Pelemahan Rupiah Terbentang dari Asia sampai Eropa

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 June 2018 17:20
Tidak hanya terhadap greenback, rupiah pun tidak berdaya di hadapan berbagai mata uang di Asia sampai Eropa.
Foto: CNBC Indonesia/Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah cukup dalam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Namun tidak hanya terhadap greenback, rupiah pun tidak berdaya di hadapan berbagai mata uang di Asia sampai Eropa. 

Pada Kamis (21/6/2018), rupiah ditutup melemah 1,24% terhadap dolar AS. Berikut perkembangan nilai tukar rupiah terhadap sejumlah mata uang lainnya pada pukul 16:50 WIB, mengutip data Reuters: 

Mata UangBid TerakhirPerubahan (%)
Yen Jepang127,65            -1,17
Yuan China2.168,36-0,85
Won Korea Selatan12,67-1,12
Dolar Taiwan463,69-0,63
Rupee India206,81-1,09
Dolar Singapura10.346,40-0,97
Ringgit Malaysia3,506-0,60
Peso Filipina263,52-0,91
Euro16.128-0,02
Poundsterling Inggris18.486,71-0,80
 
Sepertinya rupiah memang benar-benar jet lag pada perdagangan perdana di pasar valas seusai libur panjang Idul Fitri. Investor mungkin masih sibuk mencerna berbagai informasi yang terlewatkan saat pasar tutup selama lebih dari sepekan. 

Akibatnya, aset-aset berbasis rupiah terimbas aksi jual. Rupiah pun melemah secara luas (broadbased) terhadap banyak mata uang.

Padahal, ada sentimen positif yang sebenarnya bisa saja membuat rupiah menguat yaitu Bank Indonesia (BI) yang siap menaikkan suku bunga demi menjaga kestabilan perekonomian domestik. Namun sentimen itu kurang kuat, kalah dari penguatan dolar AS yang begitu kencang sejak pertengahan pekan lalu. 

Febrio Kacaribu, Kepala Kajian Makro Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menilai BI memang tidak punya pilihan selain menaikkan suku bunga dalam Rapat Dewan Gubernur 27-28 Juni mendatang. Pasalnya, BI perlu untuk selalu antisipatif (ahead the curve) menghadapi tren kebijakan moneter AS yang bias ketat. 

"Dengan semakin jelasnya arah kebijakan The Federal Reserve/The Fed, yaitu menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin sepanjang 2018, kami melihat bahwa BI memang perlu paling tidak menyamai kenaikan tersebut. Memang sebuah pilihan dilematis," jelasnya. 

Kenaikan suku bunga acuan, lanjut Febrio, memang akan berdampak kepada pertumbuhan kredit. Dengan kenaikan suku bunga acuan, akan sulit mencapai pertumbuhan ekonomi 9-10%. Ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi untuk mencapai di atas 5,2%. 

Namun di sisi lain, tambah Febrio, apresiasi rupiah yang berlebihan akan memperburuk neraca perdagangan. Ekspor juga akan turun sehingga Produk Domestik Bruto (PDB) akan tertekan.  

"Depresiasi rupiah yang berlebihan juga biasanya disertai dengan tingginya ketidakpastian harga yang membuat pengusaha kesulitan untuk melakukan kontrak jual-beli. Hal ini akhirnya juga akan mengurangi aktivitas ekonomi," sebutnya. 

Dengan dilema ini, demikian Febrio, BI memang sudah tepat secara eksplisit memutuskan untuk memprioritaskan stabilitas kurs. Dari dalam negeri, caranya adalah mengendalikan inflasi. Namun perlu rangsangan lebih untuk meredam faktor pelemahan kurs yang berasal dari eksternal. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular