnya.
Tanpa sokongan devisa dari sektor perdagangan, maka nasib rupiah pun terombang-ambing. Investor pun kemudian melepas aset-aset berbasis rupiah sehingga membuat mata uang ini terdepresiasi kian dalam.
Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 815,48 miliar. Sementara aksi jual di pasar obligasi terlihat dari kenaikan imbal hasil (yield).
Pada pukul 16:27 WIB, yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun berada di 7,564%. Naik dibandingkan akhir pekan lalu yaitu 7,509%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular