
Melihat Untung-Rugi Badai Impor
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
25 June 2018 14:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan data perdagangan internasional. Hasilnya mungkin tidak terlalu memuaskan, karena jauh dari ekspektasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan total impor di Mei 2018 mengalami kenaikan signifikan. Berdasarkan laporan BPS, nilai impor Mei 2018 tercatat US$ 17,64 miliar atau naik 28,12% secara year-on-year (YoY).
Sementara, nilai ekspor Mei 2018 mencapai US$ 16,12 miliar atau naik secara 12,47% YoY. Dengan nilai ekspor dan impor tersebut, maka defisit neraca perdagangan pada bulan lalu mencapai US$ 1,52 miliar.
Defisit tersebut jauh lebih besar dari konsensus yang dilakukan CNBC Indonesia. Berdasarkan survei, pelaku pasar memperkirakan defisit neraca perdagangan hanya sebesar US$ 1 juta.
Pada Bulan April 2018 lalu neraca perdagangan sudah mencatatkan defisit sebesar US$ 1,63 miliar, yang merupakan catatan terburuk sejak 4 tahun silam. Bukannya membaik, ternyata performa neraca perdagangan di Bulan Mei 2018 malah nyaris seburuk sebulan sebelumnya.
Lantas, apa yang bisa diinterpretasikan dari data ini? Apa dampak positif dan negatif terhadap perekonomian Indonesia? Hal tersebut dapat dijawab dengan melihat beberapa faktor, yaitu:
Pertama, apabila dilihat per golongan barang, meroketnya impor pada Mei 2018 banyak disumbang oleh barang konsumsi dan barang modal yang naik cukup signifikan, yakni masing-masing sebesar 34,01% YoY dan 43,40%. Tidak mau kalah, impor bahan baku, yang memiliki porsi terbesar dari impor Indonesia juga melambung 24,55% YoY.
Tingginya impor bahan baku dan barang modal dipicu oleh melonjaknya impor dua golongan barang (Kode HS 2 Digit) yang menyumbang paling besar bagi pangsa impor Indonesia, yakni mesin dan pesawat mekanik serta mesin dan peralatan listrik yang masing-masing meningkat 38,38% YoY dan 22,59% YoY. Hal ini lantas menjadi indikasi bahwa Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) atau investasi akan menguat pada kuartal II-2018. Artinya, ada harapan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun demikian, jangan lupa bahwa melambungnya impor bahan baku dan barang modal lagi-lagi menjadi indikasi masih lemahnya proses industrialisasi Tanah Air, di mana barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas impor pun selalu naik tajam.
Di sisi lain, melambungnya impor barang konsumsi menjadi indikasi adanya pemulihan daya beli masyarakat, yang akan berujung pada membaiknya komponen konsumsi rumah tangga. Melonjaknya impor barang konsumsi pada memang memanfaatkan momentum Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
Saat bulan Ramadan dan Idul Fitri tahun lalu, impor barang konsumsi Indonesia malah anjlok sebesar 1,23% YoY. Perlu dicatat bahwa pada 2017 merupakan masa yang suram bagi daya beli masyarakat, seiring dicabutnya subsidi listrik golongan 900 VA pada awal hingga pertengahan tahun lalu.
Kedua, pelaku pasar akan kembali menyoroti kinerja neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia yang bisa semakin memburuk. Padahal, neraca transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$ 5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Apa penyebab defisit neraca transaksi berjalan yang begitu lebar pada kuartal I-2018? Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), penyebabnya adalah ekspor minyak nabati yang terkoreksi 14,5% YoY, sementara ekspor karet olahan juga amblas 17,6%.
Senada dengan data BI, BPS juga mencatat bahwa ekspor lemak dan minyak hewani/nabati serta karet dan barang dari karet terkoreksi masing-masing sebesar 15,66% YoY dan 21,4% YoY pada periode Januari-Mei 2018. Padahal ekspor lemak dan minyak hewani/nabati berkontribusi sebesar 12,3% bagi ekspor Indonesia pada periode tersebut, yang merupakan kontributor terbesar bagi total ekspor non migas Indonesia.
Performa ekspor minyak nabati yang mengecewakan didorong oleh India, salah satu negara pengimpor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia, yang menaikkan tarif impor dari semula 30% menjadi 44%. Sebagai tambahan, Negeri Bollywood juga menaikkan tarif impor produk minyak sawit dari semula 40% menjadi 54%.
Hal ini kembali menjadi bukti bahwa Indonesia terpukul akibat ketergantungan ekspor komoditas. Saat terjadi distrupsi dari sisi permintaan, otomatis harga komoditas pastinya akan terpukul. Sebagai informasi, harga CPO sudah terkoreksi 10,51% secara year-to-date (YTD). Setali tiga uang dengan CPO, harga karet juga amblas 17,11% di sepanjang tahun ini.
Ketiga, seiring risiko melebarnya defisit transaksi berjalan ada di depan mata, pelaku pasar juga akan mewaspadai risiko memburuknya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Rilis data defisit neraca perdagangan hari ini jelas menjadi sentimen negatif bagi pelaku pasar, seiring potensi semakin melebarnya defisit neraca transaksi berjalan, dan akhirnya bisa mendorong membesarnya defisit NPI. Rupiah pun jadi tidak memiliki pijakan untuk terapresiasi.
Hal ini sudah mulai tercermin pada depresiasi rupiah yang semakin parah di pasar spot, yakni sebesar 0,48% ke Rp 14.143/US$ pada pukul 12.00 WIB siang ini, merespons rilis data neraca perdagangan. Sebelum data ekspor-impor diumumkan, rupiah melemah sebesar 0,41%. Jika defisit neraca perdagangan ini tidak diwaspadai, maka bukan tidak mungkin tekanan terhadap rupiah akan semakin terasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/RHG) Next Article Neraca Dagang 2019 Masih Berdarah-darah
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan total impor di Mei 2018 mengalami kenaikan signifikan. Berdasarkan laporan BPS, nilai impor Mei 2018 tercatat US$ 17,64 miliar atau naik 28,12% secara year-on-year (YoY).
Sementara, nilai ekspor Mei 2018 mencapai US$ 16,12 miliar atau naik secara 12,47% YoY. Dengan nilai ekspor dan impor tersebut, maka defisit neraca perdagangan pada bulan lalu mencapai US$ 1,52 miliar.
Defisit tersebut jauh lebih besar dari konsensus yang dilakukan CNBC Indonesia. Berdasarkan survei, pelaku pasar memperkirakan defisit neraca perdagangan hanya sebesar US$ 1 juta.
![]() |
Lantas, apa yang bisa diinterpretasikan dari data ini? Apa dampak positif dan negatif terhadap perekonomian Indonesia? Hal tersebut dapat dijawab dengan melihat beberapa faktor, yaitu:
Pertama, apabila dilihat per golongan barang, meroketnya impor pada Mei 2018 banyak disumbang oleh barang konsumsi dan barang modal yang naik cukup signifikan, yakni masing-masing sebesar 34,01% YoY dan 43,40%. Tidak mau kalah, impor bahan baku, yang memiliki porsi terbesar dari impor Indonesia juga melambung 24,55% YoY.
Tingginya impor bahan baku dan barang modal dipicu oleh melonjaknya impor dua golongan barang (Kode HS 2 Digit) yang menyumbang paling besar bagi pangsa impor Indonesia, yakni mesin dan pesawat mekanik serta mesin dan peralatan listrik yang masing-masing meningkat 38,38% YoY dan 22,59% YoY. Hal ini lantas menjadi indikasi bahwa Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) atau investasi akan menguat pada kuartal II-2018. Artinya, ada harapan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Namun demikian, jangan lupa bahwa melambungnya impor bahan baku dan barang modal lagi-lagi menjadi indikasi masih lemahnya proses industrialisasi Tanah Air, di mana barang modal dan bahan baku untuk produksi belum mampu disediakan dari dalam negeri. Alhasil, di setiap ekonomi akan lepas landas impor pun selalu naik tajam.
Di sisi lain, melambungnya impor barang konsumsi menjadi indikasi adanya pemulihan daya beli masyarakat, yang akan berujung pada membaiknya komponen konsumsi rumah tangga. Melonjaknya impor barang konsumsi pada memang memanfaatkan momentum Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
Saat bulan Ramadan dan Idul Fitri tahun lalu, impor barang konsumsi Indonesia malah anjlok sebesar 1,23% YoY. Perlu dicatat bahwa pada 2017 merupakan masa yang suram bagi daya beli masyarakat, seiring dicabutnya subsidi listrik golongan 900 VA pada awal hingga pertengahan tahun lalu.
Kedua, pelaku pasar akan kembali menyoroti kinerja neraca transaksi berjalan (current account) Indonesia yang bisa semakin memburuk. Padahal, neraca transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$ 5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
![]() |
Apa penyebab defisit neraca transaksi berjalan yang begitu lebar pada kuartal I-2018? Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), penyebabnya adalah ekspor minyak nabati yang terkoreksi 14,5% YoY, sementara ekspor karet olahan juga amblas 17,6%.
Senada dengan data BI, BPS juga mencatat bahwa ekspor lemak dan minyak hewani/nabati serta karet dan barang dari karet terkoreksi masing-masing sebesar 15,66% YoY dan 21,4% YoY pada periode Januari-Mei 2018. Padahal ekspor lemak dan minyak hewani/nabati berkontribusi sebesar 12,3% bagi ekspor Indonesia pada periode tersebut, yang merupakan kontributor terbesar bagi total ekspor non migas Indonesia.
Performa ekspor minyak nabati yang mengecewakan didorong oleh India, salah satu negara pengimpor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) terbesar di dunia, yang menaikkan tarif impor dari semula 30% menjadi 44%. Sebagai tambahan, Negeri Bollywood juga menaikkan tarif impor produk minyak sawit dari semula 40% menjadi 54%.
Hal ini kembali menjadi bukti bahwa Indonesia terpukul akibat ketergantungan ekspor komoditas. Saat terjadi distrupsi dari sisi permintaan, otomatis harga komoditas pastinya akan terpukul. Sebagai informasi, harga CPO sudah terkoreksi 10,51% secara year-to-date (YTD). Setali tiga uang dengan CPO, harga karet juga amblas 17,11% di sepanjang tahun ini.
Ketiga, seiring risiko melebarnya defisit transaksi berjalan ada di depan mata, pelaku pasar juga akan mewaspadai risiko memburuknya defisit Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Rilis data defisit neraca perdagangan hari ini jelas menjadi sentimen negatif bagi pelaku pasar, seiring potensi semakin melebarnya defisit neraca transaksi berjalan, dan akhirnya bisa mendorong membesarnya defisit NPI. Rupiah pun jadi tidak memiliki pijakan untuk terapresiasi.
Hal ini sudah mulai tercermin pada depresiasi rupiah yang semakin parah di pasar spot, yakni sebesar 0,48% ke Rp 14.143/US$ pada pukul 12.00 WIB siang ini, merespons rilis data neraca perdagangan. Sebelum data ekspor-impor diumumkan, rupiah melemah sebesar 0,41%. Jika defisit neraca perdagangan ini tidak diwaspadai, maka bukan tidak mungkin tekanan terhadap rupiah akan semakin terasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/RHG) Next Article Neraca Dagang 2019 Masih Berdarah-darah
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular