Dolar AS Bangkit dan Tembus Rp 14.100 (Lagi)
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 June 2018 08:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah pada perdagangan pagi ini. Greenback yang sempat defensif kini kembali menguat dan menebar ancaman.
Pada Senin (25/6/2018), US$ 1 pada pembukaan perdagangan pasar spot dibanderol Rp Rp 14.098. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan pasar, rupiah kian melemah. Pada pukul 08:31 WIB, US$ 1 sudah berada di Rp 14.105, di mana rupiah melemah 0,21%.
Tidak hanya rupiah, beberapa mata uang utama Asia pun sulit menandingi dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS di hadapan sejumlah mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:33 WIB, mengutip data Reuters:
Setelah sempat tertekan, kini dolar AS kembali menguat. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama, pada pukul 08:35 WIB mampu menguat meski tipis di 0,01%. Sebelumnya, indeks ini melemah sampai ke kisaran 0,2%.
Penguatan greeback didorong sentimen perang dagang AS-China yang terus bergulir. Reuters melaporkan Kementerian Keuangan AS tengah menyusun regulasi untuk membatasi aktivitas perusahaan China di Negeri Paman Sam. Perusahaan yang punya kepemilikan minimal 25% oleh pihak China akan dilarang untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan teknologi strategis di AS.
Langkah ini dilakukan untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual AS. Tidak hanya itu Dewan Keamanan Nasional AS dan Kementerian Perdagangan AS juga tengah merancang peraturan untuk mengontrol ekspor AS ke China untuk menghindari produk-produk berteknologi strategis dikirim ke Negeri Tirai Bambu.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar lagi-lagi tidak nyaman. Perang dagang kini sudah merambat ke perang investasi, dan dampaknya bisa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dunia.
Asia, kawasan yang banyak mengandalkan ekspor untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi, tentu dipersepsikan sangat berisiko ketika perang dagang semakin memanas. Akibatnya, investor pun cenderung menarik diri dan bersikap hati-hati sambil menunggu dinamika selanjutnya. Mata uang Asia pun kemudian melemah, tidak terkecuali rupiah.
Namun, ada harapan rupiah bisa menguat. Sentimen apresiasi rupiah bisa datang dari pengumuman data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data ini pada pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 8,38% secara year-on-year (YoY) sementara impor melaju dengan pertumbuhan 12,125% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mengalami defisit tipis sekitar US$ 1 juta.
Sebagai informasi, ekspor pada bulan sebelumnya tumbuh 9,01% YoY dan impor melejit dengan pertumbuhan 34,68% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan mencatatkan defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,63 miliar, terdalam sejak April 2014.
Jika defisit kembali terjadi, apalagi lebih besar dari konsensus, maka rupiah berpeluang kembali tertekan. Pasalnya, situasi ini akan semakin mempersulit transaksi berjalan (current account).
Pada kuartal I-2018, neraca berjalan sudah mencatat defisit sebesar US$5,5 miliar atau melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka data ini bisa menjadi energi bagi penguatan rupiah. Pasalnya, pasar akan berpersepsi aliran devisa Indonesia cukup baik sehingga menopang fundamental rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Senin (25/6/2018), US$ 1 pada pembukaan perdagangan pasar spot dibanderol Rp Rp 14.098. Rupiah melemah 0,16% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu.
Seiring perjalanan pasar, rupiah kian melemah. Pada pukul 08:31 WIB, US$ 1 sudah berada di Rp 14.105, di mana rupiah melemah 0,21%.
Mata Uang | Bid Terakhir | Perubahan (%) |
Yen Jepang | 109,51 | -0,41 |
Yuan China | 6,52 | +0,26 |
Won Korea Selatan | 1.114,90 | +0,35 |
Dolar Taiwan | 30,36 | +0,21 |
Rupee India | 67,86 | -0,12 |
Dolar Singapura | 1,36 | +0,21 |
Ringgit Malaysia | 4,01 | +0,25 |
Baht Thailand | 32,97 | +0,12 |
Peso Filipina | 53,36 | +0,27 |
Setelah sempat tertekan, kini dolar AS kembali menguat. Dollar Index, yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama, pada pukul 08:35 WIB mampu menguat meski tipis di 0,01%. Sebelumnya, indeks ini melemah sampai ke kisaran 0,2%.
Penguatan greeback didorong sentimen perang dagang AS-China yang terus bergulir. Reuters melaporkan Kementerian Keuangan AS tengah menyusun regulasi untuk membatasi aktivitas perusahaan China di Negeri Paman Sam. Perusahaan yang punya kepemilikan minimal 25% oleh pihak China akan dilarang untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan teknologi strategis di AS.
Langkah ini dilakukan untuk melindungi hak atas kekayaan intelektual AS. Tidak hanya itu Dewan Keamanan Nasional AS dan Kementerian Perdagangan AS juga tengah merancang peraturan untuk mengontrol ekspor AS ke China untuk menghindari produk-produk berteknologi strategis dikirim ke Negeri Tirai Bambu.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar lagi-lagi tidak nyaman. Perang dagang kini sudah merambat ke perang investasi, dan dampaknya bisa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dunia.
Asia, kawasan yang banyak mengandalkan ekspor untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi, tentu dipersepsikan sangat berisiko ketika perang dagang semakin memanas. Akibatnya, investor pun cenderung menarik diri dan bersikap hati-hati sambil menunggu dinamika selanjutnya. Mata uang Asia pun kemudian melemah, tidak terkecuali rupiah.
Namun, ada harapan rupiah bisa menguat. Sentimen apresiasi rupiah bisa datang dari pengumuman data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data ini pada pukul 11:00 WIB.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor tumbuh 8,38% secara year-on-year (YoY) sementara impor melaju dengan pertumbuhan 12,125% YoY. Ini membuat neraca perdagangan mengalami defisit tipis sekitar US$ 1 juta.
Sebagai informasi, ekspor pada bulan sebelumnya tumbuh 9,01% YoY dan impor melejit dengan pertumbuhan 34,68% YoY. Ini menyebabkan neraca perdagangan mencatatkan defisit yang cukup dalam yaitu US$ 1,63 miliar, terdalam sejak April 2014.
Jika defisit kembali terjadi, apalagi lebih besar dari konsensus, maka rupiah berpeluang kembali tertekan. Pasalnya, situasi ini akan semakin mempersulit transaksi berjalan (current account).
Pada kuartal I-2018, neraca berjalan sudah mencatat defisit sebesar US$5,5 miliar atau melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada tiga bulan awal tahun ini adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka data ini bisa menjadi energi bagi penguatan rupiah. Pasalnya, pasar akan berpersepsi aliran devisa Indonesia cukup baik sehingga menopang fundamental rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular